BUMDes diharapkan jadi instrumen penting mendongkrak perekonomian desa. Namun, ada sejumlah tantangan menghadang sehingga kinerjanya belum optimal, termasuk kebijakan pengelolaan serta kemampuan manajerial pengelolanya.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Alo cinta, lokasi yang disediakan bagi wisatawan untuk melihat matahari terbit maupun tenggelam, di perkampungan suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Jumat (15/7/2022). Selain alo cinta yang dikelola BUMdes (badan usaha milik desa), di perkampungan ini juga tersedia tempat penginapan, homestay, dan sejumlah tempat makan.
Badan usaha milik desa atau BUMDes diharapkan menjadi instrumen penting dalam meningkatkan perekonomian perdesaan. Selain sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa, BUMDes juga dapat membuka kesempatan kerja dan menjadi sumber penghasilan penduduk lokal.
Dari laman Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa), diperoleh data bahwa jumlah BUMDes terus bertambah dari tahun ke tahun. Tahun 2019, 2020, dan 2021, jumlah BUMDes di Indonesia meningkat dari 50.199, menjadi 51.134, lalu 57.288. Sampai tahun 2022, ada 60.417 BUMDes dan 6.583 BUMDes Bersama. Dari jumlah itu, 12.285 BUMDes sudah berbadan hukum. Kemendesa menargetkan pada 2028, BUMDes ada di setiap desa di Indonesia.
Tidak semua BUMDes mengukir cerita sukses. Presiden Joko Widodo, paling tidak, dua kali menyoroti kualitas BUMDes. Tahun 2019, Presiden menyatakan ada 2.188 BUMDes yang tidak beroperasi dan 1.670 BUMDes yang beroperasi belum memberikan kontribusi terhadap pendapatan desa. Dua tahun kemudian, dalam acara peluncuran Sertifikat Badan Hukum BUMDes, Presiden kembali mengingatkan bahwa manfaat nyata BUMDes harus dapat dirasakan oleh rakyat.
Tantangan
Beberapa penulis menyebutkan tantangan-tantangan yang dihadapi BUMDes. Pertama, kebijakan pemerintah yang dinilai masih membatasi pengelolaan BUMDes sebagai entitas bisnis. Misalnya, peraturan tentang masa jabatan direktur dan pengelola BUMDes, yang dibatasi maksimal dua periode lima tahunan, alih-alih menyerahkannya pada keputusan hasil musyawarah desa. Mekanisme yang terakhir ini diibaratkan rapat umum pemegang saham (RUPS) sebuah perusahaan dalam memilih pimpinannya.
Di sisi lain, pihak Kemendesa PDTT sendiri menyatakan bahwa berbagai kebijakan sudah diluncurkan dengan semangat menguatkan kedudukan BUMDes. Misalnya, status BUMDes sebagai entitas berbadan hukum akan menjadikannya makin lincah. Dialog antara para pegiat, pengelola, dan pemerhati BUMDes di satu pihak, dan pemerintah (Kemendesa PDTT) di pihak lain, diharapkan selalu terbuka agar pernyataan Kemendesa PDTT makin menjadi kenyataan.
Tantangan kedua, kapasitas manajerial pengelola BUMDes yang belum mumpuni. Pengurus BUMDes harus memiliki jiwa kewirausahaan sekaligus mampu mengelola BUMDes secara profesional. Jiwa kewirausaan yang kreatif dan inovatif diperlukan agar jeli melihat peluang usaha yang akan dikelola BUMDes.
Menentukan unit usaha BUMDes tidak selalu mudah. Selain pertimbangan potensi yang dimiliki desa, penyediaan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh penduduk lokal, unit usaha BUMDes diharapkan tidak menjadi pesaing baru bagi usaha milik warga desa.
BUMDes di wilayah yang memiliki potensi keindahan alam, keunikan budaya lokal, atau peninggalan bangunan bersejarah biasanya memilih unit usaha desa wisata, seperti BUMDes Ponggok, di Kabupaten Klaten, BUMDes Candirejo, di Kabupaten Magelang, atau BUMDes Kutuh, di Kabupaten Badung.
