Kian cepat RUU ini diundangkan, boleh jadi kian berkurang kerugian negara. Berarti semakin bertambah kemampuan negara untuk menyejahterakan rakyat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pemerintahan Presiden Joko Widodo terlihat memiliki niat baik untuk mewariskan banyak hal yang baik pula. Selain infrastruktur, juga sejumlah regulasi terobosan.
Hari Kamis (4/5/2023), Kompas mendapatkan informasi, surat presiden berikut naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana dikirimkan ke DPR. Surat presiden itu diimbuhi catatan, pembahasan RUU Perampasan Aset hendaknya diprioritaskan.
RUU ini adalah jawaban atas tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Efek negatif dari tindak pidana itu tentu berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional dan mengurangi kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
Tidak cukupkah regulasi yang ada? Dalam draf RUU ini diuraikan sistem hukum pidana di Indonesia belum mengatur mengenai prosedur penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan juga perampasan aset tindak pidana. Hal-hal yang termaktub dalam United Nations Convention Against Corruption.
Hal lain yang menarik perhatian adalah aset yang bisa dirampas meliputi yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan, yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah. Aset itu diperoleh setelah UU Perampasan Aset berlaku.
Mengingat aset sebagai hasil tindak pidana, seperti korupsi, yang dapat dilarikan ke luar negeri, maka berdasarkan RUU ini, pemerintah bisa melakukan kerja sama internasional tentang bantuan untuk penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset tindak pidana, walaupun detail metode- nya jelas perlu diperjelas dalam peraturan turunannya.
Terlepas dari niat baik untuk mengegolkan RUU ini, langkah yang lebih baik lagi adalah membuka diri dari masukan siapa pun. Ada sejumlah akademisi dan aktivis yang menilai, yang dibutuhkan bukan lagi regulasi, melainkan aksi. Ada sejumlah aturan lama yang dapat dioptimalkan untuk mengejar aset hasil tindak pidana. Pendapat itu perlu didengar.
Terlebih lagi jika pendapat, informasi, atau saran yang detail itu terkait metode penelusuran. Bukankah selama ini warga pula yang kerap menelusuri kekayaan tidak wajar suatu pihak meskipun baru melalui media sosial?
Di republik ini, terkadang kehebohan justru lebih terdengar saat penyusunan sebuah UU. Sementara seusai palu pengesahan diketok, tak lagi terdengar evaluasi atau manfaat dari sebuah UU. Sebab itu, setelah pengesahan RUU Perampasan Aset ini kelak, bolehkah kita mendengar manfaatnya dalam setahun, lima tahun, atau 10 tahun pertama? Mungkinkah ada aset yang dirampas dengan jumlah yang signifikan?
Boleh pula UU Perampasan Aset mulai berlaku saat tanggal diundangkan. Hal ini karena nyaris setiap minggu kini terungkap pejabat yang diduga memiliki aset yang tidak seimbang dengan penghasilannya. Kian cepat RUU ini diundangkan, boleh jadi kian berkurang kerugian negara. Berarti semakin bertambah kemampuan negara untuk menyejahterakan rakyat pada saat perekonomian dunia kurang baik, terseret oleh berbagai pertikaian terkait geopolitik.