Kegaduhan yang terjadi setelah pemberlakuan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional yang menyangkut jabatan fungsional dosen seharusnya menjadi refleksi mendasar bagi para pemangku kebijakan.
Diskusi ALMI dan LP3ES terkait dampak Permenpan dan RB bagi dosen, Selasa (16/5/2023), menunjukkan strategi transisi yang tengah diambil oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi belum cukup mewadahi segala upaya penyelesaian masalah dosen; mulai dari soal birokratisasi, iklim produksi pengetahuan, kebebasan akademik, hingga isu kesejahteraan.
Permenpan dan RB memiliki problem hukum yang mendasar.
Pertama, tak mengubah paradigma birokratisasi yang terlalu dominan di lingkungan pendidikan tinggi.
Kedua, tak memberikan jalan transisi aturan sebagai jalan keluar karena mencabut aturan tanpa menyediakan aturan barunya telah melahirkan kekosongan hukum. Ini membingungkan dosen. Terlebih disertai batas waktu akhir Juni 2023 untuk segala pengurusannya.
Baca juga: Urgensi Reformasi Birokrasi Jokowi
Permenpan dan RB bukan saja tak memenuhi asas kecermatan, melainkan pula bertentangan dengan asas kepastian hukum.
Ketiga, produk hukum Permenpan dan RB yang diformat dalam omnibus law tak disertai naskah akademik ataupun naskah urgensi. Akibatnya, tidak pernah mampu menjelaskan ke publik apa maksud reformasi aturan ini.
Apalagi, keempat, jika klaim sebagai pijakan umum aturan ( lex generalis), itu pun tak memenuhi syarat normatif konsideransnya. Seharusnya mencantumkan secara lengkap pertimbangan dasar peraturan perundang-undangan yang melandasi perguruan tinggi, terutama Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Permenpan dan RB bukan saja tak memenuhi asas kecermatan, melainkan pula bertentangan dengan asas kepastian hukum. Tidaklah mengherankan jika aturan teknis baru soal jabatan fungsional dosen tersebut menuai protes luas.
Dalam situasi demikian, apa yang bisa diupayakan untuk mendorong momentum perubahan yang diharapkan secara mendasar terjadi?
Rebirokratisasi?
Aturan soal jabatan fungsional melahirkan standardisasi birokrasi yang berlaku menyeluruh bagi semua aparatur sipil negara, tanpa kecuali.
Aturan baru yang ditawarkan, alih-alih bicara upaya memperkuat academic excellence di dunia kampus, yang tersaksikan justru sebaliknya.
Permenpan dan RB menguatkan posisi rebirokratisasi bagi dosen dan kampus. Menghapus loncat jabatan, pengetatan angka kredit maksimum kenaikan pangkat, tak berbanding lurus dengan diskursus akselerasi yang ditawarkan lewat kekhususan dalam aturan barunya.
Terlepas dari isu hierarki birokrasi dalam penilaian angka kredit dosen, yang pula banyak dimasalahkan, masalah yang belum bergeser dari dulu hingga kini adalah politik hukum birokratisasi.
Rencana pemerintah yang sedang merumuskan aturan khusus bagi dosen saat ini sesungguhnya menjadi momentum perubahannya secara paradigmatik.
Bukankah membebankan urusan birokrasi ke setiap individu dosen, apalagi dengan aturan hukum yang berubah-ubah, berdampak besar menghambat pemajuan sains dan dunia ilmuwan?
Terlebih, insentif bagi penelitian masih sangat terbatas sehingga tak jarang dosen lebih memilih bertahan dengan mencari pendapatan tambahan dengan peran lainnya, seperti menduduki jabatan di pemerintahan, perusahaan, atau proyek yang lebih menggiurkan secara finansial. Hal ini bukan saja melemahkan budaya riset di kampus, melainkan pula akhirnya profesi dosen tak diminati.
Momentum perubahan
Bagaimana pemerintah dimungkinkan memberi jalan memfasilitasi pengembangan universitas dan sains?
