Kembalinya Suriah ke Liga Arab menggambarkan potret geopolitik di Timur Tengah yang bergerak menuju keseimbangan baru. Bangsa Arab memulainya lewat Suriah.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Pertemuan puncak 22 negara anggota Liga Arab di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (19/5/2023), tidak menarik untuk dicermati andai tak ada agenda penerimaan masuknya kembali Suriah di organisasi kawasan itu. Berdiri tahun 1945, Liga Arab dicatat sebagai organisasi tanpa gigi. Selama puluhan tahun organisasi itu kerap tak berdaya menyelesaikan berbagai konflik.
Misalnya satu dekade terakhir, saat dunia Arab terkoyak perang di Suriah, Yaman, dan Libya, Liga Arab tak berbuat apa-apa. Sidang organisasi itu tak menarik perhatian, bahkan, bagi pemimpin negara anggotanya. Sebagian kerap terlihat terkantuk saat sidang. Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, pemimpin de facto Arab Saudi, memilih absen, berdalih saran dokter, saat tahun lalu Aljazair menggelar KTT.
Pada 2011, Liga Arab membekukan keanggotaan Suriah menyusul tindakan brutal pemerintahan Presiden Bashar al-Assad atas unjuk rasa rakyatnya, awal pecahnya perang saudara di negara itu. Dengan dukungan militer Rusia dan Iran, tidak seperti banyak rezim otoriter lain di kawasan yang tumbang disapu Musim Semi Arab, Assad selamat. Sejumlah negara, termasuk Arab Saudi, melalui dukungan pada oposisi bersenjata Suriah tak mampu menggulingkannya.
Minggu lalu, sekitar 12 tahun setelah dikucilkan dari Liga Arab, Assad datang dan disambut bak tamu besar di Jeddah. Bagi Assad, itu kemenangan diplomatik yang besar. Dengan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab, dia berharap memperoleh aliran dana untuk membangun kembali Suriah yang luluh lantak akibat perang.
Normalisasi hubungan Suriah dan negara-negara Arab telah dirintis, empat tahun terakhir. Uni Emirat Arab membuka lagi kedutaannya di Damaskus pada 2018. Pada 2021, Jordania membuka pintu perbatasannya dengan Suriah. Pertengahan 2022, Bahrain mengirim lagi duta besarnya ke Damaskus.
Namun, konsensus Liga Arab tanpa ada hambatan beberapa negara, seperti Qatar dan Kuwait, yang belum mau menormalisasi hubungan dengan Suriah, itu tak mungkin terwujud tanpa andil Arab Saudi. Di bawah pengaruh Riyadh, yang kini praktis dikendalikan Pangeran Mohammed bin Salman, dunia Arab tengah mencari keseimbangan baru. Ada faktor internal dan faktor eksternal di balik orkestrasi Riyadh tersebut.
Di bawah Pangeran Salman, poros Arab Saudi bergeser, tak lagi mengandalkan Washington, tetapi mendekat ke Beijing. Desember 2022, Riyadh menggelar pertemuan Presiden China Xi Jinping dengan pemimpin Arab. Berkat peran Beijing, Arab Saudi memulihkan relasi dengan Iran. Di pihak lain, dengan fokus menghadang China, AS tidak lagi memprioritaskan kawasan Timur Tengah dalam strategi besar luar negerinya.
Bagi dunia Arab, hal itu bisa menghadirkan situasi yang lebih kondusif untuk kestabilan kawasan. Seperti kata Menteri Luar Negeri MesirSameh Shoukry, tanpa campur tangan asing, bangsa Arab lebih mudah menemukan solusi politik.