Pendidikan dan Pentingnya Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah alat bagi peserta didik untuk berkembang. Dengan diajarkan keterampilan berpikir kritis, peserta didik diberdayakan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan yang tepat.
Kegagalan pendidikan dalam mendorong pemikiran kritis dapat dianalogikan seperti mengajari seseorang cara memancing tanpa mengajari mereka cara memilih umpan yang tepat atau membaca air. Memberi seseorang pancing saja tidak cukup untuk memastikan bahwa mereka akan menangkap ikan; sama halnya dengan memberikan pengetahuan kepada anak-anak tanpa mengajari mereka cara menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi tersebut tidaklah cukup untuk memastikan bahwa mereka memiliki kemampuan berpikir kritis.
Pemikir kritis harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang materi pelajaran yang mereka pelajari untuk mengajukan pertanyaan yang relevan dan menganalisis data yang diberikan kepada mereka, seperti halnya pemancing yang berpengalaman harus memahami kebiasaan dan preferensi ikan yang ingin mereka tangkap. Tanpa pengetahuan semacam ini, peserta didik tidak dapat memahami materi yang diberikan dan tidak memiliki sarana untuk menilainya secara kritis.
Salah satu penyebab utama kegagalan ini adalah penekanan berlebihan pada pengujian standar dan pembelajaran hafalan di sekolah. Peserta didik dilatih untuk menghafal pengetahuan, memuntahkannya dalam ujian, lalu melanjutkan ke topik berikutnya tanpa pernah benar-benar menghubungkannya. Gaya pendidikan seperti ini mendorong peserta didik untuk memuntahkan kembali apa yang telah diajarkan daripada berpikir kritis.
Baca juga: Kebiasaan Berpikir Kritis
Contoh kegagalan pendidikan dalam mendorong pemikiran kritis: pelajaran sejarah yang hanya menyajikan daftar tanggal dan peristiwa untuk dihafalkan oleh peserta didik, tanpa mendorong mereka untuk menganalisis sebab dan akibat dari peristiwa-peristiwa tersebut. Seorang guru mengajar peserta didik tentang perang Rusia versus Ukrania dengan memberi garis waktu pertempuran dan peristiwa besar, tetapi tanpa menyelidiki faktor-faktor geopolitik, ekonomi, dan sosial yang mendasari yang menyebabkan perang itu terjadi. Dalam skenario ini, peserta didik tidak didorong untuk berpikir kritis tentang alasan di balik peristiwa sejarah, dan sebaliknya hanya diminta untuk menghafal fakta-fakta yang terisolasi.
Tanpa keterampilan berpikir kritis, peserta didik mungkin akan kesulitan untuk menghubungkan peristiwa sejarah dengan tema yang lebih besar atau memahami implikasi dari tindakan tertentu. Peserta didik juga mungkin kesulitan untuk mengevaluasi validitas interpretasi sejarah yang berbeda atau untuk menilai dampak dari bias dan perspektif pada narasi sejarah.
Menantang "status quo"
Pendidikan adalah pilar fundamental masyarakat. Namun, sayangnya, pendidikan juga sering kali gagal menginspirasi peserta didik untuk mempertanyakan dan menantang status quo. Faktanya, peserta didik sering kali didorong untuk tidak mempertanyakan apa yang diajarkan kepada mereka, yang dapat menyebabkan kurangnya kreativitas dan pemikiran mandiri.
Kurangnya penyelidikan ini juga dapat mengakibatkan keengganan untuk memeriksa prasangka dan asumsi yang mendasari banyak konvensi dan institusi masyarakat kita. Akibatnya, peserta didik mungkin tidak mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menantang dan mengubah struktur-struktur ini sehingga melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial.
Penting untuk menyadari bahwa mempertanyakan status quo bukan hanya masalah keingintahuan akademis, melainkan juga merupakan elemen penting dari kemajuan sosial. Banyak perubahan sosial dan politik yang paling signifikan sepanjang sejarah dibawa oleh individu dan kelompok yang bersedia mempertanyakan norma-norma yang berlaku dan menantang tatanan yang mapan.
Pendidikan yang tidak memperhitungkan keragaman cenderung tidak mengembangkan pemikiran kritis dan justru memperkuat prasangka.
Masalah lain yang berkontribusi terhadap ketidakmampuan pendidikan untuk mengembangkan pemikiran kritis adalah kurangnya penekanan kepada aplikasi dunia nyata. Peserta didik sering kali dididik dalam ruang hampa, dengan sedikit hubungan dengan dunia luar. Karena ketiadaan aplikasi, peserta didik cenderung tidak memahami pentingnya apa yang mereka pelajari dan, akibatnya, mereka cenderung tidak berinteraksi dengan konten secara kritis.
Selain itu, sekolah sering kali tidak mempertimbangkan latar belakang dan pengalaman peserta didik yang berbeda-beda. Peserta didik dari berbagai latar belakang sosial ekonomi, etnis, dan ras mungkin berpikir dan menyerap informasi dengan cara yang berbeda. Pendidikan yang tidak memperhitungkan keragaman cenderung tidak mengembangkan pemikiran kritis dan justru memperkuat prasangka.
Dampaknya, kesempatan bagi peserta didik untuk berpartisipasi dalam penyelidikan dan investigasi terbuka sering kali kurang dalam pendidikan. Peserta didik jarang diberi kesempatan untuk menyelidiki masalah secara mendalam atau mengikuti minat mereka sendiri. Karena kurangnya penyelidikan ini, peserta didik cenderung tidak memiliki rasa ingin tahu dan kreativitas yang diperlukan untuk berpikir kritis.
Mendorong untuk berpikir kritis
Dalam makalah berjudul Encouraging critical thinking: But... what does that mean?, Hemming (2000) mendefinisikan berpikir kritis sebagai ”kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi untuk membuat penilaian dan keputusan yang beralasan”. Berpikir kritis tidak hanya melibatkan keterampilan kognitif, tetapi juga sikap dan nilai-nilai seperti rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, dan kerendahan hati intelektual.
Dalam dunia pendidikan sekarang ini, berpikir kritis adalah alat yang sangat berharga bagi peserta didik untuk berkembang. Dengan diajarkan keterampilan berpikir kritis, peserta didik diberdayakan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan yang tepat tentang dunia di sekitar mereka. Dari ruang kelas hingga ruang diskusi, berpikir kritis adalah aset berharga yang dapat membawa kesuksesan dalam kegiatan akademis dan profesional.
Baca juga: Disrupsi Digital Ubah Pembelajaran dan Pola Pikir Pendidik
Dari pengalaman saya, salah satu metode yang paling populer mengajarkan pemikiran kritis adalah metode Socrates. Metode Socrates adalah cara bertanya yang mendorong peserta didik untuk berpikir secara mendalam dan kritis tentang topik tertentu. Daripada hanya memberikan jawaban atas pertanyaan kepada peserta didik, metode Socrates menantang peserta didik untuk menemukan jawaban mereka sendiri melalui proses tanya-jawab dan refleksi.
Sebagai contoh, dalam kelas sastra, seorang guru dapat meminta peserta didik untuk menganalisis bagian tertentu dari sebuah novel. Daripada hanya memberi tahu peserta didik apa arti dari bagian tersebut, guru dapat mengajukan pertanyaan seperti ”Apa yang ingin disampaikan oleh penulis dengan bagian ini?” atau ”Perangkat sastra apa yang digunakan penulis untuk menyampaikan pesannya?” Melalui proses pertanyaan dan refleksi ini, peserta didik didorong untuk berpikir kritis dan mengembangkan interpretasi mereka sendiri terhadap teks.
Pendekatan lain dalam mengajarkan pemikiran kritis adalah pembelajaran berbasis masalah. Dalam pendekatan ini, peserta didik dihadapkan pada masalah dunia nyata dan ditugaskan untuk menemukan solusi. Dengan bekerja melalui proses pemecahan masalah, peserta didik ”dipaksa” untuk berpikir kritis dan mengevaluasi solusi potensial.
Pembelajaran berbasis masalah dapat menjadi sangat efektif dalam bidang-bidang tertentu seperti sosial humaniora, teknik, dan kedokteran. Bidang-bidang ini mengharuskan peserta didik untuk dapat menerapkan pengetahuan mereka untuk memecahkan masalah yang kompleks di masyarakat. Dengan memberikan masalah dunia nyata kepada peserta didik, pembelajaran berbasis masalah membantu menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik serta mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi dalam karier mereka.
Pendekatan lain dalam mengajarkan pemikiran kritis adalah pembelajaran berbasis masalah.
Sebagai contoh, di kelas ilmu sosial humaniora, peserta didik dilibatkan dalam menangani masalah tertentu yang berkaitan dengan kota atau komunitas. Misalnya, merancang rencana untuk merevitalisasi lingkungan yang bermasalah. Peserta didik mengumpulkan informasi, melakukan penelitian, dan mengevaluasi solusi potensial sambil berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan.
Contoh lain, di kelas teknik, peserta didik mungkin ditugaskan untuk merancang jembatan yang dapat menahan beban tertentu. Peserta didik harus berpikir kritis tentang bahan yang mereka gunakan, desain jembatan, dan dampak potensial dari faktor eksternal seperti cuaca atau gempa bumi. Dengan bekerja melalui masalah, peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang dapat diterapkan pada berbagai situasi dunia nyata.
Mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada peserta didik memiliki banyak manfaat. Salah satunya, hal ini dapat membantu peserta didik menjadi pembelajar yang lebih reflektif dan mandiri. Dengan mempelajari cara berpikir kritis, peserta didik akan lebih siap untuk mengevaluasi informasi dan membuat keputusan yang tepat tentang pembelajaran mereka sendiri.
Selain itu, berpikir kritis dapat meningkatkan keingintahuan dan kreativitas intelektual. Dengan mendorong peserta didik untuk mempertanyakan dan menantang asumsi, berpikir kritis dapat menghasilkan wawasan dan penemuan baru.
Berpikir kritis juga dapat meningkatkan penalaran etis dan moral. Dengan mendorong peserta didik untuk mengevaluasi informasi dan argumen dari berbagai perspektif, berpikir kritis dapat membantu peserta didik mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang sudut pandang dan budaya yang berbeda. Hal ini dapat menghasilkan empati dan pemahaman yang lebih besar, serta rasa tanggung jawab etis yang lebih kuat.
Baca juga: Pembelajaran Masa Depan yang Tidak Pasti
Dalam pendidikan yang kita bangun, penting untuk mendorong peserta didik untuk mempertanyakan asumsi, mengevaluasi bukti, dan mempertimbangkan berbagai perspektif ketika menganalisis sebuah peristiwa atau fenomena tertentu. Oleh karena itu, penting bagi para pendidik untuk memprioritaskan pengembangan keterampilan berpikir kritis pada peserta didik mereka.
Saya menyarankan agar para pendidik terus memasukkan pemikiran kritis ke dalam pembelajaran mereka dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan keterampilan ini sepanjang karier akademis mereka. Mau tidak mau, mengembangkan keterampilan berpikir kritis sangat diperlukan untuk sukses di dunia yang berubah dengan cepat, penuh lompatan, dan tidak terprediksi ini.
Roy Martin Simamora, Pengajar Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta