Menjadikan Rumah Ibadah sebagai Berkah
Penyegelan, penutupan, penolakan, atau perusakan rumah ibadah merupakan peristiwa yang terus berulang terjadi di Indonesia. Tugas pemerintah menjamin keamanan rumah ibadah dan umat yang hendak beribadah dari gangguan.
”Jadikan Rumah Allah sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang beriman.”
Ahmad Syafii Maarif, 2014
Pada saat segenap umat Islam khusyuk menjalankan ibadah Ramadhan 1444 Hijriah, umat Kristen terusik dengan aksi penyegelan Gereja Kristen Protestan Simalungun yang terletak di Desa Cigelam, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Alasannya klasik, gereja tersebut tak punya izin resmi dan telah menimbulkan keberatan warga setempat. Ironisnya, penyegelan itu dipimpin langsung oleh Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika.
Sebagai representasi negara, kepala daerah alih-alih melindungi hak-hak warga negara malah mengabaikannya dengan merampas hak ”bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” sebagaimana tertera dalam Pasal 28E Ayat 1, dan Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Penyegelan, penutupan, penolakan, atau bahkan perusakan rumah ibadah merupakan peristiwa yang terus berulang terjadi di Indonesia. Pada 7 September 2022, wali kota dan wakil wali kota Cilegon, Banten, ikut menandatangani petisi penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon.
Baca juga: Pemerintah dan Konflik Rumah Ibadah
Bukan hanya gereja, di tahun yang sama, tiang-tiang pancang rencana pembangunan Masjid Taqwa di Desa Sangso, Samalanga, Bireuen, Aceh, dirobohkan oleh beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai kelompok mayoritas.
Tahun sebelumnya, 3 September 2021, peristiwa lebih tragis menimpa masjid milik jemaah Ahmadiyah yang dirusak dan dibakar di Sintang, Kalimantan Barat. Dan, Januari 2019 ada perusakan mushala di Kelurahan Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Itu hanya beberapa contoh. Masih banyak kasus lain yang terjadi di negara yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keharmonisan ini.
Ironisnya, tindakan diskriminasi agama secara sewenang-wenang kerap terjadi justru dengan dalih untuk menjaga keharmonisan masyarakat. Padahal, yang terjadi sebenarnya bukan menjaga keharmonisan, melainkan karena intoleransi kelompok mayoritas yang dibalut dengan alasan menjaga keharmonisan masyarakat.
SKB yang bermasalah
Tindakan intoleransi dilegitimasi dengan peraturan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.
Menurut SKB ini, ada beberapa syarat pendirian rumah ibadah. Syarat tersebut ialah (1) daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat; (2) dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Selain itu, (3) rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan (4) rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
SKB inilah yang hampir selalu jadi alasan untuk menghambat, menghalang-halangi, dan menolak pendirian rumah ibadah, bahkan untuk menutup rumah ibadah yang sudah ada.
Sudah ada upaya untuk mencabut atau setidaknya merevisi SKB ini, tetapi selalu gagal. Alih-alih direvisi, malah pemerintah mau menguatkannya menjadi peraturan presiden (perpres) dengan tanpa mengubah substansinya.
Sudah ada upaya untuk mencabut atau setidaknya merevisi SKB ini, tetapi selalu gagal.
Dalam forum diskusi terpumpun/terbatas, penulis beberapa kali memberi masukan untuk mengubah substansi, misalnya soal siapa yang berhak mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah.
Menurut penulis, membangun rumah ibadah tidak perlu izin karena itu sudah menjadi hak setiap pemeluk agama yang dijamin konstitusi. Yang diperlukan hanya izin mendirikan bangunan (IMB) yang berlaku sesuai ketentuan tata ruang.
Atau, kalaupun misalnya, disebabkan alasan-alasan tertentu, harus ada izin, yang berhak mengeluarkan adalah pimpinan organisasi pemeluk agama yang bersangkutan karena dia atau merekalah yang paling tahu apakah umatnya membutuhkan rumah ibadah atau tidak.
