Kemenangan oposisi di Thailand menunjukkan rakyat negeri itu tak ingin lagi diperintah oleh militer. Namun, apakah politisi-militer Thailand mau mendengar mereka?
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Aspirasi mendukung pemerintahan sipil, sekaligus mengakhiri pemerintahan militer, di Thailand terbaca jelas dari hasil pemilu Minggu (14/5/2023). Dua partai oposisi, Partai Bergerak Maju dan Pheu Thai, meraup dukungan 75 persen. Partai Bergerak Maju pimpinan Pita Limjaroenrat (42) diumumkan sebagai pemenang, meraih 152 dari 500 kursi di Majelis Rendah. Pheu Thai, pemenang lima pemilu sebelumnya, di peringkat kedua dengan 141 kursi.
Dua partai pengusung kandidat perdana menteri (PM) dari militer, Partai Palang Pracharath (PPRP) dan Partai Persatuan Bangsa Thailand (UTN), terpuruk di urutan keempat dan kelima, dengan 40 kursi dan 36 kursi. Di peringkat ketiga ada Partai Bhumjaithai dengan 70 kursi.
Pesan dari pemilu kali ini sangat gamblang: rakyat Thailand menginginkan perubahan. Mereka tidak ingin lagi diperintah militer. Sudah hampir satu dekade, diawali kudeta militer tahun 2014 di bawah pimpinan Jenderal Prayuth Chan-ocha yang hingga kini menjabat PM, Thailand dalam cengkeraman militer. Dalam pemilu terakhir ini, Prayuth diusung lagi menjadi kandidat PM oleh UTN yang mendapat 36 kursi.
Aspirasi perubahan yang didambakan rakyat Thailand secara elok dilukiskan koran Bangkok Postdalam tajuk rencana edisi Selasa (16/5/2023). ”Angkatan bersenjata bisa saja melancarkan kudeta berulang kali dengan senjata di tangan mereka,” tulis koran itu, ”tetapi rakyat biasa pada akhirnya akan mengirim mereka kembali ke barak hanya dengan kertas dan pena.”
Hasil pemilu itu seharusnya menjadi pengingat, tidak hanya bagi militer Thailand, tetapi juga kawasan, khususnya tetangga Myanmar, yang meniru model Thailand lewat kudeta militer tahun 2021 bahwa dalam demokrasi, aspirasi rakyat mendorong gelombang perubahan tak bisa dibungkam.
Masalahnya, di Thailand, menang pemilu kerap tak berkorelasi dengan pembentukan pemerintahan. Menang pemilu adalah satu hal, membentuk pemerintahan adalah hal lain yang berbeda. Tak ada jaminan, meski menang, Partai Bergerak Maju akan memperoleh kursi PM.
Hal itu buah dari sistem dan proses penentuan PM yang tidak demokratis, mengacu pada konstitusi tahun 2017 buatan junta militer. Pemilihan PM ditentukan mayoritas gabungan 500 anggota Majelis Rendah dan 250 anggota Senat yang ditunjuk militer. Perolehan kursi Partai Bergerak Maju dan lima partai koalisinya, termasuk Pheu Thai, baru mencapai 310 suara atau masih kurang dari 376 suara yang dibutuhkan.
Itulah ganjalan pelik yang dihadapi Partai Bergerak Maju. Ganjalan ini berkaitan dengan kuatnya resistansi politisi pro-kemapanan dan penyokong kerajaan dengan dukungan militer terhadap agenda reformasi, termasuk revisi undang-undang monarki yang diperjuangkan partai itu. Demokrasi di Thailand masih menghadapi ujian berat. Hasilnya tergantung apakah politisi dan militer mau mendengar aspirasi rakyat.