Sebuah Pesan dari Realino
Realino mengajarkan perbedaan adalah keniscayaan. Namun, kita tetap harus bersahabat dalam kemanusiaan.

Dalam hujan rintik-rintik begini/Kutatap cahaya lampu di sela-sela daun cemara/Realino, kapankah alammu yang indah itu/akan bisa kunikmati lagi.
Puisi itu ditulis Ahmad Wahib pada 31 Oktober 1964. Saya membaca puisi Ahmad Wahib dalam perjalanan balik dari Yogyakarta ke Jakarta, akhir pekan lalu. Saya datang ke Yogyakarta menghadiri reuni Asrama Mahasiswa Realino, 6-7 Mei 2023. Wahib adalah penulis buku Pergolakan Pemikiran Islam terbitan LP3ES. Bukunya banyak menimbulkan tanggapan. Wahib pernah menghuni Asrama Realino periode 1962-1964. Saya menjadi penghuni asrama pada 1983-1985.
Realino berada di daerah Mrican, Yogyakarta. Lokasinya dekat dengan kampus, di antaranya Universitas Negeri Yogyakarta (dulu IKIP), Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya, dan Universitas Sanata Dharma. Lebih dari 200 orang hadir dalam reuni penghuni Realino. Reuni digelar di guest house di Jalan Boyong, Kaliurang, dan dilanjutkan menapak tilas di Asrama Realino dengan jamuan khas Realino.
Mereka datang dari berbagai belahan tempat di Indonesia ataupun luar negeri. Ada Akira Nakatsuji, penghuni Realino pada 1968-1970, yang datang dari Yokohama, Jepang. Ada Ramlan Surbakti, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum. Ada mantan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Tandelilin Eduardus, ada Normin Pakpahan, Gufron Sumariyono, Anton Sudjarwo, inisiator Dian Desa, serta sejumlah alumnus yang datang dari Papua dan tempat lain di Tanah Air. Ada juga penghuni yang tidak sempat hadir, seperti Djauhari Oratmangun (Dubes RI di China) dan hakim tinggi Binsar Gultom.
Wahib adalah mahasiswa asal Sampang, Madura. Ia belajar di Fakultas MIPA UGM. Wahib meninggal pada usia muda saat pengemudi motor berkecepatan tinggi menabraknya pada 31 Maret 1973. Kepergian Wahib yang pernah menjadi reporter Tempo meninggalkan catatan harian yang kemudian dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib terbitan LP3ES.

