Rencana revisi UU TNI mesti dipastikan untuk menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan yang ada serta tak memunculkan efek negatif atas capaian yang telah diraih
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Personel Satgas Rapidly Deployable Battalion (RDB) Kontingen Garuda XXXIX-A/Monusco Kongo dan Marine Task Force (MTF) XXVII-K Unifil Lebanon, Jumat (31/8/2018), mengikuti upacara pemberangkatan di Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Reformasi di internal TNI dinilai paling berjalan.
Reformasi di internal Tentara Nasional Indonesia boleh disebut yang relatif paling berjalan dalam hampir 25 tahun perjalanan era reformasi di Tanah Air.
Hal itu, antara lain, dapat dilihat dari tingginya citra TNI. Hasil survei Kompas pada Februari 2023 menunjukkan, sebanyak 86,5 persen responden menyatakan citra TNI adalah baik. Sisanya, ada 3,7 persen responden yang menjawab buruk dan 9,8 persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Citra baik untuk TNI itu adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan lembaga lain, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, kejaksaan, partai politik, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Tingginya citra TNI yang sudah terlihat sejak beberapa tahun lalu itu adalah bagian dari buah reformasi di internal TNI, yang selama ini antara lain dipandu oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Lewat UU itu, TNI tak hanya melepaskan peran sosial politiknya, tetapi juga memantapkan jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.
Dalam perjalanan waktu, tak semua hal tersedia secara ideal guna mendukung reformasi TNI. Misalnya terkait ketersediaan anggaran. Pada 2023, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mendapat anggaran Rp 134,32 triliun. Meski paling besar dibandingkan kementerian lain, anggaran itu hanya sekitar 0,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu jauh dari ideal, yaitu sekitar dua persen dari PDB, dan masih di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang besarnya sekitar 3 persen dari PDB serta Vietnam (2,3 persen PDB).
Terbatasnya anggaran ini memunculkan persoalan, antara lain terkait modernisasi alutsista hingga kesejahteraan dan pembinaan prajurit. Di saat yang sama, ancaman terhadap kedaulatan negara terus berkembang. Misalnya, peperangan masa depan lebih bertumpu pada kecerdasan buatan yang memunculkan teknologi tak kasat-radar dan wahana perang udara nirawak.
Di tengah kondisi ini, penyesuaian memang dibutuhkan agar TNI dan sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan lebih optimal untuk menjawab tantangan yang ada. Dalam hal ini, dimungkinkan langkah seperti revisi terhadap UU TNI.
Bangsa Indonesia amat membutuhkanTNI yang semakin teguh dan mantap dengan jati dirinya.
Namun, hal yang perlu dipastikan adalah revisi itu betul-betul untuk menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan yang ada serta tak memunculkan efek negatif atas capaian yang telah diraih. Hal itu yang perlu dijawab, misalnya terkait wacana seperti tentang dukungan anggaran, TNI tak lagi ingin berada di bawah koordinasi Kemenhan. Juga tentang wacana agar prajurit aktif dapat lebih banyak menduduki jabatan di kementerian/lembaga.
Diskusi yang deliberatif dibutuhkan untuk memastikan bahwa langkah yang diambil betul-betul yang terbaik. Hal ini penting dilakukan karena bangsa Indonesia amat membutuhkan TNI yang semakin teguh dan mantap dengan jati dirinya. Jangan sampai ada langkah mundur terkait hal itu.