Hari ini, 40 hari lalu, seniman AS Kurnia meninggal, tanpa tanda dan pesan. Dia pergi dalam kesendirian, tetapi idealismenya tak meninggalkan kita. Idealisme dan ketotalannya menjadi profesionalisme dalam karyanya.
Oleh
ARICADIA
·4 menit baca
Pepatah bilang, ”hidup itu menanti mati”. Waktu kecil aku berangan-angan mati pada umur 60 tahun. Kalau boleh memilih, aku ingin mati di hari kelahiranku. (Catatan Kecil AS Kurnia)
Minggu, 14 Mei 2023, merupakan peringatan 40 hari meninggalnya AS Kurnia dalam usia 63 tahun. Tiga tahun diberi bonus Yang Kuasa melebihi keinginannya untuk meninggal di usia 60 tahun. Tidak pula di hari kelahirannya, tetapi mendapat anugrah PIN istimewa meninggal di hari Paskah, hari kebangkitan dari kematian idolanya, Yesus, di bulan yang indah purnama dan bulan suci Ramadhan pula.
Mungkin, boleh jadi AS Kurnia adalah lokomotif terakhir, tonggak seniman yang berani mengambil sikap/pilihan hidup. Berani total idealis berkarya secara jujur dengan mengesampingkan fisik maupun kehidupan pribadinya dalam era modern saat ini, sementara para pelukis senior seangkatannya sudah mapan dari hasil perjuangan menyelaraskan antara dilema berkarya dan kehidupannya.
Mungkin tidak banyak yang tahu arti nama AS, di depan namanya adalah kependekan dari Asyar yang mempunyai arti percaya diri, mandiri, dan bicara apa adanya. Nama yang ia ciptakan karena masa Orde Lama dilarang menggunakan nama atau memakai budaya yang berbau China. Jadi Asyar adalah perubahan nama aslinya, Kwik Yam Bie di akte kelahirannya, catatan sipil Tionghoa Semarang.
Rupanya nama Asyar itu memang sesuai dengan sikap Kurnia yang tidak pernah mengeluh walau deritanya hebat dan panjang. Di mulai dalam lingkungan keluarga, masa kecilnya yang kurang harmonis, menyimpan banyak memori pahit yang membentuk pribadi introvert tidak mau merugikan dan menerima belas kasih kepada sesama seniman serta menghamba kepada kolektor (bantuan apa pun ditolaknya).
Pribadi yang tertutup, sangat kaku, susah bersosialisasi dengan sesama sebenarnya sangat berat baginya untuk ia terima. tetapi kondisilah yang membentuk wadah diri untuk sebuah watak pribadi yang keras seperti itu ia tuangkan melalui tulisan-tulisan protes vokalnya yang berkesan nyinyir bagi yang mencerna secara sensitif dan sentimentil.
Perjalanan dalam kegelisahan
Dalam kekurangannya, didera situasi dan kondisi yang sulit, tanpa disadari kemandirian terbentuk mencipta talenta yang multimumpuni dan murni. Menghasilkan karya-karya yang intens dengan kekayaan ide-idenya dan kecerdasan otaknya walau tidak mengenyam pendidikan seni manapun. Bahkan bangku pendidikan terakhir hanya kelas 2 SMP di Dominico Savio, Semarang, karena terbentur biaya.
Mulai melukis di usia belia. Dimulai di dunia karikatur yang cukup menggebrak di Semarang, kota kelahirannya. Bergabung dengan Sanggar Pawiyatan Raden Saleh dan pernah berguru dengan Saryono pelukis Semarang. Sering mengikuti pameran dan sering menjuarai kompetisi. Sampai puncaknya pada 1989 dia terpilih sebagai juara 1 Kompetisi Pelukis Muda Indonesia yang digagas oleh ITB berkolaborasi dengan Alliance Francaise yang membawa dia keliling Eropa.
Dalam kekurangannya, didera situasi dan kondisi yang sulit, tanpa disadari kemandirian terbentuk mencipta talenta yang multi mumpuni dan murni.
Eksplorasinya tidak hanya melukis, tetapi juga seni grafis, kolase, dan membuat patung untuk konsep wacana karya lukisnya. Dalam literatur, puisi, cerpen, dan artikel seninya sering diterbitkan media-media besar di Indonesia. Karya-karya Kurnia memiliki kedalaman makna mendalam. Menggiring para pengamat untuk penasaran dan berusaha menelisik dan mengerti.
Semua kegelisahan dan keganjilan yang ia selami dalam hidup ia curahkan dalam lukisannya. Sebuah protes yang keras yang positif. Seperti pula dalam tulisan- tulisannya yang kritis dan vokal. Ketotalan dalam berkarya menjadi profesionalisme dalam karyanya untuk hidupnya.
”Di penantian mati, aku ingin berkarya cipta. Cahaya berkesenian tetap berseri-seri. Nyala berkesenian tak pernah mati Berkesenian adalah denyut nadi. Aku tak peduli karyaku akan selesai atau tidak.” (catatan kecil AS Kurnia)
Dalam kesendirian
Pada 4 April 2023 pukul 08.00, dia telah pergi meninggalkan jasadnya yang jongkok meringkuk berdoa, di sebelahnya terbuka kitab Injil, di atas lantai dingin dilapisi kasur tipis. Di kamar yang pengap kecil ukuran 1,5 meter x 2,5 meter yang sekaligus menjadi dapur, ruang makan, serta botol-botol kecil di ruangan itu. Pergi tanpa tanda dan pesan meninggalkan Si Putih, sepeda kayuh yang setia setiap pagi mengantarnya menanjak ke Arma Museum.
Sehari setelah kematiannya, Goenawan Muhamad mengirim pesan kepada saya, ”Ari. Sedih banget Kurnia pergi. Sendirian.”
Ya, dia pergi dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi idealismenya tidak meninggalkan kita. Idealisme yang tak ternilai itu pula yang menerbangkannya ke suarga loka....
Seperti pada catatan akhirnya: ”Aku menabur bunga bukan untuk kematian atau kehidupan, tetapi sebagai jejak berkesenian. Aku menyalakan lilin bukan untuk menerangi kematian atau menandai kehidupan, tetapi sebagai ikrar berkesenian. Aku tak peduli ada yang mengapresiasi atau tidak.... ”
Aricadia, Seniman dan Penulis
Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.