Ada Apa dengan Tata Kelola BUMN
Banyaknya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang di BUMN dan anak perusahaan tentunya menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dengan tata kelola di BUMN? Apakah acuan tata kelola yang ada saat ini sudah tak memadai?
Sejumlah BUMN dan anak perusahaannya menjadi sorotan karena berbagai kasus korupsi atau dugaan korupsi dan kasus kelalaian yang menyebabkan kerugian atau potensi kerugian yang akan ditanggung BUMN-BUMN tersebut.
Kasus dugaan korupsi terakhir adalah kasus dugaan korupsi di dana pensiun Pelindo.
Kasus lain yang sudah dalam proses di kejaksaan dan pengadilan atau sudah diberitakan di berbagai media antara lain kasus korupsi di Garuda, Jiwasraya, Asabri, Pertamina (LNG), Krakatau Steel, PT INTI, Perum Perindo, Waskita Karya, Nindya Karya, Waskita Beton Precast, dan kasus lain yang sudah diputuskan di pengadilan.
Banyaknya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang di BUMN dan anak perusahaan tentunya menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dengan tata kelola di BUMN? BUMN sudah memiliki acuan (guideline) tata kelola sejak lama, dan pedoman tata kelola itu beberapa kali juga sudah diperbarui.
Baca juga: ”Quo Vadis” Tata Kelola BUMN
Acuan tata kelola itu mengatur tentang rapat umum pemegang saham (RUPS), struktur dan aktivitas dewan komisaris, dewan direksi, dan perangkat lain dalam perusahaan, seperti komite- komite, misalnya komite audit, komite risiko, dan komite remunerasi.
Tindakan fraud yang dilakukan manajemen di beberapa BUMN sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, hanya saja untuk beberapa tahun terakhir lebih banyak diekspos secara lebih masif.
Lagi-lagi, banyaknya kasus fraud di BUMN ini menimbulkan pertanyaan, apa ada yang salah dengan tata kelola BUMN? Apakah acuan tata kelola yang ada saat ini sudah tak memadai sehingga harus disesuaikan lagi atau ada yang keliru dalam penerapannya?
Kemungkinan ”fraud”
Langkah Menteri BUMN untuk melaporkan kasus-kasus itu ke penegak hukum adalah hal yang baik dan harus diapresiasi. Pelaporan itu menunjukkan niat Menteri BUMN untuk membersihkan BUMN dari tindakan korupsi. Pelaporan itu juga menjadi sinyal bahwa Menteri atau Kementerian BUMN tidak terlibat dan tidak berhubungan dalam kegiatan korupsi yang sangat merugikan BUMN.
Hal ini disebabkan selama ini ada stigma di masyarakat bahwa BUMN merupakan sapi perahan dari berbagai pihak (political cost) dan korupsi dimulai dari atas atau pimpinan.
Namun, melaporkan dan menyerahkan kasus fraud kepada penegak hukum saja tidak cukup karena jika sudah terjadi fraud, ada biaya yang harus ditanggung perusahaan (sunk cost).
Jauh lebih penting adalah tindakan pencegahan (preventif) oleh Kementerian BUMN agar tidak lagi terjadi fraud di masa depan. Proses pemonitoran dan evaluasi secara rutin untuk mendeteksi kecenderungan terjadinya fraud menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Jauh lebih penting adalah tindakan pencegahan (preventif) oleh Kementerian BUMN agar tidak lagi terjadi fraud di masa depan.
Fraud terjadi karena ada kesempatan ataupun kelalaian (negligence), meskipun berdasarkan beberapa penelitian (agency theory), adanya kesempatanlah penyebab fraud yang paling besar. Kesempatan itu timbul karena posisi manajemen yang memiliki kendali dan akses terhadap data dan sumber daya (resources) dari perusahaan.
Secara naluriah manajemen (agent) akan memaksimalkan manfaat untuk dirinya (beberapa penelitian agencyproblem telah membuktikan hal itu). Mengambil manfaat inilah yang jika dilakukan, dan bahkan dilakukan dengan sangat ekstrem, akan mengarah kepada fraud yang akan merugikan BUMN.
BUMN sudah memiliki butir-butir prinsip tata kelola/governance (indeks tata kelola perusahaan yang baik/good corporate governance) sejak lama dan juga sudah diimplementasikan.
Poin-poin governance itu bahkan beberapa kali diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan bisnis. Governance kerap kali hanya dinilai di akhir, atau pada saat tertentu saja, untuk pemenuhan persyaratan saja, atau untuk kepentingan kontes dan perlombaan.
Governance hanya dinilai di akhir periode dan penilaian ini cenderung hanya sebagai alat kelengkapan perusahaan. Penilaian tata kelola di akhir atau pada suatu saat saja cenderung mudah untuk dimodifikasi dan dimanipulasi datanya sehingga diperoleh nilai yang tinggi atau yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manajemen.
Penilaian yang sesaat ini tentu tidak akan dapat mewujudkan tujuan dari good corporate governance. Good corporate governance seyogianya dilakukan untuk setiap tahapan proses dan aktivitas yang ada di perusahaan.
Dengan poin tata kelola ini, seharusnya BUMN sudah dapat terhindar dari fraud jika prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik tersebut menjadi acuan di dalam setiap aktivitas perusahaan dengan sebenar-benarnya.
Pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik juga harus selalu diukur dampaknya bagi pencapaian tujuan perusahaan sehingga manajemen dapat mengetahui pentingnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam perusahaan.
Rasa memiliki
Komisaris merupakan orang yang sangat berperan dalam mengembangkan dan menjaga aset perusahaan. Fungsi komisaris bukanlah hanya sebagai pelengkap atau formalitas. Komisaris haruslah memiliki insting yang kuat terhadap potensi kerugian yang ditimbulkan oleh manajemen, baik secara sengaja maupun karena kelalaian.
Komisaris haruslah memiliki insting yang kuat terhadap potensi kerugian yang ditimbulkan oleh manajemen, baik secara sengaja maupun karena kelalaian.
Komisaris memang tidak ikut dalam mengelola perusahaan, tetapi komisaris harus selalu memantau kegiatan perusahaan untuk memastikan perusahaan dikelola dengan baik sesuai prinsip-prinsip good corporate governance.
Komisaris yang ditunjuk oleh pemerintah harus mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi terhadap aset perusahaan, tanggung jawabnya sama seperti terhadap aset sendiri.
Di beberapa BUMN terlihat dengan jelas bahwa rasa memiliki ini sangat kurang pada komisaris. Beberapa BUMN tidak dapat menjaga asetnya dengan benar sehingga digunakan atau diserobot oleh pihak lain yang tidak berhak.
Pengendalian dan penguasaan aset yang tidak proper ini tentu akan menimbulkan potensi kerugian di kemudian hari. Beberapa pernyataan dan tindakan manajemen dan komisaris mencerminkan mereka dengan mudah menyerah untuk menjaga aset itu dengan memberikan ganti rugi dan bahkan akan pindah dengan membangun infrastruktur di tempat yang baru.
Baca juga: Optimalkan Transformasi BUMN untuk Perbaiki Kondisi ”Pareto”
Beberapa BUMN memiliki beberapa anak perusahaan. Meskipun banyak dilakukan langkah-langkah merger atau penggabungan untuk membentuk konglomerasi, anak perusahaannya tetap banyak. Posisi komisaris-komisaris pada anak perusahaan ini biasanya diduduki oleh level direktur dari perusahaan induk (holding)-nya.
Penunjukan komisaris dari level direksi holding memang bukanlah hal yang salah dan ilegal karena pemegang saham adalah holding, tetapi tidaklah juga merupakan suatu keharusan.
Dapat dibayangkan kesibukan seorang direktur holding yang kemudian ditambah lagi dengan tugasnya sebagai komisaris di anak perusahaan. Hal yang mirip juga terjadi di holding.
Banyak komisaris perusahaan diambil dari pejabat eselon II ke atas, terutama yang berasal dari Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN yang sudah punya begitu banyak tugas dan tanggung jawab dalam jabatannya.
Komisaris hendaknya memiliki kemampuan atau pengetahuan (knowledge) dan totalitas dalam mewakili pemegang saham. Komisaris harus selalu waspada dan aware dengan prinsip agency problem, serta selalu mengedepankan sikap skeptis bahwa manajemen itu akan selalu mencari kesempatan untuk ”mencuri”, untuk memaksimalkan benefitnya dari sisi finansial dan beban kerja.
Tresno Eka Jaya,Pengajar Perpajakan dan Keuangan di Universitas Negeri Jakarta