Coldplay Membawa Jakarta Lebih Dekat Menjadi Kota Musik
Mimpi menjadi kota musik perlu investasi penelitian musik, pembuatan kebijakan baru, dan infrastruktur penjaga seni serta atraksi seni. PR banyak, tetapi setiap konser berarti langkah kecil untuk maju menjadi kota musik.

Neli Triana
”Call it magic/Call it true/Call it magic/When I’m with you/…”
Rasa cocok, suka, hingga cinta bagai keajaiban, persis seperti lirik lagu ”Magic” dari Coldplay itu. Bagi penggemar Coldplay, hari-hari ini terasa magic laksana mimpi yang kesampaian setelah grup band tersebut memastikan akan menggelar konser di Indonesia, 15 November 2023.
Akun resmi Coldplay Indonesia di Twitter mengabarkan, pada 17 Mei 2023, lebih dari 1,5 juta orang ikut berburu tiket presale konser. Untuk tiket seharga Rp 800.000 hingga Rp 11 juta per orang, banyak yang mengorbankan tabungan sampai mengandalkan pinjaman daring alias pinjol.
Prinsip apa pun demi yang dipuja ini membuka mata betapa besar pengaruh konser musik, setidaknya dari nilai uangnya. Setiap orang yang membeli tiket pasti mempersiapkan diri untuk akomodasi dan dana membeli merchandise resmi Coldplay.
Bagi kota tempat konser, persiapannya lebih mengeruk uang, waktu lama, dan perencanaan matang untuk menyiapkan infrastruktur yang diperlukan. Namun, anggaran besar kota dan individu itu setara dengan apa yang didapatkan kemudian.
Baca juga: Perilaku Buruk Pengemudi Musuh Segala Bangsa

Tangkapan layar akun Colplay Indonesia.
Dalam salah satu artikelnya, Forbes.com menyatakan, konser musik menjadi salah satu alasan utama pusat kota bangkit lagi sejak gejala perluasan kota besar-besaran ke pinggiran terjadi merata di seluruh dunia 50 tahun terakhir. Apalagi, umumnya kota-kota utama memiliki fasilitas lebih memadai dibandingkan kota-kota baru di sekitarnya.
Setelah Covid-19 melandai, konser musik dengan para musisi kenamaan hadir langsung di panggung berinteraksi dengan penggemarnya, bersemi di banyak kota di dunia. Konser musik di dalam dan di luar ruang diselenggarakan sebebas, seramai, dan semegah sebelum pagebluk, usai WHO mencabut status Covid-19 sebagai wabah global. Konser musik pun kembali pada kiprah pentingnya menghidupkan kota sekaligus pemutar roda ekonomi.
Catatan organisasi nirlaba di bidang industri rekaman dunia, International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), pada 2022, total streaming dengan menghitung langganan berbayar dan iklan mencapai 17,5 miliar dollar AS atau 67 persen dari pendapatan musik rekaman global. Sisanya pertumbuhan di area lain seiring kembalinya berbagai aktivitas, termasuk konser luring.
Di Indonesia, tak hanya Jakarta yang kian rutin menjadi lokasi konser musik kelas dunia. Kota-kota kecil seperti Surakarta dan Boyolali di Jawa Tengah pun unjuk gigi.
Baca juga: Perisai Hijau Kota Penangkal Suhu Panas

Grup progressive metal asal Amerika Serikat, Dream Theater, resmi menggelar konser di Kota Solo, Jawa Tengah.
Urbanisme musik
Shain Shapiro, pendiri dan CEO Sound Diplomacy, dalam tulisannya di World Economic Forum tahun 2019, menyatakan, musik itu seperti sumber daya lainnya yang terbatas. Jika tidak berinvestasi dan berinovasi, musik beserta semua dampak baiknya bisa hilang.
Data Sound Diplomacy menunjukkan gejala umum saat ini, kota menjadikan budaya dengan musik masuk di dalamnya, sebagai salah satu yang dipertimbangkan dalam kebijakan penggunaan lahan, regenerasi area urban, menggenjot pariwisata, pendidikan dan pembangunan ekonomi. Budaya yang menjadi tonggak pembangunan kota, bukan hanya bumbu pemanis.
”Bidang yang muncul ini menciptakan moniker (julukan) baru, yaitu kota musik. Menjadikan kota tempat untuk memikirkan musik dan memasukkannya kebijakan pembangunan, selain menikmatinya. Dan kota-kota itu menciptakan urbanisme baru, yaitu urbanisme musik,” kata Shapiro.
Andrea Baker melalui laporan risetnya, ”Music Cities and the Discourse of Urban Sociability”, menambahkan, kota musik bukan hanya penyelenggara konser, melainkan keseluruhan industri musik menemukan rumahnya di sana (sense of place). Warga yang bermusik untuk menyalurkan hobi, melepas stres, dan bersosialisasi pun terwadahi.
Baca juga: Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres

Menjadi kota musik juga tidak semata untuk keuntungan ekonomi. Penelitian Patrick Fagan, ahli ilmu perilaku dan dosen Universitas Goldsmith, London, Inggris, menunjukkan, orang yang rutin menonton konser dua minggu sekali dan berbahagia berpotensi hidup sembilan tahun lebih lama. Mendengarkan musik, bernyanyi, dan memainkan alat musik sudah menjadi bagian dari pengobatan alternatif berbagai penyakit, di antaranya demensia atau kepikunan.
Laporan New York Postdan The Times, menyebutkan, insiden kekerasan verbal dan fisik berkurang saat musik menenangkan dilantunkan lewat sistem audio di 40 stasiun kereta bawah tanah di London di 2017. Upaya serupa dilakukan pada 2003 dan hasilnya kriminalitas di stasiun dan kereta komuter turun hingga 33 persen.
Saat ini, di Indonesia baru Kota Ambon di Maluku yang dinobatkan menjadi salah satu dari 66 kota musik di dunia sejak 2019. Ambon juga masuk jajaran 246 Jaringan Organisasi Kota Kreatif yang dikelola Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Kota Ambon memenuhi syarat karena musik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Musik, terutama yang mengakar pada budaya lokal, menjadi pemersatu antarkelompok masyarakat yang pernah berseteru.

Susana pertunjukan kolaborasi musik dan teater di Kampung Tuni, Kota Ambon, Maluku, Minggu (10/11/2019).
Beberapa syarat lain yang mulai dirintis pemenuhannya oleh Ambon yaitu infrastruktur penunjang berupa penyediaan sumber daya manusia, gedung pertunjukan seni, studio rekaman serta sekolah musik. Ambon mulai menata diri menjadi kota musik sejak 2016 dan sampai sekarang berbagai pembangunan infrastruktur yang diperlukan masih terus diperjuangkan.
Ekosistem musik
Seiring ambisi menjadi kota musik, Baker mengingatkan area urban perlu dibangun dengan memprioritaskan keseimbangan ekologi. Sebab, menjadi kota berkelanjutan dengan fasilitas publik mumpuni, hak warga terjamin, memiliki mitigasi bencana komprehensif, lingkungan bersih dan asri turut diperlukan untuk mewujudkan kota musik.
Ekosistem kota musik secara khusus, menurut Shapiro, disokong empat pilar utama, yaitu kebijakan pemerintah, edukasi, media, dan dukungan komunitas.

Tangkapan layar dari artikel di WEF.
Peran pemerintah itu di antaranya dengan memastikan keberadaan badan budaya dan seni maupun olahraga, sistem yang dibutuhkan, kejelasan dan kemudahan perijinan, penataan kota dan pembangunan ekonomi dengan memperkuat infrastruktur publik, serta kepastian hukum terkait isu hak cipta.
Edukasi yang diperlukan meliputi sekolah musik, pelajaran musik di fasilitas pendidikan formal, pelatihan bisnis bidang musik, dan pengembangannya secara profesional. Dari sisi komunitas, butuh ruang-ruang publik dan pusat kegiatan masyarakat, kepemimpinan yang berwawasan terbuka, memastikan kesetaraan dan inklusi sosial di antara warga kota.
Media berfungsi sebagai ruang publikasi dan menyiarkan ke semua orang. Syiar jurnalistik ini menjadi jalan bagi kota musik mengembangkan kerja sama dan berjejaring dengan kota musik lain secara global.
Di luar empat pilar itu, penataan untuk menjadi kota musik berkelanjutan ternyata ikut mensyaratkan kawasan urban memiliki layanan jaringan transportasi publik yang baik. Industri pelayanan kesehatan tak ketinggalan jadi syarat utama. Semakin kota berpotensi menarik banyak orang untuk datang, fasilitas kesehatan dan transportasi mutlak harus ada.
Selanjutnya, mengembangkan industri kreatif dan teknologi sama pentingnya dengan sektor hiburan malam yang mendukung ambisi menjadi kota musik. Seiring dengan itu, sektor pariwisata kota secara umum bakal turut terdongkrak.
Baca juga: Batman dan Hewan-hewan Metropolitan

Untuk itu, Forbes mengingatkan mimpi menjadi kota musik perlu diimbangi investasi dalam penelitian khusus musik, pembuatan kebijakan baru, dan infrastruktur untuk menjaga seni serta atraksi seni.
Seberapa jauh Jakarta dan kota lain di Indonesia melangkah untuk menggapai mimpi itu?
Kasat mata pekerjaan rumah demi benar-benar menjadi kota musik masih mengantre untuk diselesaikan. Namun, kedatangan Coldplay, Blackpink, Dream Theater, Deep Purple, dan berbagai perhelatan, seperti Joyland dan Soundrenaline, telah membawa kota-kota di Indonesia sedikit lebih dekat menjadi kota musik.
”And if you were to ask me/After all that we’ve been through/Still believe in magic?/Oh yes I do/Oh yes I do/Yes I do/...”
Baca juga: Catatan Urban