Mural menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Hal itu salah satunya di temui di Jalan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (22/2/2020). Mural itu menggambarkan karikatur sosok Gus Dur, berpadu dengan gambar umat yang berbeda agama.
Realino adalah asrama mahasiswa yang didirikan pada 1957 oleh Serikat Jesus untuk menampung mahasiswa dari berbagai latar belakang untuk menghadirkan intelektual Indonesia berdasarkan prinsip Sapientia et Virtus (Kebijakan dan Kebajikan). Asrama itu ditutup pada 1989. Realino bukanlah sekadar asrama berbayar. Realino bukan sekadar tempat kos, melainkan memang didesain untuk membiasakan mahasiswa hidup dalam perbedaan. Perbedaan dalam suku, berbineka dalam agama, beda dalam perguruan tinggi, dan hidup dalam tradisi intelektualitas. Membiasakan hidup dalam perbedaan dan semua dipersatukan dalam kemanusiaan.
Baca juga: Politik ”Ruang Bersama”
Saya mengintip gsumariyono’s weblog, salah seorang penghuni Realino. Ia menulis demikian, ”Di Realino berkumpul mahasiswa berbagai daerah, beragam suku bangsa, beragam adat istiadat, berbagai kepercayaan. Kumpulan gado-gado anak-anak muda itu dilatih, diajar, dan diasuh untuk hidup bersama dalam suasana damai. Kita bisa hidup bahagia dalam Indonesia mini di Realino yang penuh keberagaman. Kita tak pernah hidup terkotak-kotak. Kamu agama ini, kamu suku itu, kamu hitam, kamu putih, kamu kaya, kamu miskin …. wah .. nggak ada itu kotak-kotak di Realino. Semua sama saja, tidak ada perbedaan,” tulisnya.
Kehadiran eks penghuni asrama Realino seakan menjadi kerinduan akan kebersamaan, kerinduan akan kemanusiaan. Kerinduan akan kemanusiaan dan kebersamaan itulah yang mendorong Akira Nakatsuji terbang dari Yokohama ke Yogyakarta atau Okto Faustinus Maclarimboen, seorang guru SMA dari Jayapura, terbang dari Jayapura-Yogyakarta dan kemudian balik lagi ke Jayapura.
Bersahabat dalam kemanusiaan dan membiasakan dalam perbedaan menjadi tema relevan di tengah situasi saat ini. Ketika identitas menjadi problem politik, ketika identitas menjadi penanda perbedaan untuk saling menjauhkan. Realino mengajarkan perbedaan adalah keniscayaan. Namun, kita tetap harus bersahabat dalam kemanusiaan. Realino merupakan jawaban atas lanskap politik jelang tahun 1960-an ketika isu kewilayahan terasa dominan.
Kini, perkembangan dunia digital membuat masyarakat hidup dalam kepompong informasi. Kepompong informasi dipasok informasi yang dipilihkan algoritma. Algoritma memilih informasi sewarna sehingga yang terjadi adalah ”penguatan” kelompok. Akibatnya, kebinekaan gagasan sulit muncul dalam kepompong-kepompong informasi.

Umat lintas agama berkeliling Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka bersama lintas agama dengan tema Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan, Jumat (1/6/2018). Berkumpulnya umat lintas agama di saat Hari Lahir Pancasila ini menjadi salah satu bentuk nyata kuatnya kebersamaan lintas iman yang penting menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Gagasan yang dibawa Realino relevan dengan tren terjadinya divided society dan pengelompokan kewilayahan berbasiskan warna etnisitas. Perjumpaan berkurang. Akibatnya, gesekan antarkelompok mahasiswa kerap terjadi. Semangat Realino dikembangkan dalam format berbeda oleh Presiden Jokowi dengan nama Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN).
Melalui Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2021, pemerintah membangun Asrama Mahasiswa Nusantara di enam kota di lima provinsi. Asrama Mahasiswa Nusantara di Surabaya diresmikan Presiden Jokowi 29 November 2022 sebagai respons atas kerapnya terjadi gesekan di antara mahasiswa. ”Inilah pentingnya Asrama Mahasiswa Nusantara, agar kita saling mengenal. Kita saling tahu adat budaya kita dan kita bisa rukun dan kompak karena di Asrama Mahasiswa Nusantara diberikan wawasan kebangsaan,” kata Presiden Jokowi.
Bangsa Indonesia memiliki 714 suku bangsa. ”Keberagaman Indonesia adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kalau kelemahan artinya gampang diadu-adu domba. Enggak. Ini adalah kekuatan. Kalau kita bisa kompak, kita bisa rukun, dan kita bisa bersatu,”” kata Presiden.
Keberagaman adalah keniscayaan. Keberagaman adalah anugerah mengokohkan kemanusiaan. Namun, untuk memperkuat itu tetap butuh perjumpaan secara alami. Semangat itu tecermin dalam refleksi Wahib. Pada 18 September 1969, Wahib menulis, ”... bagaimana aku disuruh membenci pemeluk Kristen-Katolik. Aku pernah satu keluarga dengan mereka. Aku pernah bertahun-tahun tidur, bergurau dan bermain bersama mereka. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa benci.…”
Kerinduan Wahib. ”Kapan alammu (semangatmu) yang indah bisa kunikmati lagi.” Itu kerinduan bangsa yang berpotensi terbelah karena pengelompokan politik....