Seni yang Mati dalam Tragedi Mei 1998
Ratusan karya seni rupa hancur dan musnah akibat kerusuhan Mei 1998. Setelah 25 tahun berselang, cerita tentang ketidakberadaban itu patut diingat dan diambil sebagai pelajaran.

Gerakan reformasi 1998 yang bertujuan menggulingkan Orde Baru dan kekuasaan Presiden Soeharto harus selalu dikenang. Kini peristiwa dahsyat yang terjadi menjelang tengah tahun 1998 itu dan berpuncak pada medio Mei sudah menyentuh tahun ke-25. Sejumlah perayaan pengingat lantas diselenggarakan.
Perayaan itu, di antaranya, berupa pameran fotografi dan seni rupa (lukisan, sketsa, dan drawing) yang digelar di sejumlah kota. Semangat puluhan ribu mahasiswa untuk melakukan perubahan, diungkap kembali. Rekaman kebrutalan tentara ketika menghadapi mahasiswa, dihadirkan sebagai kenangan menyakitkan. Tentu termasuk keliaran ribuan massa—sebagai penumpang gelap reformasi—yang menjarah, merusak, dan membakar apa saja.
Bangsa Indonesia lalu mengingat lagi kepiluan pekan yang kelam yang disebut ”Kerusuhan Mei” itu. Jumlah korban kembali dihitung-hitung lewat berbagai sumber. Tim Gabungan Pencari Fakta menerima laporan bahwa ada 564 orang tewas akibat terbakar dan dibakar serta 653 orang tertembak. Kodam Jaya menyebut ada 532 yang tewas di Jakarta. Jumlah ketewasan manusia itu diiringi korban materi akibat perusakan, penjarahan, dan pembakaran atas 32 mal, 218 toko, 155 bank, 165 ruko, 81 kantor, 21 rumah, dan 4 hotel.
Baca juga: Sejarah Peristiwa Mei 1998: Titik Nol Reformasi Indonesia

Pemakaman korban kerusuhan di TPU Pondok Rangon, 18 Mei 1998
”Tewasnya” ratusan karya seni
Yang sering tidak diperhatikan dalam tragedi itu adalah musnahnya ratusan karya seni rupa. Tragedi tersebut menyeruak bersamaan dengan penyerbuan kelompok orang tak dikenal yang mendadak merusak, menjarah, dan bahkan membakar segala sesuatu yang tak disukai sekaligus menjarah semua yang mendadak mereka inginkan.
Seorang pengusaha, sebut saja Mer, adalah korban yang tak kepalang naasnya. Nyonya investor ini sedang merintis pendirian galeri di sebuah apartemen mewah di Jakarta Utara, yang siap dilengkapi dengan toko dan hotel. Ia pun berburu seni bermutu ke studio pelukis di sejumlah kota di Indonesia. Ketika ada prediksi bahwa seni lukis modern Tiongkok bakal punya pasar di Tanah Air, ia pun menginvestasi lukisan Tiongkok. Ratusan lukisan yang terkumpul disimpan di satu ruang di lobi apartemen.
Kerusuhan terjadi. Penghuni apartemen dinista dan sejumlah perempuan diperkosa. Semua sisi apartemen (yang banyak dihuni orang dari etnis Tionghoa) itu lumat diobrak-abrik. Himpunan lukisan koleksi nyonya investor tak luput dari amuk massa. Perusakan, penghancuran, dan pembakaran koleksinya menjadi cerita yang tak masuk akal baginya. Rencana untuk membuka galeri akhirnya tutup buku. Apalagi, rencana pembangunan pertokoan dan hotel di selingkup apartemen itu juga keteter akibat diimpit krisis moneter.
Himpunan lukisan koleksi nyonya investor tak luput dari amuk massa. Perusakan, penghancuran, dan pembakaran koleksinya menjadi cerita yang tak masuk akal baginya.
Di pertokoan Glodok, Jakarta Kota, ada Galeri Playboy. Pemilik galeri ini, panggil saja Tom, adalah seorang pencinta seni yang serius. Ia membeli lukisan klasik dan modern, guci antik, arca, patung batu giok, bahkan patung rumit berbahan batu Zhoushan. Tom bukan sekadar pedagang seni. Ia seorang kurator dan penyeleksi karya seni apa saja sehingga yang terkumpul di tangannya adalah yang serba baik. Dengan begitu, kolektor yang berhubungan bisnis dengannya punya kaliber. Adam Malik adalah salah satunya. Banyak yang tahu bahwa ia punya lukisan Lee Man Fong, Siauw Tik Kwie, dan Wen Peor. Ada juga Qi Baishi, pelukis Tiongkok legendaris.
Pada tengah Mei itu Glodok diserbu para perusuh. Beratus-ratus koleksi Playboy—dari lukisan, seni logam, hingga keramik—ikut dirusak dan dibakar.

Kerusuhan Mei 1998
Di Jalan Angkasa, Jakarta, pada 14 Mei, terjadi huru-hara. Massa liar berkerumun di situ, lalu maju bergerak sambil berteriak-teriak. Mereka lalu menjebol sebuah rumah besar. Tak lama kemudian sejumlah orang mengeluarkan barang-barang. Ada yang dibawa pulang, ada yang sengaja dijadikan arang. Ooow, beberapa yang dibakar itu adalah lukisan seniman top yang harganya tiada terkira, karya Basoeki Abdullah, Lee Man Fong, dan sebagainya.
Tak lama kemudian selembar lukisan yang menggambarkan Lim Sioe Liong dan istrinya digotong ke tengah jalan. Seseorang mengambil benda tajam untuk memotong-motong kanvasnya. Lalu dengan korek api seorang lain menyulutnya. Lukisan pun pelan-pelan menjadi abu. Asapnya melayang-layang bingung dan lantas meruap lenyap di angkasa raya.
Fotografer Oscar Motuloh melihat adegan yang sangat tidak beradab itu. Ia memotret. Maka, terekamlah api yang menyala dan beberapa pemuda yang gembira dengan sikap vandalistiknya. Peristiwa itu terjadi pada pukul 13.18 WIB di depan rumah Lim, seorang konglomerat. Dan, yang dibakar adalah lukisan Li Shuji, pelukis terkenal dari Tiongkok yang banyak mengabadikan kehidupan manusia dan budaya Indonesia.

