Kebangkitan Pengetahuan
Rendahnya peringkat kinerja pengetahuan Indonesia disebabkan adanya penyakit birokratisasi pengetahuan. Negara harus melakukan serangkaian strategi dan mekanisme keluar dari jeratan patologis birokratisasi pengetahuan.
Menarik membaca hasil survei Program Pembangunan PBB (UNDP) dengan judul Global Knowledge Index 2022. Survei sejak 2017 ini menelusuri kinerja pengetahuan negara melalui tujuh level: pra-universitas; pendidikan teknik dan vokasi; pendidikan tinggi; riset, pengembangan, dan inovasi; teknologi informasi dan komunikasi; ekonomi; serta lingkungan.
Survei melibatkan 132 negara dan 199 indikator, secara sistematis memberikan gambaran komprehensif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti pembuat kebijakan, peneliti, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam membangun masyarakat pengetahuan.
Survei ini bukannya tanpa kritik. Salah satunya adalah kritik metodologi karena dianggap mereduksi pengetahuan ke dalam logika kuantifikasi sehingga tidak bisa memotret kondisi keseluruhan. Terlepas dari perdebatan metodologi, survei ini menjelaskan lanskap dan kinerja pengetahuan negara.
Baca juga : Publik Yakin Generasi Indonesia Berdaya Saing Global
Involusi pengetahuan
Secara keseluruhan, Indonesia berada di peringkat ke-81 dari 132 negara. Negara dengan kinerja terbaik adalah Swiss, diikuti Amerika Serikat, Finlandia, Swedia, Belanda, Luksemburg, Singapura, Denmark, Inggris, dan Hong Kong. Tiga negara Asia lain dengan posisi baik adalah Jepang, Korea Selatan, dan China.
Posisi Indonesia sangat menyedihkan karena jauh tertinggal dibanding negara-negara serumpun di Asia Tenggara. Indonesia juga jauh di bawah Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Indonesia ”hanya” unggul atas Kamboja dan Myanmar. Kinerja Indonesia sejajar dengan beberapa negara Afrika, seperti Namibia, Guyana, Kenya, dan Rwanda.
Indonesia di posisi ke-92 untuk indikator pendidikan pra-universitas, 84 (pendidikan teknik dan vokasi), 66 (pendidikan tinggi), 115 (riset, pengembangan, dan inovasi), 69 (teknologi informasi dan komunikasi), 49 (indikator ekonomi), dan 79 (daya dukung lingkungan).
Dari tujuh indikator, posisi Indonesia paling jeblok di riset, pengembangan, dan inovasi. Data ini merefleksikan bahwa ranah pengetahuan Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara Asia Tenggara. Lanskap pengetahuan Indonesia masih buruk dan negara sebagai otoritas tertinggi tidak mampu mengelola pengetahuan.
Meskipun kita bisa berdebat tentang hasil survei ini, menjadi pertanyaan mengapa kemunduran terjadi di tengah gegap gempita merayakan hasil penelitian berbagai lembaga selama beberapa tahun terakhir. Adakah hubungan antara praktik riset-inovasi dan pendidikan dengan kemunduran pengetahuan tersebut?
Pertanyaan kedua yang juga penting adalah apakah anggaran riset, pendidikan, pengembangan, dan inovasi selama ini tidak berdampak pada peningkatan pengetahuan Indonesia?
Gejala kemunduran pengetahuan di Indonesia bisa ditelusuri dari menguatnya birokratisasi pengetahuan melalui berbagai normalisasi diskursif dan perangkat instrumen negara yang menyebar dalam berbagai ranah universitas, lembaga riset, dan sekolah.
Birokratisasi pengetahuan mengakibatkan ruang gerak aktor pengetahuan terbatas. Susah berinovasi dan mengembangkan diri. Beban dan tekanan administrasi menjadi praktik diskursif dalam lanskap pengetahuan masyarakat.
Dari tujuh indikator, posisi Indonesia paling jeblok di riset, pengembangan, dan inovasi.
Birokratisasi konservatif
Yang terjadi saat ini adalah represi kontrol, supervisi dan distrust kepada aktor pengetahuan, yaitu dosen/akademisi, peneliti, maupun guru. Akibat normalisasi masif ini, pengetahuan kita kehilangan elan vital dalam memproduksi dan mereproduksi pengetahuan.
Klaim kemajuan negara yang selama ini dikampanyekan harus dipertanyakan dengan hasil survei ini. Sebaiknya, otoritas negara mengakui ini sebagai kegagalan tata kelola pengetahuan (knowledge governance).
Saya pernah riset di Finlandia. Finlandia mengelola pendidikan dan riset dengan memberi ruang kepercayaan kepada berbagai aktornya sehingga mereka independen. Tak ada kontrol ketat, monitoring, dan supervisi yang lazim dilakukan di Indonesia. Kepercayaan (trust) menjadi dasar Finlandia mengelola pengetahuan.
Meminjam istilah sosiolog Hongaria, Karl Mannheim, fenomena Indonesia itu adalah ”birokratisasi konservatif” karena negara terlalu mengintervensi administratif prosedural dibanding proses produksi pengetahuan itu sendiri.
Birokratisasi konservatif ini dioperasionalkan rezim administratif dalam berbagai mekanisme kontrol dan supervisi. Birokratisasi akan semakin tampak dan menjadi laten dalam mode of thought rezim pengetahuan Indonesia.
Ilustrasi
Penyakit birokratisasi pengetahuan ini paling ditakuti sarjana Indonesia yang berkarier di mancanegara. Maka, ketika ada tawaran mengabdi di Tanah Air, banyak yang menolak. Pertimbangannya bukan tidak nasionalis, melainkan karena Indonesia tidak kondusif untuk ruang pengetahuan mereka. Pilihan akhirnya adalah berkarier di pusat penelitian dan pendidikan terbaik di berbagai negara.
Tidak hanya karena jaminan kesejahteraan lebih baik, tetapi juga dukungan dan ekosistem pengetahuan yang independen, tidak birokratis, dan berbasis kepercayaan akan mendorong mereka memproduksi pengetahuan secara aktif dan kreatif. Tidak disibukkan urusan administratif. Suatu hal yang memprihatinkan untuk masa depan pengetahuan Indonesia.
Ketika tokoh politik masuk dalam ranah lembaga pengetahuan, kita sulit menolak bahwa lembaga menjadi mudah dikendalikan dan tidak memiliki independensi. Terjadilah involusi pengetahuan (knowledge involution), di mana pengetahuan menjadi stagnan.
Momentum kebangkitan
Survei ini sejatinya menjadi cambuk untuk setiap aktor semakin meningkatkan kapasitas dan kinerja pengetahuan.
Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas personal dan talenta terbaik di bidang penelitian, inovasi, dan pendidikan. Namun, apabila negara sebagai pemilik legitimasi pengetahuan terjebak birokratisasi konservatif, kinerja talenta-talenta ini akan terhambat.
Namun, apabila negara sebagai pemilik legitimasi pengetahuan terjebak birokratisasi konservatif, kinerja talenta-talenta ini akan terhambat.
Negara harus melakukan serangkaian strategi dan mekanisme keluar dari jeratan patologis birokratisasi pengetahuan. Harus ada perubahan paradigma dari pendekatan birokrasi politik ke professionalism knowledge. Perubahan paradigma itu dengan membuat organisasi pengetahuan lebih ramping, fleksibel, independen, dan berorientasi pengetahuan.
Keterlibatan dan kolaborasi jejaring dengan aktor eksternal sebagai bagian dari ekosistem riset (pengetahuan) adalah bagian penting dari penataan tata kelola itu. Nicola J Foss & Snejina Michailova dalam bukunya berjudul Knowledge Governance; Process and Perspective (2009) memberikan penekanan pada penataan struktur dan mekanisme yang lebih distributif.
Otoritas pengetahuan harus mampu melampaui jebakan birokratisasi administrasi, dengan mengutamakan kapasitas sumber daya manusia, modal intelektual, kapasitas inovasi, dukungan teknologi, serta jejaring internasional.
-
Dengan adanya tata kelola pengetahuan yang mumpuni, kita memiliki harapan mengakselerasi kinerja pengetahuan di masa mendatang. Momen 100 Tahun Kemerdekaan pada 2045 harus membawa kita mengelola sumber talenta pengetahuan yang punya prospek masa depan. Negara perlu lebih responsif dan knowledgeable dalam mengapitalisasikan kapasitas tersebut.
Tahun ini, 2023, kita memperingati 115 Tahun Kebangkitan Nasional. Peringatan ini harus menjadi energi dan kapital dalam menyongsong Indonesia emas. Stovia menjadi bukti bahwa produksi dan dialektika pengetahuan bisa berlangsung cepat. Pesan moral dari momentum kebangkitan nasional ini adalah menghadirkan lanskap pengetahuan negara yang mencerminkan kondisi dan kemajuan masyarakat.
Rakhmat Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Visiting Scholar di National Taiwan University (NTU)