Rencana pemerintah yang sedang merumuskan aturan khusus bagi dosen saat ini sesungguhnya menjadi momentum perubahannya secara paradigmatik. Paradigma baru itu bisa diawali dengan debirokratisasi kampus. Pengaturan ataupun kebijakan di pendidikan tinggi sudah sepatutnya membangun sistem perguruan yang mewadahi pencapaian dan atau penghargaan akademik ( academic excellence).
Pertama, membebaskan pewajiban administratif yang menghilangkan begitu banyak waktu, tenaga, dan pikiran sehingga mengganggu mandat utamanya dalam keilmuan.
Kedua, menumbuhkan tradisi kolegialisme ( peer) atau mendorong tradisi kesejawatan dalam pengembangan keilmuan dalam melahirkan karya akademiknya.
Ketiga, menyediakan kesempatan sabbatical leave bagi dosen, jeda untuk membuat riset yang lebih mendalam dan memungkinkan lebih banyak waktu kontemplatif melahirkan gagasan. Ini memungkinkan para dosen untuk keluar dari rutinitas kampus.
Prasyarat untuk paradigma baru ini hanya dimungkinkan jika para pihak, tak terkecuali pemerintah, menghargai dan melindungi otonomi kampus dan jaminan kebebasan akademik. Kebijakan bertahap diupayakan mengikis budaya feodalisme yang mengakar kuat dalam struktur sosial kampus.
Budaya berdebat, mendiskusikan kritis, mentoring atau kolaboratif, memupuk kolegialisme, menjadi sangat mendasar. Hubungan dan kedudukan dosen dan mahasiswa setara.
Permenpan dan RB sayangnya masih mengatur ”sentralisasi” pengadministrasian kinerja dirancang dengan desain birokrasi kepegawaian yang lebih melandaskan pada ukuran kinerja birokrat. Sebagai contoh, soal penetapan predikat kinerja, dari ”sangat baik” sampai ”sangat kurang”.
Pasal 1 (16; 18) Permenpan dan RB No 1/2023 menyebutkan evaluasi kinerja periodik pejabat fungsional yang dikaji ulang ( review) hasil kerja dan perilakunya oleh atasan langsung. Sistem ini sebenarnya turun-temurun pula penuh subyektivitas yang bukan berbasis pada aktivitas ilmiah.
Dulu, sekadar kelengkapan syarat administrasi, kini amat menentukan. Artinya, jika dosen tak berhasil mendapat predikat ”sangat baik” dari atasan, dipastikan justru makin lama untuk mencapai posisi guru besar. Sudah saatnya mengubahnya dengan mengedepankan otonomi universitas.
Debirokratisasi kampus diupayakan sebagai momentum memberi jalan kebangkitan strategi pemajuan sains masa depan.
Ditjen Dikti berkedudukan memfasilitasi strategi pengembangan kampus sebagai mandat konstitusional pencerdasan publik. ”Payung hukum” otonomi universitas selama ini dirasakan masih sangat terbatas, terlebih karena sistem birokrasi kepegawaiannya. Perangkap birokratisme demikian harus bertahap dihilangkan demi memberikan upaya optimum dosen mengembangkan keilmuannya.
Debirokratisasi maknanya pun harus menjauhkan dari intervensi politik kekuasaan. Ini karena prinsip Magna Charta Universitatum (1988), yang menegaskan, universitas adalah lembaga otonom yang berada di tengah masyarakatnya, menghasilkan budaya lewat penelitian dan pengajaran, yang harus independen secara moral dan intelektual dari semua otoritas politik dan kekuatan ekonomi.
Debirokratisasi kampus diupayakan sebagai momentum memberi jalan kebangkitan strategi pemajuan sains masa depan. Harapannya, semakin menumbuhkembangkan komitmen dosen atau ilmuwan yang mengabdikan diri pada pencarian kebenaran, pula keberpihakan terhadap peradaban kemanusiaan.
Herlambang P Wiratraman, Dosen Hukum Tata Negara FH UGM dan Sekjend Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)