Baru-baru ini sedang viral di media sosial, seorang pegiat lingkungan bernama I Wayan Balik Mustiana. Ia memodifikasi teba (pekarangan rumah) menjadi sumur komposter atau tempat pengolahan sampah organik.
Melalui Pesan Pede (Komunitas Pengelolaan Sampah Mandiri Perdesaan), I Wayan Balik Mustiana mengajak warga sekitar melakukan hal serupa. Mereka diajari cara memilah sampah (organik, anorganik, dan residu). Sampah organik termasuk sisa jejahitan banten atau sarana upakara dimasukkan ke sumur komposter sedalam dua meter, yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan.
Sampah organik di komposter akan berubah menjadi pupuk, dapat digunakan untuk bercocok tanam. Karena kesadaran warga yang sangat tinggi untuk memilah sampah, Desa Adat Cemenggoan di Bali selalu bersih. Beban tempat pembuangan akhir (TPA) pun berkurang.
Kebiasaan baik ini patut dicontoh oleh masyarakat Indonesia saat ini. Tidak harus memiliki ”teba”, apalagi bagi mereka yang tinggal di perkotaan dengan lahan sangat sempit. Perbuatan baik dapat dimulai dari memilah sampah. Apabila takut tercampur ketika diangkut oleh tukang sampah, kita dapat menjual sampah anorganik, seperti plastik, kardus, kertas ke pelapak/pengepul.
Di level yang lebih lanjut, kita dapat menggunakan jasa pengelolaan sampah yang sudah ada di beberapa kota besar. Biasanya jasa pengelolaan sampah menawarkan pengangkutan sampah terpilah dari rumah, gedung perkantoran, dan pusat perbelanjaan.
Sampah sudah tidak dapat diabaikan atau dianggap barang tak bernilai. Kita harus bertanggung jawab karena sampah terus bertumpuk. Banyak TPA di Indonesia sudah penuh, namun puluhan truk masih mengantre untuk ‘membuang’ sampah. Kalau bukan tanggung jawab kita, tanggung jawab siapa lagi?
Prajna Delfina Dwayne Jl Cipaku VI, Jakarta Selatan
Humas Pemda
Ada tulisan menarik yang muncul pada Kompas Minggu (7/5/2023). Judulnya ”Berkembang Bersama, Fujian dan Indonesia Ciptakan Inovasi dalam Kerja Sama Sabuk dan Jalur Sutra”.
Berikut catatan kecil yang menyertainya: ”Rubrik ini dipersembahkan oleh Kantor Informasi Pemerintah Rakyat Provinsi Fujian”. Ini artinya Kantor Informasi Pemerintah Rakyat Provinsi Fujian mengeluarkan dana agar tulisan itu bisa dimuat.
Dari tindakan ini saja, saya bisa menilai seberapa tinggi peradaban China saat ini sehingga salah satu provinsinya dapat membuat strategi marketing sendiri ke luar negeri, yakni ke Indonesia.
Melalui kanal Youtube, saya dapat mengikuti segala perkembangan di China. Melalui WAG (Whatsapp Group) sebuah angkatan SMA dan WAG Asrama SMA di Malang, saya mendapatkan banyak informasi menarik tentang China.
Di Indonesia kita melihat, apa yang dilakukan oleh kebanyakan humas pemerintah daerah. Biasanya hanya memuat iklan perolehan status hasil pemeriksaan BPK, opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) di mana ada oknum pejabat auditor BPK yang ditangkap menerima sogokan. Juga bila mereka mendapat penghargaan Adipura, iklannya muncul di Kompas.
Sayang para pejabat humas setiap pemerintahan daerah di Indonesia sangat jarang membuat rubrik atau berita positif seperti Fujian, yang memuat terobosan maupun rencana pembangunan daerah.
Mengherankan, otonomi sudah diberikan, tetapi yang muncul malah keluhan-keluhan rakyat di berbagai media sosial dan menjadi viral.
Sebut saja tentang jalan rusak berat di Lampung yang dikeluhkan saudara Bima. Atau yang terbaru tentang korupsi Dana Otsus Aceh sebesar Rp 95,9 triliun, dikeluhkan oleh perempuan Aceh.
Rubrik negatif inilah yang kini menjadi wajah suatu daerah dan negara, dengan para koruptor sebagai perusaknya.
Djoko Madurianto SunartoPugeran Barat, Yogyakarta
Seleksi PTN
Setidaknya ada 1.294.263 siswa sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah, atau yang sederajat, yang diterima sebagai calon pendaftar ujian tertulis berbasis komputer–seleksi nasional berdasarkan Tes (UTBK– SNBT) 2023. Namun, hanya 803.853 siswa yang memilih studi dan finalisasi akun.
Artinya, sekitar 490.410 siswa gagal mengikuti UTBK– SNBT. Padahal, seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) hanya menerima 18–20 persen peserta UTBK–SNBT.
Kondisi ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Bahwa persaingan masuk ke PTN demikian ketat. Penambahan program studi dan kursi, tidak seiring jumlah lulusan SMA.
Melihat persaingan yang demikian ketat, seharusnya para siswa secara serius mempersiapkan diri. Kelemahan kebanyakan siswa sekarang, mereka sibuk mempelajari materi tes hanya menjelang proses seleksi diadakan. Padahal, begitu menginjak bangku SMA, mereka seharusnya sudah mulai mempersiapkan diri, terutama bagi yang sudah mempunyai pilihan program studi, maupun universitas tujuan. Bisa juga dengan belajar di lembaga bimbingan tes.
Banyak juga orangtua yang tidak melibatkan diri secara serius dalam persiapan anak menuju perguruan tinggi. Padahal, peran orangtua sangat diperlukan.
Pemerintah bertanggung jawab mengatasi tidak seimbangnya kursi di PTN dengan jumlah lulusan SMA yang setiap tahun terus meningkat. PTN masih merupakan tujuan favorit karena selain biaya kuliah yang relatif terjangkau, juga tersedia beasiswa meski jumlah masih terbatas.
Pemerintah juga harus memikul tanggung jawab karena secara tidak langsung berperan menambah jumlah penganggur setiap tahun. Lapangan kerja untuk lulusan siswa SMA juga sangat terbatas.
Samesto NitisastroPerumahan Pesona Khayangan, Depok 16411
Anggaran TNI
Kabarnya TNI mau mengajukan anggaran langsung kepada presiden, panglima tertinggi TNI. Hemat saya, wajar. Wajar juga kalau Polri mendapat anggaran dari presiden, tidak melalui Mendagri.
L Wilardjo Klaseman, Salatiga