Mendefinisi Ulang Usaha Mikro dan Kecil
Kriteria usaha mikro dan kecil atau UMK perlu didefinisi ulang. Dengan demikian, akan meningkatkan kesempatan UMK gurem untuk ikut memanfaatkan peluang imperatif 40 persen belanja pemerintah secara lebih adil.

Peluang usaha mikro dan kecil atau UMK untuk berkembang yang disediakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akan tidak efektif apabila kriteria UMK yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah tidak diubah.
Perppu ini merupakan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Karena itu, pengesahan perppu tersebut merupakan kesempatan tepat untuk merevisi definisi dan kriteria UMK ke dalam PP baru pengganti PP No 7/2021.
Walau definisi UMK tidak berubah, erjadi perubahan kriteria sangat substansial. Pada UU No 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kriteria UMK menggunakan pendekatan nilai penjualan dan nilai aset, sementara PP No 7/2021, menggunakan kriteria nilai penjualan dan modal.
Perubahan kriteria nilai penjualan berupa peningkatan skala (size), sementara kriteria aset diganti kriteria modal. Perubahan kriteria tersebut tidak cukup memenuhi syarat (eligible). Eligibitas kriteria dan konsistensi penerapannya akan menentukan seberapa efektif kebijakan, program, dan sasaran dalam pengembangan UMK mengingat tingkat heterogenitas UMK yang sangat tinggi.
Baca juga: Harapan Baru bagi Usaha Mikro dan Kecil
Batasan yang tidak eligible dan indikator capaian yang tidak terukur akan menyebabkan kebijakan tidak tepat sasaran dan outcome rendah. Sebagai contoh, kebijakan kewajiban bank untuk menyalurkan kredit mereka sebesar 20 persen untuk UMKM, termasuk di dalamnya Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan tahun 2022, target penyaluran kredit untuk UMKM tercapai sebesar 20,99 persen dari total penyaluran kredit, tetapi distribusinya menurut skala usaha sangat timpang. Jumlah kredit tersebut untuk usaha mikro 7,25 persen, usaha kecil 7,95 persen, dan usaha menengah 5,79 persen. Artinya, kredit tersebut lebih banyak dinikmati usaha menengah yang hanya 1 persen, sedangkan UMK yang mencapai 98,68 persen hanya mendapat bagian kredit 15,20 persen.
Bagi bank, kewajiban mereka sudah selesai karena sudah memenuhi kewajiban dan mencapai target, tetapi tujuan kebijakan untuk menumbuh-kembangkan UMK melalui peningkatan akses modal masih jauh dari efektif. Penyebabnya antara lain karena kebijakan kredit tersebut tidak secara tegas membedakan sasaran target untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.

