Semua hal di alam semesta, termasuk Bulan, memiliki nilai kesakralan. Umat Islam, Hindu, dan lainnya bergantung pada Bulan dalam kegiatan ritualnya. Ini dasar yang kuat agar tidak abai terhadap pertarungan politik Bulan.
Oleh
DEDEN HABIBI ALI ALFATHIMY
·2 menit baca
Kisruh penentuan hari keagamaan berbasis Bulan patut disayangkan. Saat kita masih berkutat dalam debat penampakan Bulan, sejumlah negara sudah berlomba mengeksploitasinya.
Negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi menarik diri dari Perjanjian Bulan (Moon Agreement) 1979 pada awal tahun ini karena menandatangani Artemis Accords. Ini adalah platform kerja sama antarnegara untuk eksplorasi Bulan, diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) pada 2020.
Ekonomi keantariksaan masa depan bisa jadi salah satu pendorong utamanya. Bulan mengandung lahan tambang baru dan banyak negara memandangnya sebagai sumber pendapatan masa depan.
Kolaborasi ini mencerminkan kegagalan pendekatan multilateral global dalam pengelolaan Bulan. Melalui Artemis Accords, AS berusaha unjuk kepemimpinan untuk eksplorasi Bulan. Padahal, sudah ada Perjanjian Bulan 1979 yang ditandatangani sejumlah negara.
Tumpulnya Perjanjian Bulan 1979 terkait teori hubungan internasional, bahwa suatu rezim internasional hanya efektif jika didukung negara kuat. Perjanjian ini tidak diakui oleh kebanyakan negara pemilik kemampuan eksplorasi antariksa, khawatir terkekang olehnya.
Ketegangan pun muncul antara para pengikut Artemis Accords dan lainnya. China dan Rusia memiliki inisiatif terpisah untuk eksplorasi dan eksploitasi Bulan. Jerman dan India menyayangkan upaya sepihak AS.
Ketegangan ini sangat berisiko karena melibatkan negara- negara kuat yang memiliki teknologi kunci senjata pemusnah massal. Meskipun kita telah memiliki instrumen hukum internasional yang melarang uji coba senjata pemusnah massal di Bulan, seperti Perjanjian Antariksa 1967, tidak ada jaminan perilaku destruktif manusia di Bumi tidak terbawa ke sana.
Situasi ini tak bisa dibiarkan. Bulan, bagaimanapun, bukan sekadar benda langit. Bulan berperan penting bagi kelangsungan hidup di Bumi. Baik secara kultural, religius, maupun kondisi alam.
Peran agama
Semua hal di alam semesta, termasuk Bulan, memiliki nilai kesakralan. Ahli studi agama terkemuka Karen Armstrong, dalam bukunya Sacred Nature (2022), menggambarkan betapa nilai-nilai dari berbagai tradisi keagamaan ataupun aliran kepercayaan dapat menghadirkan jalan keluar krisis alam global. Dia menekankan pentingnya penghormatan (reverence) terhadap semesta.
Umat Islam, Hindu, dan lainnya bergantung pada Bulan dalam kegiatan ritualnya. Ini adalah dasar yang kuat untuk tidak abai terhadap pertarungan politik Bulan.
Cakupan politik Bulan adalah global sehingga kaum beragama harus menghimpun kekuatan setingkat global pula.
Solidaritas keagamaan yang melampaui batas-batas negara bisa menjadi potensi besar. Ini sudah diperagakan sejumlah gerakan, seperti Hindu Climate Action dan Paus Fransiskus dalam perubahan iklim.
Pemerintah tentu dapat berperan menyuarakan perspektif religius ini. Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menghimpun suara. Keterlibatan dini dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dalam Artemis Accords dapat selanjutnya dibekali perspektif religius melalui OKI.
Karena isu eksploitasi Bulan masih belum dipahami secara utuh, pengkajian interdisiplin diperlukan. Indonesia memiliki BRIN yang telah mengintegrasikan berbagai pusat riset untuk mencermati masalah baru ini.
Pusat Riset (PR) Agama dan Kepercayaan bisa berkolaborasi dengan PR Antariksa, PR Politik, dan sebagainya. Kolaborasi dapat terus dikembangkan dengan melibatkan berbagai organisasi yang relevan.
Deden Habibi Ali AlfathimyPeneliti di BRIN dan DoctrineUK; Mahasiswa Doktoral Politics and International Relations University of Leicester