Program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial yang bertujuan mengembalikan kepercayaan dan meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap perpustakaan perlu dikawal, jangan sampai hanya berujung sebagai slogan.
Oleh
DESSY HARISANTY
·3 menit baca
Perpustakaan konon menjadi saksi bisu lahirnya peradaban dunia. Dari buku-buku yang tertata rapi memunculkan banyak inspirasi yang mengilhami para cendekiawan untuk menelurkan ide dan gagasan, juga buah pikir yang mampu mengubah dunia dari berbagai sudut pandang.
Lain dahulu lain sekarang, khitah perpustakaan sebagai pusat lahirnya peradaban harus tergeser dengan kemunculan teknologi informasi yang berkembang pesat dewasa ini. Perpustakaan yang mulanya menjadi ”sakral” karena menjadi markas para cendekiawan kini perlahan mulai ditinggalkan.
Kalimat yang menyebutkan bahwa perpustakaan mulai ditinggalkan bukan sebagai bentuk pengerdilan semata, melainkan didukung data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang menyebutkan bahwa pada April 2023 hanya ada 680 kunjungan ke perpustakaan level nasional dan awal hingga pertengahan Mei 2023 hanya ada 412 kunjungan. Data tersebut tentu menjadi cambukan bagi pengelola perpustakaan untuk segera mengambil tindakan.
Dilansir dari situs web Perpusnas RI, Kepala Perpusnas menyebutkan bahwa saat ini harus segera dilakukan transformasi. Adapun transformasi yang disarankan ialah berbasis inklusi sosial. Lalu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah transformasi tersebut mampu mengembalikan marwah perpustakaan yang telah tergeser akibat kemajuan teknologi dan informasi digital.
Transformasi berbasis inklusi
Perkembangan teknologi dan informasi digital yang semakin pesat membuat para pejabat yang memangku kebijakan perpustakaan memutar otak mengambil langkah menghadapi kondisi tersebut. Dari berbagai pertimbangan, pengelola Perpusnas pun meluncurkan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Menurut laporan yang dilansir di situs web Perpusnas RI, pelaksanaan program pada periode 2020-2021 dinilai efektif dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya dalam hal meningkatkan kesejahteraan hidup. Selama rentang waktu satu tahun anggaran yang terserap untuk program tersebut mencapai Rp 570 miliar.
Kebiasaan dan gaya hidup masyarakat yang berubah memaksa perpustakaan untuk segera bebenah. Hanya ada dua pilihan, mengikuti arus atau tergerus.
Sejatinya apa yang dilakukan pengelola Perpusnas tersebut sudah tepat karena beberapa negara di dunia juga menerapkannya, salah satunya China. China mendirikan pusat informasi intelektual yang dinamakan Intellectual Property Information Services Centres (IPIS) sebagai bentuk pengembangan nilai guna dan manfaat dari perpustakaan agar menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan (Yang & Liu, 2021).
Pemusatan ilmu pengetahuan pada perpustakaan seperti yang dilakukan China merupakan langkah yang terbilang moncer. Karena, menurut penelitian, saat ini masyarakat mengharapkan perpustakaan bisa memperluas layanan tidak hanya sebagai sarana peminjaman buku, tetapi bisa sebagai ruang untuk melakukan kegiatan budaya, rekreatif, ekonomi, dan sosial yang seluruhnya terpusat di perpustakaan (Novotný & Víchov, 2021).
Berbagai literatur juga menyarankan hal yang sama, yakni adanya transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial guna mengembalikan kepercayaan dan meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap perpustakaan. Gagasan itu memang menarik perpustakaan untuk melebarkan fungsinya agar lebih kompleks sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang pula.
Dahulu sebelum era digital, publik masih menggantungkan informasi dari perpustakaan dan surat kabar cetak yang diedarkan setiap pagi. Para akademisi hanya mengandalkan perpustakaan sebagai satu-satunya penyedia layanan informasi untuk menemukan sumber referensi. Namun, hal itu tidak terjadi saat ini, kebiasaan masyarakat telah berubah.
Kebiasaan dan gaya hidup masyarakat yang berubah memaksa perpustakaan untuk segera bebenah. Hanya ada dua pilihan, mengikuti arus atau tergerus. Perpustakaan yang enggan melakukan transformasi bisa diprediksi akan segera mati. Hanya akan hidup perpustakaan yang bersedia bebenah, beradaptasi agar tetap survive di tengah gempuran teknologi dan informasi.
Atas dasar itu, tepat kiranya jika pengelola Perpusnas berfokus untuk melakukan transformasi perpustakaan di negeri ini. Kendati demikian selaku akademisi dan aktivis yang concern kepada literasi, perlu kiranya mengawal program transformasi yang dicanangkan Perpusnas. Sejauh mana program tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat. Jangan sampai hanya berakhir menjadi slogan yang dibicarakan dalam seminar atau forum diskusi tetapi minim realisasi.
”Kawal!” merupakan kosakata yang biasa diucapkan oleh para pengamat dan aktivis dalam menyoroti suatu program maupun kebijakan. Benar saja, sepertinya kosakata ”kawal” layak dipakai oleh para aktivis literasi dan akademisi untuk menyoroti program transformasi perpustakaan yang dicanangkan Perpusnas.
Sebab, pada April 2023 publik dihebohkan dengan temuan anggaran Perpusnas yang dinilai tidak terlalu relevan dan tidak memiliki urgensi. Disebutkan dalam sejumlah media besar, ada temuan ganjal berupa anggaran Rp 9,5 miliar yang dicanangkan untuk rapat. Alhasil, angka itu menjadi polemik dan dipertanyakan oleh para aktivis.
Adanya temuan itu mendesak pengelola Perpusnas buka suara. Pejabat pengelola perpustakaan pusat itu menyebutkan bahwa anggaran sebanyak itu dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kegiatan Stakeholder Meeting Nasional (SMN). Menurut Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional Adin Bondar, penyelenggaraan SMN itu bertujuan untuk menyukseskan program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS).
Sangat tidak diharapkan jika program transformasi itu hanya berujung sebagai slogan tanpa ada realisasi yang merata di lapangan.
Kendati telah diklarifikasi secara langsung oleh pengelola Perpusnas, hal itu tak lantas membuat para pengamat, aktivis, dan akademisi berdiam diri. Perlu ada kajian yang mendetail mengenai alokasi anggaran agar tepat guna dan tepat sasaran. Sangat tidak diharapkan jika program transformasi itu hanya berujung sebagai slogan tanpa ada realisasi yang merata di lapangan.
Salah satu cermin dari ketercapaian program tersebut ialah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Semakin tinggi persentase IPM, itu berarti masyarakat sudah melek literasi. Saat ini nilai IPM 2022 ialah sebesar 64,48 yang masuk dalam kategori sedang.