Manifestasi ”Regulerend” Pajak untuk Bumi dan Ekonomi
Selain untuk menggairahkan industri otomotif nasional, kebijakan insentif kendaraan listrik juga merupakan instrumen pajak yang digunakan pemerintah dalam upaya pengendalian iklim. Ini bagian dari transisi energi.
Oleh
IKA HAPSARI
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Industri otomotif kembali menggeliat pascapandemi. Sinyal penguatan ini mengindikasikan peningkatan daya beli masyarakat di era pemulihan ekonomi. Lantas, akankah muncul dilema konsekuensi versus urgensi?
Pada 2021-2022, pemerintah memberikan relaksasi berupa insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk kendaraan bermotor roda empat (mobil). Kebijakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini bertujuan menjaga keberlangsungan bisnis dan menggairahkan kembali industri otomotif nasional. Stimulus ini berhasil menaikkan permintaan pasar kelas menengah yang dibuktikan dengan terpenuhinya target pagu anggaran insentif.
Berdasarkan laporan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil dari pabrikan ke dealer pada 2022 lebih dari 1 juta unit. Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat volume penjualan motor domestik pada periode Januari-April 2023 lebih dari 2,1 juta unit. Sementara Laporan Statistik Indonesia 2023 oleh Badan Pusat Statistik menyebut bahwa hingga akhir 2022 jumlah mobil penumpang di Indonesia mencapai 17,2 juta unit, sedangkan jumlah motor mencapai 125,3 juta unit.
Di satu sisi, pertumbuhan konsumsi kendaraan bermotor mendorong konektivitas serta mobilitas barang dan penumpang. Didukung dengan infrastruktur yang mumpuni, biaya transportasi, dan logistik akan dapat ditekan.
Sayangnya, perkembangan jumlah kendaraan bermotor ini berbanding lurus dengan potensi akselerasi pemanasan global akibat gas karbon yang dihasilkannya. Emisi gas buang rata-rata kendaraan bermotor berbahan bakar bensin adalah 2,3 kilogram karbon dioksida per liter bahan bakar yang dikonsumsi. Sektor transportasi menempati posisi ketiga penyumbang emisi karbon global dengan persentase 14 persen hingga 16 persen.
Hanya dari emisi kendaraan bermotor di Indonesia saja bisa dihitung berapa gigagram karbon dioksida ekuivalen yang dilepaskan ke atmosfer bumi. Gas ini menyebabkan efek rumah kaca yang berkorelasi erat dengan fenomenaperubahan iklim. Gelombang panas yang melanda Asia April lalu seolah menjadi efek kejut nyata atas kondisi ini.
Pada 2023, fokus pemerintah bergeser seiring dengan komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. Ambisi Indonesia untuk mencapai emisi nol karbon (net zero emission) pada 2060 terus menguat. Salah satu peta jalan yang mulai direalisasikan adalah pengembangan kendaraan listrik secara masif. Kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) mengonversi energi listrik menjadi energi kinetik yang ramah lingkungan.
Transisi energi fosil ke energi bersih terbarukan adalah komitmen Indonesia yang tertuang pada Dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution). Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan lklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, target penurunan emisi gas rumah kaca pada pembaruan NDC Indonesia (2022) adalah 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Salah satu peta jalan yang mulai direalisasikan adalah pengembangan kendaraan listrik secara masif.
Percepatan implementasi kendaraan listrik menjadi isu strategis dalam kebijakan nasional Indonesia ihwal pengendalian perubahan iklim. Sejurus dengan itu, target prioritas Indonesia dalam pengembangan investasi hijau dari hulu ke hilir juga terus dikebut. Ekosistem kendaraan listrik dimulai dengan dibangunnya proyek-proyek terintegrasi industri baterai.
Intervensi fiskal
Upaya pemerintah menaikkan utilisasi kendaraan listrik telah dimulai dengan ditekennya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan. Beleid ini mengatur Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan tarif Barang Kena Pajak tergolong mewah atas beberapa jenis kendaraan listrik.