BUMDes di wilayah dengan mayoritas penduduk dengan mata pencarian sebagai nelayan dapat memilih unit usaha penyediaan alat dan kelengkapan untuk melaut, yang dapat mengatasi kesulitan warga yang sebelumnya harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan barang-baran tersebut. Itulah yang dilakukan oleh BUM Nagari Tunas Jaya Sasak di Kabupaten Pasaman Barat.
Ketika sebagian besar penduduk memiliki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersih, BUMDes Cibodas di Kabupaten Bandung Barat terjun dalam usaha penyediaan air bersih untuk warga desanya. Unit usaha pertama yang dikelola BUMDes Panggungharjo di Kabupaten Bantul adalah pengelolaan sampah untuk mengatasi polusi akibat sampah. Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa potensi desa dan kebutuhan warga menjadi pertimbangan penting dalam menentukan unit usaha BUMDes.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Pengunjung memadati stan pameran dalam acara BUMDesa Expo Kalsel 2021 di Atrium Duta Mall, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (26/6/2021).
Unit usaha BUMDes juga diharapkan tidak menyaingi unit usaha warga yang sudah ada sebelumnya. Ada kasus ketika BUMDes memiliki usaha toko swalayan atau toko ATK (alat tulis kantor) yang dianggap menjadi pesaing warga yang memiliki usaha yang sama. Untuk menghindari suasana tak mengenakkan tersebut, unit usaha simpan pinjam dapat menjadi pilihan karena simpan pinjam dana akan selalu menjadi kebutuhan penduduk, tetapi tidak ada warga yang secara formal mengaku memiliki usaha mirip bank ini.
Profesionalitas dalam mengelola BUMDes ditandai dengan kegiatan dan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan dan bersifat transparan. Hasil kunjungan ke beberapa desa memberikan informasi bahwa pengelola BUMDes di beberapa desa masih bersaudara dekat dengan pejabat desa sehingga membuka risiko pengelolaan BUMDes yang cenderung bersifat ”kekeluargaan” yang sarat dengan konflik kepentingan. Selain meningkatkan keterampilan-keterampilan dalam bidang manajerial serta membangun sistem yang transparan, hal yang tidak kalah penting adalah mengubah pendapat bahwa pengelolaan yang bersifat kekeluargaan juga harus profesional.
Misi non-ekonomi
Membahas kinerja BUMDes hampir selalu tentang omzet, keuntungan finansial, dan kontribusinya pada pendapatan asli desa. Salah seorang tokoh politik pernah menyatakan, keberhasilan BUMDes dapat dilihat dari kemampuannya menghasilkan profit dalam jumlah yang lebih besar dari dana desa yang dialokasikan sebagai penyertaan modal badan usaha tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa menyebutkan, BUMDes didirikan untuk mengelola usaha dengan memanfaatkan aset desa serta menyediakan jasa dan/atau jenis usaha lainnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Masyarakat yang lebih sejahtera tidak hanya diukur dari meningkatnya pendapatan. Ada misi sosial BUMDes, yaitu manfaat bagi kelompok masyarakat marjinal, seperti penduduk miskin dan para difabel. Apresiasi harus diberikan ke BUMDes yang memberikan prioritas ke kelompok-kelompok tersebut untuk mengisi lowongan pekerjaan.
Unit usaha BUMDes juga harus selaras dengan upaya pelestarian lingkungan. Salah satu aset unik sebagian besar wilayah perdesaan yang tidak ditemukan di wilayah perkotaan adalah kualitas alam dan lingkungan yang lebih baik. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa adalah meningkatnya kemampuan ekonomi tanpa mengorbankan alam dan lingkungan.
Dengan jumlah yang semakin banyak, meningkatkan kualitas BUMDes menjadi tugas berikutnya. Pendirian BUMDes yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga desa tidak hanya diukur dari kinerja finansial berupa omzet dan keuntungan, tetapi juga dari sisi sosial (kebermanfaatannya bagi kelompok masyarakat tersisih), meningkatnya partisipasi warga, serta kontribusinya dalam pelestarian lingkungan.