Penetapan Ganjar berpengaruh pada KIB. Pragmatisme politik perlu dipikirkan KIB saat ini agar tetap menjadi poros yang menentukan dalam Pilpres 2024 sekaligus menyelamatkan partainya dari hukuman ambang batas parlemen.
Oleh
ASRINALDI A
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
PDI Perjuangan (PDI-P) sudah menetapkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Dengan demikian, sudah ada tiga poros kekuatan yang akan bertanding dalam Pemilu 2024.
Sebelumnya, Koalisi Persatuan untuk Perubahan yang digagas Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres mereka. Begitu juga Koalisi Indonesia Raya yang terdiri dari Gerindra dan PKB yang sudah lebih dahulu mendukung Prabowo Subianto sebagai capres mereka.
Menariknya, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang pembentukannya mendapatkan ”restu” Presiden Jokowi justru mulai kehilangan arah. Padahal, koalisi ini menjadi kekuatan alternatif untuk mengajukan kandidat presiden.
Demokrasi yang baik memberikan pilihan alternatif yang banyak kepada masyarakat, terutama terkait capres. Jadi, tidak hanya pilihan-pilihan politik yang sengaja dipilihkan untuk kepentingan elite tertentu saja. Sayangnya, KIB belum percaya diri menjadi kekuatan alternatif untuk mengusung capres sendiri. Padahal, potensi anak bangsa untuk menjadi presiden cukup banyak. Namun, besarnya kekuatan oligarki mengendalikan proses pencalonan presiden ini juga memengaruhi kepercayaan diri elite partai yang tergabung ke dalam KIB.
Setelah penetapan Ganjar, nyaris posisi KIB menjadi tidak menentu. Bahkan gagasan untuk menggabungkannya ke Koalisi Besar yang melibatkan partai-partai istana buyar seketika. Padahal, Presiden Jokowi berharap Prabowo dan Ganjar dapat dipasangkan sehingga peluang untuk memenangi Pemilu 2024 terbuka lebar.
Awalnya, poros besar yang melibatkan partai koalisi pemerintahan ingin mengajak PDI-P bergabung. Bahkan dua poros utama kekuatan koalisi besar yang direncanakan ini, yaitu PDI-P dan Gerindra, sama-sama menetapkan sebagai pengusung presiden bukan wakil presiden. Sudah hampir tidak mungkin bagi keduanya memasangkan Ganjar dan Prabowo sebagai presiden dan wakil presiden.
KIB mulai kehilangan fokus untuk mengajukan kandidat yang berpeluang memenangi pemilu presiden. Walaupun kesempatan koalisi ini masih terbuka untuk ikut kontestasi, posisinya hanya pada pencalonan wakil presiden (cawapres) melengkapi pasangan tiga capres yang sudah ada.
Artinya, KIB akan bubar dengan sendirinya mencari peluang masing-masing mendukung capres yang mereka inginkan. Tentu tujuannya tidak hanya memenangkan capres, tetapi berharap mendapatkan efek ekor jas (coat-tail effect) dari capres yang mereka dukung.
Komunikasi politik sudah dilakukan oleh partai-partai pendiri KIB, seperti Partai Golkar ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Menariknya, PPP mendeklarasikan dukungan capresnya kepada Ganjar. Sementara Partai Golkar juga sudah menjajaki komunikasi dengan Partai Gerindra dan Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Hanya PAN yang sepertinya masih menunggu ke mana menjatuhkan dukungannya.
Sepertinya partai penggagas koalisi KIB ini harus memikirkan nasib mereka masing-masing agar tidak membuat keputusan keliru mendukung capres. Kesalahan memberikan dukungan akan berdampak kepada angka ambang batas parlemen. Bisa-bisa partai penggagas KIB ini terlempar dari predikat partai Senayan.
Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, terutama bagi PPP yang perolehan suaranya di DPR pada Pemilu 2019 hanya 4,52 persen, sedikit di atas nilai ambang batas parlemen. PAN juga terancam tergerus suaranya kalau tidak mampu menempatkan posisinya dalam kontestasi tersebut. Pengalaman Pemilu 2019 membuktikan, dukungan partai politik yang diberikan kepada capres yang tepat dapat membantu tambahan suara ke partai tersebut.
Sepertinya partai penggagas koalisi KIB ini harus memikirkan nasib mereka masing-masing agar tidak membuat keputusan keliru mendukung capres.
Upaya yang dapat dilakukan partai-partai KIB agar mendapatkan efek ekor jas ini adalah menawarkan cawapres yang bisa diterima partai-partai pengusung capres. Memang ada beberapa nama cawapres yang diinginkan publik, seperti Airlangga Hartarto dari Partai Golkar atau Ridwan Kamil yang secara elektabilitas mendapat dukungan publik.
Begitu juga PPP menyediakan tempat bagi Sandiaga Uno yang disebut sudah menjadi kader PPP. Nama-nama lain yang juga bisa diusulkan KIB, walaupun bukan kader seperti Erick Thohir, dan terakhir nama M Mahfud MD yang, meskipun bukan kader dari KIB, berpeluang menjadi cawapres yang mendapat dukungan publik.
Faktor wapres
Partai politik pengusung capres yang sudah menetapkan calonnya mulai berhitung siapa cawapres yang berpotensi meningkatkan suara capresnya. Banyak variabel yang bisa memengaruhi suara pemilih dalam pemilu presiden. Sebut saja usia pemilih, asal kedaerahan calon, dukungan biaya, jender, dan identitas agama.
Singkatnya, cawapres harus memiliki paket lengkap sehingga layak mendampingi capres yang sudah ada. Jika memperhatikan hasil survei yang dirilis beberapa lembaga, sepertinya elektabilitas capres yang diajukan ini sudah stagnan di rentang angka 20-30 persen. Perlu ada faktor lain yang dapat mengangkat angka elektabilitas ini agar naik secara signifikan, yaitu faktor cawapres.
Melihat realitas ini, inisiatif untuk mengomunikasikan cawapres ini tidak hanya dari KIB, tetapi juga dari partai pengusung capres. Capres akan berebut cawapres yang akan mendampinginya agar bisa memenangi Pemilu Presiden 2024.
Tak hanya itu, kedekatan emosional capres dan cawapres yang akan dipasangkan oleh tiap-tiap partai juga akan menjadi pertimbangan. Apalagi jika pilpres ini diikuti tiga pasang capres, diprediksi pilpres akan berlangsung dua putaran. Tak mudah bagi partai politik mengikuti Pemilu 2024 karena harus menyiapkan dana yang tidak sedikit mengantisipasi putaran kedua pilpres.
Peluang inilah yang harus dimanfaatkan KIB yang harus mulai berpikir realistis dengan tidak menggadang-gadangkan soliditas koalisi yang sudah mereka bangun walaupun faktanya mereka mulai berjalan sendiri-sendiri. Kecuali KIB berhasil menemukan capres yang mereka usung sendiri, seperti memasangkan Mahfud MD dengan Sandiaga Uno yang tentu jelas akan mengubah dinamika persaingan capres yang sudah terbentuk.
Pragmatisme politik perlu dipikirkan oleh KIB saat ini agar tetap menjadi poros yang menentukan dalam Pilpres 2024 sekaligus menyelamatkan partainya dari hukuman ambang batas parlemen.
Asrinaldi A, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas