Adab urban modern agaknya sudah mendarah-daging. Apalagi tak bisa saya tak melihat yang jelita-jelita asyik berdiskusi dengan pria ganteng atau terpaku menggali informasi entah apa di kedalaman HP-nya.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Saya kini kerap berada di perjalanan, berpindah pindah kota. Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Solo, dan lain-lain. Saya mencari napas bangsa ini. Sejauh mana telah berubah sejak kira-kira 15 yang lalu ketika saya terakhir berkelana dengan berkeliling naik bus dan kereta.
Saya kaget. Secara positif. Tadi, misalnya, saya naik KRL Yogya-Solo. Semuanya bersih dan tertata. Tak ada lagi orang jongkok di pinggir peron menawarkan entah minuman ini atau makanan itu. Kalau sudah masuk di kereta, orang-orang muda yang tadinya merangsek masuk dengan cepat, tak segan-segan menyerahkan kursinya kepada wanita hamil atau laki-laki tua.
Ya! Adab urban modern agaknya sudah mendarah-daging. Apalagi tak bisa saya tak melihat yang jelita-jelita asyik berdiskusi dengan pria ganteng atau terpaku menggali informasi entah apa di kedalaman HP-nya.
Tak ayal kemodernan kini sudah memperlihatkan wajah indahnya. Sebagian cukup besar masyarakat Indonesia sudah hidup senapas dengan padanannya di kota-kota dunia di negeri entah berantah, di benua nun jauh di sana. Maka, bravo kepada orang Indonesia yang kini melangkah megah penuh karisma.
Namun, ada juga orang Indonesia lain. Yang tidak melangkah. Yang tidak pernah memahami apa artinya ”memilih” ketika membeli sesuatu. Yang terbawa arus air untuk terdampar di pinggir sungai, pilihan air mengalir dan bukan dirinya. Ada orang Indonesia, yang jelitanya akan kawin muda di luar pilihannya dan yang gantengnya akan patah punggung sebelum menua.
Dan, ada pengauh becak
Oh, selama ini pengayuh becak seolah-oleh tidak ada. Tidak pernah menjadi bagian dari ruang lingkup saya selama perjalanan saya. Kalau perlu ke suatu tempat, saya buka HP, hubungi gojek, dan sepuluh menit kemudian saya sudah menuju tujuan.
Kecuali tadi. Ya, tadi ketika habis breakfast, saya entah kenapa nongol ke luar lobi, ingin merasa napas Kota Solo yang tak terlalu saya kenal ini. Di depannya, tak ada taksi, tak ada apa. Maka, saya melangkah ke jalan. Dan apa yang saya lihat di pinggir jalan itu, kira-kira lima puluh meter jauhnya: satu becak. Ternyata masih ada becak di Solo! Becak tanpa motor. Asli!
Tanpa berpikir lebih jauh dan tanpa melihat-lihat becaknya, saya mendekat. Pengayuhnya tua, keriput. Saya lalu memberikan alamat tujuan saya, tidak menawar. Tak pantas, pikir saya. Soalnya orang tua. Ketika saya bertanya: mengapa Bapak tak lebih dekat ke hotel? Jawabannya singkat: ”dimarahi”. Lalu bungkam.
Ternyata sulit menjadi penumpang bapak ini. Ketika saya mau duduk, celaka: atapnya terlau rendah, terpaksa membungkuk. Baru mulai jalan, kepala saya kepentok setiap saat. Tapi telat untuk mundur. Lalu saya perhatikan. Kursi plastiknya robek-robek.
Saya tidak ada waktu memperhatikannya: dari belakang terdengar bunyinya, keras: ”Eheek-eheek-eheek”. Napas orang. Orang tua yang terengah-engah, sulit bernapas. ”Ngapain di sini,” pikir saya. Mendengarkan bunyi maut kian mendekat dari napas orang yang justru mengayuh demi bertahan hidupnya.
Kini kami sudah mulai jalan. Mulus. Agak turun rasanya, Eheek-eheeknya berkurang. Tetapi, tiba-tiba dia mengerem. Di depan ada polisi tidur, besar. Harus dinaiki, lalu turun, berbunyi ”klatak”, disusul eheek-eheeknya. Dan ada lagi polisi tidur. Banyak. Setiap kali disusul bunyi klatak dan eheek-eheeknya.
Enak sendiri polisi tidurnya!! Biarpun tidur, enggak pernah terpikir oleh si polisi itu nasib pengayuh becak tua. Dibuat khusus untuk anak muda zaman kini yang suka ngebut, bukan untuk mereka yang bernapas dengan terengah-engah mengantar bule ke tujuan entah mana. Jago juga si polisi tetap tidur.
Ke tujuan entah mana, memang. Ternyata tak cukup diganggu polisi tidur. Tujuan pun tak mudah dicapai. Ada fly-over menghalangi. Dilarang bagi pengayuh becak. Harus keliling.
”Terlalu jauh? Pak,” tanya saya.
”Tak apa-apa,” jawabnya menarik napas. Napas tanpa harapan, kecuali harapan duit dari tangan saya.
Memang itulah akhirnya yang terjadi. Transaksi uang untuk eheek-eheeknya. Hanya dibalas senyum.
Maka, bisa jadi hidup kini berarti menumpang mobil mentereng, nongkrong di kafe dan belanja di mal. Tetapi, jangan dilupakan bahwa di antara mereka yang dulu sekadar miskin, kini sering kali menjadi melarat. Yang bakal mati di gubuk entah mana, habis berbunyi eheek-eheeknya.