Lukisan Lim Sioe Liong dan Nyonya karya Li Shuji yang dibakar massa saat peristiwa Mei 1998 di Jakarta.
Di Solo berbeda lagi dramanya. Dan, drama itu menimpa, sebut saja, JD, pelukis cat air yang menjadi kebanggaan kotanya. Oleh komunitas seni rupa, JD disebut sebagai ”pelukis teduh” lantaran dengan medium cat air di kertas ia bisa menghantar atmosfir dingin. Ia juga dikenal sebagai pelukis ”suasana hujan”. Reputasi estetik ini mendorong para mahasiswa seni menjadikan teknik melukis JD sebagai materi skripsi.
Pada awal Mei itu JD diminta sahabatnya menghiasi ruang pamer (showroom) mobil yang baru dibuka. Oleh karena Mei itu dekat dengan Juni, yang tak lain bulan musim panas, JD mencipta lukisan mengenai hujan, yang jadi keahliannya. Lalu, lukisan-lukisan tersebut plus belasan lukisan lainnya terpajang apik. Peminat mobil yang ingin membeli lukisan silakan.
Tiba-tiba datanglah gerombolan. Dengan membawa pentungan mereka mendobrak ruang pamer mobil itu. Begitu pintu terbuka, tamatlah sudah. Bukan hanya mobil yang dikepruk, semua lukisan JD juga dibikin tak berbentuk. Kebetulan JD saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Maka, begitu mendengar lukisan-lukisannya dinista, kesehatannya drop. Beberapa lama kemudian JD pamit dalam usia sekitar 50 tahun.
Lihat juga galeri foto: Mengenang Gerakan Reformasi 1998 di MataWaktu
Memahami ajaran Chruchill
Kisah memusnahkan ratusan karya seni di atas tentu hanya sebagian dari seluruh cerita faktual yang bisa diungkap dari lembar Tragedi Mei 1998. Dan, kejahatan serupa di sudut-sudut kota lain tak usahlah diterangkan karena hanya menambah kepiluan. Namun, bahwa vandalisme keterlaluan seperti itu sudah ada gejalanya agak lama, semua orang sudah tahu.
Ketika embrio gerakan reformasi dirasa muncul, puluhan tentara sudah membuat kemah penjagaan di Taman Suropati, Menteng, Jakarta. Kemah itu digunakan sebagai pos penjagaan kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Padahal, Taman Suropati adalah Taman Patung ASEAN, yang keindahannya mesti setiap hari dipelihara. Dan, patung-patung seniman ternama yang dibangun spesial di situ juga harus dijaga. Akibat dari kemah darurat tersebut, taman menjadi sangat kumuh. Patung-patung jadi seperti tak ada harganya.

Warga bersantai di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2023).
Pembunuhan karya seni dalam Tragedi Mei 1998 adalah petunjuk betapa rendahnya kesadaran budaya (sebagian) bangsa Indonesia. Rendahnya kesadaran budaya itu jelas menyeruak dari raibnya budi pekerti dan lemahnya pendidikan yang selama 32 tahun dikelola Orde Baru.
Padahal, sejarah dunia sudah memberi contoh betapa bangsa yang beradab itu terlihat lewat kecintaannya kepada seni. Sekejam-kejamnya holocaust Adolf Hitler, ia menyimpan gagasan untuk mencuri (dengan alasan menyelamatkan) karya-karya seni dari bom Perang Dunia II. Dan, perangkat Nazi pun menyembunyikan benda-benda seni itu ke tempat-tempat rahasia.
Ketika perang selesai dan Hitler takluk, benda-benda seni itu ditemukan sporadis di berbagai tempat. Sampai kemudian disimpan dengan baik sebagai koleksi oleh berbagai institusi. Ketika pada kurun kemudian kepemilikan benda-benda terdata, karya-karya seni itu dikembalikan ke pemiliknya.
Baca juga: Seni dan Rakyat, Selamanya
Pameran Afterlives: Recovering the Lost Stories of Looted Art yang dilangsungkan di Museum Yahudi, New York, adalah contohnya. Pameran itu mengumpulkan barang seni curian Nazi yang semula tersebar untuk dikembalikan kepada yang punya.
Pada 1940 Perdana Menteri Inggris Winston Churchill juga tegas memberikan instruksi soal penyelamatan benda-benda seni dari amukan perang. ”Sembunyikan karya-karya ini di dalam goa-goa tambang dan gudang-gudang rahasia. Namun, jangan ada satu pun dari kalian yang meninggalkan pulau ini!” Tentara Inggris dan Sekutu mematuhi. Keberadaban bangsa dijaga dan kebiadaban terhadap karya seni dijauhi.
Peristiwa politik Mei 1998 terjadi lebih dari 50 tahun setelah Perang Dunia II. Seharusnya kala itu pikiran budaya dan seni (sebagian) bangsa Indonesia sudah lebih maju dibanding Hitler dan Churchill. Namun, nyatanya, malah ketinggalan 100 tahun!
Agus Dermawan T, Kritikus; Penulis Buku-buku Budaya dan Seni

Agus Dermawan T