Adapun tugas pemerintah adalah menjamin keberadaan rumah ibadah yang dibutuhkan pemeluknya itu. Pemerintah menjamin keamanan rumah ibadah dan umat yang hendak beribadah dari kemungkinan adanya pihak-pihak yang mengganggu atau menghalang-halanginya. Maka, sangat ironis jika ada kepala daerah justru ikut menjadi aktor yang menghambat atau menghalang-halangi keberadaan atau rencana pendirian rumah ibadah.
Fungsi agama dan rumah ibadah
Kata Sigmund Freud, manusia pada dasarnya antisosial, bahkan menurut Thomas Hobbes, manusia adalah serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). Untuk mencegah konflik antarmanusia, ada dua cara: melalui kontrak sosial yang melahirkan hukum positif, atau melalui agama dengan menghadirkan hukum Tuhan.
Di Indonesia, hukum positif dan hukum Tuhan disatukan dalam Pancasila. Orang yang patuh pada hukum, tetapi tidak mengakui keberadaan Tuhan, tidak dibenarkan oleh Pancasila karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi masyarakat Indonesia, Tuhan adalah segala-galanya. Oleh karena itu, agama dan rumah ibadah menjadi unsur yang sangat penting dalam kehidupan warga negara.
Selain penting, agama (juga rumah ibadah) menjadi sesuatu yang sakral dan diyakini menjadi tempat perlindungan dari berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Dalam konteks Indonesia, apa yang dikatakan Peter L Berger sangat tepat bahwa agama merupakan kanopi sakral (sacred canopy).
Dengan demikian, bagi masyarakat Indonesia, keberadaan rumah ibadah, selain penting, juga urgen sebagai sarana untuk meningkatkan religiositas umat beragama. Atau dalam bahasa lain, meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ciri-ciri utama peningkatan iman dan takwa adalah adanya peningkatan kebaikan, berbuat baik kepada tetangga, berbuat baik kepada sesama manusia. Bukan cuma berbuat baik kepada sesama pemeluk agama yang sama.
Dengan demikian, bagi masyarakat Indonesia, keberadaan rumah ibadah, selain penting, juga urgen sebagai sarana untuk meningkatkan religiositas umat beragama.
Oleh karena itu, jika semua orang menyadari pentingnya rumah ibadah, keberadaannya harus menjadi berkah yang patut disyukuri, bukan sebaliknya, malah menjadi pemicu timbulnya perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Artinya, di kalangan umat beragamanya sendiri pun harus ada upaya introspeksi, mengapa keberadaan rumah ibadah ditolak di suatu daerah.
Sudah jadi rahasia umum, keberadaan rumah ibadah kerap menjadi masalah, membuat kemacetan karena parkir kendaraan yang memenuhi jalan saat beribadah, atau bahkan menutup jalan karena ruang ibadah tak mencukupi hingga meluap sampai ke jalan.
Tak jarang, rumah ibadah juga dianggap sebagai sumber kebisingan karena memasang pengeras suara atau lonceng yang berdentang mengusik ketenangan. Namun, tentu tidak ada yang berani terang-terangan menentang kecuali yang siap didakwa melecehkan agama.
Rumah ibadah adalah tempat yang paling mendamaikan, tempat bersujud merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah, tempat menyucikan diri, tempat berdoa, atau bahkan menebus dosa dari semua kesalahan, termasuk kesalahan terhadap sesama manusia.
Jika fungsi rumah ibadah sudah bergeser, atau malah berbalik menjadi tempat yang meresahkan, tempat menyulut kebencian, wajar belaka jika keberadaannya ditolak atau setidaknya dipersoalkan.
Baca juga: Memediasi Konflik Rumah Ibadah
Bahkan, dalam sejarah, tahun 630 Masehi, Nabi Muhammad SAW pun pernah merobohkan Masjid Dzirar yang tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pada saat rumah ibadah difungsikan sebagaimana mestinya, menjadi tempat yang mendamaikan, baik bagi umat yang beribadah maupun umat yang berada di sekelilingnya, tentu, alih-alih ditolak, keberadaannya akan menjadi berkah yang didambakan semua umat.
Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute