Patenkan Dulu
Undang-Undang Paten No 13 Tahun 2016) mengatur bahwa invensi dianggap baru (novel) jika pada tanggal penerimaan permohonan pendaftaran paten, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkap sebelumnya.
Pada 16 April 2023, saat Dialog Ramadan di Mardliyyah Islamic Centre UGM, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan telah menciptakan tongkat adaptif untuk tunanetra.
Tongkat tersebut dapat mendeteksi banjir, kebakaran, benda penghalang dan dilengkapi dengan GPS untuk menemukan lokasi pemegang tongkat jika tersesat. Alat itu sedang dipatenkan di level internasional, yaitu di Geneva, Swiss. Tidak dijelaskan apakah permohonan paten sudah diajukan di Indonesia sebelum Geneva.
Informasi tersebut membingungkan. Pertama, alat yang akan dipatenkan sebutannya bukan diciptakan seperti hak cipta, melainkan diinvensikan.
Kedua, tidak ada paten yang berlaku internasional. Yang ada prosedur permohonan paten melalui jalur Patent Cooperation Treaty (PCT) yang diajukan ke International Bureau (IB) di Geneva. Perlindungan di negara-negara anggota PCT perlu diajukan ke negara masing-masing.
Ketiga, Bu Risma menceritakan alat yang diinvensikannya itu pada acara publik, sedangkan permohonan pendaftaran paten belum diajukan ke Direktorat Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pengumuman itu dapat menghilangkan kebaruan atau novelty invensi yang akan dimohonkan patennya sehingga dapat mengakibatkan invensi tidak diberi paten. Ada jendela waktu (grace period) enam bulan sejak pengumuman untuk mengajukan permohonan pendaftaran paten atas invensi yang bersangkutan.
Undang-Undang Paten (Undang-Undang No 13 Tahun 2016) mengatur bahwa invensi dianggap baru (novel) jika pada tanggal penerimaan permohonan pendaftaran paten, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkap sebelumnya. Pengungkapan dapat berupa pengumuman di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan, peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang yang ahli di bidang teknologi yang sama melaksanakan invensi itu.
Gagasan, invensi, atau inovasi teknologi sebaiknya dimohonkan patennya lebih dahulu sebelum diumumkan ke publik agar invensi tidak kehilangan kebaruannya.
Gunawan Suryomurcito Konsultan HKI. Pondok Indah, Jakarta 12310
RUU Kesehatan
Hasil DIM RUU Kesehatan
Saya sudah sepuh. Namun, sebagai Ketua IDI Cabang Bandung 1981-1984, saya selalu mengikuti perkembangan pelayanan kesehatan dan kedokteran di Indonesia, termasuk polemik RUU Kesehatan omnibus law. Sampai sekarang saya beranggapan bahwa di atas kertas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia sudah cukup baik. Yang jadi masalah adalah implementasinya.
Antara lain belum memadainya peralatan kesehatan dan infrastruktur pendukung di rumah sakit dan puskesmas, terutama di daerah. Jumlah tenaga kesehatan (dokter umum dan spesialis, dokter gigi, apoteker, sarjana keperawatan, bidan, perawat, analis) dan distribusinya, renumerasi, sistem rujukan, belum berjalan baik. Demikian juga asuransi kesehatan (BPJS sudah bagus, tetapi implementasi perlu disempurnakan). Semua sudah bolak-balik disampaikan di berbagai forum.
Terkait RUU Kesehatan omnibus law, ada pertanyaan dan komentar berikut.
1. Apakah melalui sistem pendidikan tenaga kesehatan yang diajukan, khususnya dokter, akan terpenuhi kebutuhan dokter di Indonesia? Apakah pemerintah berniat menghasilkan barefoot physician seperti yang puluhan tahun lalu dijalankan di China?
2. Pendidikan tenaga kesehatan selama ini menjadi wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan serta organisasi profesi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan organisasi profesi mempersiapkan ”resep”-nya (baca: kurikulum, standar operasional profesi dan kompetensi, serta etika profesi). Rumah Sakit, yang merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan, menjadi ”dapur”-nya. Sekarang rupanya hendak dibalik?
Yang sangat perlu diatur Kementerian Kesehatan adalah mempersiapkan ”dapur” yang baik serta distribusi tenaga kesehatan yang merata.
3. Apakah dengan mendatangkan begitu saja tenaga dokter dari luar negeri, dengan kualitas mungkin berada di bawah tenaga dokter lulusan dalam negeri, masalah kekurangan tenaga dokter teratasi?
4. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah perlindungan dan kepastian hukum bagi para tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya.
5. Lembaga yang paling berwenang menilai kompetensi dan etika profesi adalah organisasi profesi itu sendiri. Di setiap negara, hanya ada satu organisasi profesi yang memayungi serta mengawasi profesi tenaga kesehatan (dokter). Apakah tugas ini akan diambil alih oleh pemerintah cq Kementerian Kesehatan?
6. Di Indonesia sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang langsung di bawah Presiden dan Kolegium Kedokteran yang dibentuk organisasi profesi keahlian di bawah IDI. Sudah ada pula Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran. Apakah akan dibentuk lagi lembaga-lembaga serupa sebagai pengganti?
7. IDI merupakan organisasi tunggal profesi dokter di Indonesia, mitra pemerintah sejak awal kemerdekaan. IDI juga anggota World Medical Association, wadah organisasi profesi negara-negara anggotanya. Mungkin saja ada kekurangan IDI yang dirasakan sebagian anggotanya. Kenapa bukan kekurangan itu yang disempurnakan?
8. Dapat disimpulkan bahwa RUU Kesehatan omnibus law tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan mengacaukan sistem pelayanan kesehatan nasional. RUU tersebut tampaknya dirancang oleh orang-orang yang tidak paham masalah kesehatan dan kedokteran di Indonesia, mungkin pula mempunyai maksud tertentu di baliknya.
Johan S MasjhurSukaluyu, Bandung
Suprastruktur
Sukidi dalam ”Kemiskinan di Tengah Ketamakan Pemimpin” (Kompas, 4/5/2023) mencuplik John F Kennedy, ”the only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing” (Bartlett’s Familiar Quotations, 1968).
Ia menyimpulkan, ketamakan adalah kemenangan kejahatan atas penderitaan rakyat. Agar ketamakan tidak menjadi pemenang, orang-orang baik perlu terlibat aktif membebaskan fakir miskin.
Buku Why Nations Fail-The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (James Robinson dan Daron Acemoglu, 2012), menyebutkan kuatnya sinergi lembaga ekonomi dengan politik. Seiring pendapat Sukidi, di sini kita melihat pentingnya memilih negarawan untuk menakhodai negeri tercinta 2024 dan selanjutnya.
Cukup banyak kajian pakar yang menunjukkan bahwa situasi oligarki berlangsung saat ini, hasil orkestrasi kepentingan segelintir elite yang berbaju berbagai peraturan dan perundang-undangan. Lihatlah Korea Utara, yang di bawah rezim otoriter penduduknya hidup berkekurangan, terpaut jauh kesejahteraannya dibandingkan elite Partai Komunis.
Indonesia yang menganut demokrasi pun, jika tidak berhati-hati, akan melahirkan masyarakat miskin yang jauh dari keadilan. Budiman Tanuredjo dalam ”Sepinya Masyarakat Sipil” (Kompas, 6 Mei 2023) mengingatkan, demokrasi bisa perlahan mati.
Demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal, tetapi di tangan pemimpin terpilih yang membajak proses untuk sampai ke kekuasaan.
Untuk mengatasi pelemahan demokrasi substansial, Levitsky dan Ziblatt mengusulkan perkuatan lembaga-lembaga demokrasi dan partisipasi publik.
Saat ini produk perundang-undangan seolah-olah absah dan menjadi alat memperkuat politik ekstraktif. Melahirkan ekonomi ekstraktif dan mengukuhkan oligarki.
Selanjutnya perlu mencerdaskan para pemilih yang terkungkung keterbatasan, untuk menentukan pilihan tanpa pengaruh wakil rakyat yang bekerja sama dengan eksekutif.
Atasi ironi kemajuan teknologi informasi yang diselewengkan untuk agitasi, pembodohan serta berita menyesatkan. Kita semua bisa ikut berupaya mencerdaskan masyarakat. Mari kita mencintai bangsa ini dengan berbuat nyata. Demi masa depan.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STMPPM Menteng Raya, Jakarta Pusat