Definisi UMK di sejumlah negara
Tidak ada definsi tunggal dan seragam yang terap di semua negara. Variabilitas definisi ini memang menjadi isu penting pada tataran global (World Bank Group, SME’s Synthesis of Evaluative Findings, 2019). Definisi dan kriteria UMK bergantung kepada standar setiap negara karena karakteristik dan permasalahan UMK pada tiap-tiap negara tidak selalu sama. Namun, Jeff Bloem (2012) menyimpulkan ada tiga kriteria yang biasa digunakan banyak negara atau lembaga, yaitu jumlah pekerja, nilai penjualan dalam setahun, dan aset total.
Banyak negara yang menggunakan kriteria tenaga kerja, nilai penjualan, dan atau aset. Hanya Vietnam yang menggunakan kriteria modal dan India yang menggunakan kriteria investasi. Kriteria turn-over pada dasarnya juga merupakan indikator nilai penjualan. Karena tidak ada kriteria terbaik yang terap untuk semua negara, maka pertanyaan yang relevan adalah kriteria mana yang paling eligible untuk diterapkan, termasuk di Indonesia.
Banyak negara yang menggunakan kriteria tenaga kerja, nilai penjualan, dan atau aset.
Oya Pinar Ardic etal (WP 5538, 2011) menyebutkan kriteria tenaga kerja dan nilai penjualan merupakan parameter paling akurat untuk mendefinisikan UMK. Total nilai penjualan sangat logis sebagai kriteria mengingat parameter nilai penjualan lebih mencerminkan surplus ekonomi, yang bukan hanya dinikmati oleh produsen atau penjual dan tenaga kerja, melainkan juga para konsumen. Semakin besar penjualan, akan semakin besar pula surplus ekonomi.
Lantas, bagaimana kriteria aset dibandingkan kriteria modal? Dalam perspektif analisis keuangan, nilai modal tercermin sebagai bagian dari nilai aset. Artinya, nilai aset pasti akan selalu lebih besar dari nilai modal. Sementara, nilai aset di dalamnya juga termuat nilai produksi atau nilai penjualan. Jadi nilai aset inilah yang lebih mencerminkan surplus ekonomi daripada nilai modal. Kriteria modal lebih merupakan parameter untuk mengejar laba. Maka, bagi UMK akan jauh lebih berat memenuhi kriteria batasan modal, daripada memenuhi kriteria batasan aset.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F12%2F0ff95b49-33ee-4d8f-9017-68f2e6d4b38e_jpg.jpg)
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyapa para pengusaha peserta Bazar Ramadhan produk-produk usaha mikro, kecil, dan menengah, Rabu (12/4/2023), di Jakarta.
Implikasi dan dampak
Peraturan Pemerintah No 7/2021 mengubah batasan kriteria skala nilai penjualan UMK; meningkat menjadi enam kali lipat dibanding kriteria menurut UU No 20/2008. Batasan usaha mikro diubah dari nilai penjualan hingga Rp 300 juta menjadi Rp 2 miliar, usaha kecil dari nilai penjualan Rp 300 juta-Rp 2 miliar menjadi Rp 2 miliar-Rp 15 miliar, dan usaha menengah dari Rp 2,5 miliar–Rp 50 miliar menjadi Rp 15 miliar-Rp 50 miliar. Apa implikasi dan dampak perubahan definisi tersebut?
Hasil Sensus Ekonomi 2016 (SE 2016); yang dalam pencatatannya menggunakan definisi UMKM menurut UU No 20/2008, menunjukkan jumlah UMK sebanyak 98,68 persen dan UMB (usaha menengah dan besar) 1,32 persen. Dengan kriteria baru, semua usaha mikro dan kecil, serta sebagian usaha menengah menurut SE 2016, akan tergolong dalam kelompok UMK. Rentang segmentasi usaha mikro dan usaha kecil menjadi sangat lebar dan mengakibatkan intervensi kebijakan tidak efektif.
Sudah ditunjukkan dalam berbagai riset (World Bank Group, 2019; Oya Pinar et.al, 2011; Tom Gibson, 2008; Jebb Bloem, 2012), karena tingkat heterogenitas karakteristik yang tinggi, kebijakan, sasaran dan program menjadi tidak fokus, tumpang tindih, alokasi anggaran pendampingan tidak efisien. Pelaksanaan program menjadi tidak efektif, dan outcome rendah atau bahkan tidak terukur. Situasi ini sungguh terjadi saat ini, dan terkonfirmasi oleh berbagai pengalaman penulis mendampingi pemerintah; baik provinsi maupun kabupaten/kota dan UMK.
Baca juga: Politik Pembangunan UMKM
Peraturan Pemerintah No 7/2021 juga mengubah batasan kriteria skala aset menjadi skala modal. UU No 20/2008 menetapkan kriteria batasan aset untuk usaha mikro sampai dengan Rp 50 juta, usaha kecil antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta, dan usaha menengah antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Kriteria aset tersebut diubah menjadi kriteria modal dengan menetapkan batasan modal untuk usaha mikro sampai dengan Rp 1 miliar, usaha kecil antara Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar, dan usaha menengah antara Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar.
Dengan kriteria modal, semua usaha mikro dan kecil akan tergolong usaha mikro, dan sebagian besar usaha menengah akan tergolong usaha kecil. Kriteria modal ini sesungguhnya mengingkari fakta. Dari data SE 2016 tersebut sekitar 82 persen usaha mikro, yang kalau menurut kriteria aset, aset mereka kurang dari Rp 50 juta, dan 16 persen usaha kecil dengan aset kurang dari Rp 500 juta. Artinya, modal mereka pasti di bawah nilai aset mereka.
Dari semua UMK tersebut, 88,3 persen belum pernah mendapat fasilitas kredit dari lembaga keuangan karena tidak bankable sehingga untuk mencapai pemenuhan standar modal sesuai batasan kriteria modal akan sangat berat. Itulah faktanya. Pendekatan aset lebih mengutamakan surplus ekonomi atau kesejahteraan, sedang pendekatan modal lebih mengutamakan orientasi laba, pemupukan modal, dan cenderung kapitalistik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F12%2F3dba5c4d-6683-4a35-958a-5d9e28fb891c_jpg.jpg)
Para pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang telah dinaungi perusahaan sebagai pembeli produk secara simbolis menerima KUR berbasis kluster, Rabu (12/4/2023), di Jakarta. Sepanjang 2023, dana kredit usaha rakyat berbasis kluster sebesar Rp 538,7 miliar kepada 5.310 UMKM.
Definisi ulang
Pemerintah seharusnya mendefinisi ulang kriteria UMK dalam PP pengganti PP No 7/2021. Pertama, kriteria UMK sebaiknya kembali kepada kriteria nilai penjualan dan kriteria aset, sebagaimana digunakan dalam UU No 20/2008. Kedua kriteria tersebut lebih mencerminkan surplus ekonomi bagi pelaku UMK. Selain itu, kriteria aset lebih mencerminkan fakta UMK di Indonesia. Profil skala usaha UMK di Indonesia kebanyakan merupakan skala mikro dan belum bankable. Selain itu, kriteria aset juga lebih sering digunakan di banyak negara.
Kedua, rentang batasan nilai penjualan dipersempit. Kriteria ini lebih realistis, dan dimaksudkan agar intervensi kebijakan lebih efektif dan fokus mengingat heterogenitas UMK sangat tinggi. Penciutan batasan ini dapat dilakukan dengan menurunkan kriteria batasan nilai penjualan dari yang kini berlaku. Atau, dengan membagi satu kriteria kedalam beberapa segementasi. Misalnya, usaha mikro level 1 sampai dengan Rp 500 juta, level 2 antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar, level 3 antara Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar. Kriteria ini harus tertulis eksplisit agar para pelaksana pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak kebingungan, lebih dari itu, agar dapat diturunkan menjadi kebijakan operasional yang efektif.
Jika pendefinisan ulang ini dilakukan, setidaknya akan meningkatkan kesempatan UMK yang betul-betul gurem untuk ikut memanfaatkan peluang imperatif 40 persen belanja pemerintah untuk barang dan jasa dalam negeri bagi UMK, secara lebih adil.
FX Sugiyanto, Guru Besar dan Ketua Laboratorium Studi Ekonomi Pancasila FEB Undip

FX Sugiyanto