Pasal 36, antara lain, mengatur pengenaan tarif PPnBM sebesar 15 persen dengan DPP 0 persen dari harga jual untuk kendaraan bermotor yang menggunakan teknologi listrik dari baterai (BEV) atau kendaraan listrik sel bahan bakar (FCEV). Ini artinya, PPnBM yang harus dibayar atas pembelian kendaraan listrik jenis tersebut adalah nol.
Belakangan, diskursus ihwal kebijakan subsidi kendaraan listrik menimbulkan enigma publik. Penyebabnya adalah sentimen sejumlah pihak atas dikucurkannya insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP untuk pembelian kendaraan listrik. Kebijakan ini dinilai kurang tepat sasaran dan lebih pro terhadap kelas menengah. Pemerintah diminta untuk memfokuskan pada optimalisasi pemanfaatan kendaraan umum ramah lingkungan oleh masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi angkat bicara. Kebijakan ini ditempuh setelah dilakukan studi dan kajian komprehensif. Implementasinya pun akan dilaksanakan secara bertahap dan terukur. Secara global, sejumlah negara juga telah menerapkan konversi kendaraan listrik.
Sementara dari sisi industri otomotif dalam negeri, kebijakan ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru yang menghasilkan karya asli anak bangsa. Upaya ini juga menguatkan kemandirian energi dalam negeri dan memitigasi Indonesia hanya berperan sebagai pasar atas produk impor KBBLB.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2023 mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023. Insentif ini diberikan untuk Masa Pajak April hingga Desember 2023.
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
Deretan mobil listrik Toyota di halaman parkir Kementerian Perindustrian, Rabu (4/7/2018). Kementerian Perindustrian melibatkan enam perguruan tinggi dalam riset pengembangam industri mobil listrik
Pemerintah memberikan insentif PPN DTP dengan dua tarif berbeda untuk KBLBB mobil dan bus. Indikator pembedanya adalah persentase tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang digunakan dalam proses manufaktur. Penentuan persentase TKDN ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. Tujuannya ialah penurunan harga jual sehingga meningkatkan minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik.
Pemerintah menanggung PPN sebesar 10 persen untuk mobil listrik dan bus listrik dengan TKDN minimal 40 persen. Artinya, pembeli hanya menanggung PPN sebesar 1 persen dari DPP saja. Sementara bus listrik dengan TKDN antara 20 persen hingga kurang dari 40 persen mendapatkan insentif PPN DTP 5 persen. Dikutip dari siaran pers Menteri Keuangan yang dimuat pada situs maritim.go.id, bantuan subsidi pemerintah untuk sepeda motor listrik baru dan konversi sebesar Rp 7 juta per unit dengan syarat TKDN minimal 40 persen.
Pajak secara tidak langsung menjadi lakon penting yang berperan menjaga keberlangsungan industri otomotif dalam negeri serta mencegah katastrofe Bumi. Bagaimana tidak, ibarat alat, penggunaannya disesuaikan dengan urgensi dan prioritas kebutuhan. Hal ini sesuai teori fungsi regulerend (mengatur) pajak. Pemerintah menggunakan instrumen pajak untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini pengendalian ekonomi hingga iklim.
Argumentasi masyarakat merupakan bukti partisipasi aktif publik dalam monitoring pelaksanaan regulasi. Barangkali tidak ada kebijakan yang benar-benar ideal dan memenuhi ekspektasi setiap individu. Meski demikian, opsi terbaik menjadi krusial untuk diambil sebagai upaya preventif mengantisipasi bencana yang tidak diharapkan. Terlebih, apabila kebijakan insentif kendaraan listrik juga dibarengi dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengambil peran pengendalian perubahan iklim, dimulai dari unit rumah tangga.
Ika Hapsari, Penyuluh Pajak Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan