Sulit bagi universitas dari negeri bekas terjajah, seperti Indonesia, menembus ranking 100 teratas sedunia. Tak mudah dipahami mengapa Indonesia berambisi besar pada ranking global yang kurang menghargainya.
Oleh
Ariel Heryanto
·4 menit baca
Pemerintah agaknya berambisi besar membangun sebanyak mungkin universitas kelas dunia. Ranking global universitas dijadikan acuan. Dosen dipacu berkarya di penerbitan paling berwibawa sedunia. Yang berhasil diganjar finansial, besarnya bisa beberapa kali lipat gaji bulanan. Juga tersedia dana penunjang bagi sebagian dosen yang menyiapkan terbitan internasional sebagai pelengkap persyaratan promosi profesor.
Obral hadiah untuk dosen begitu tak saya jumpai di negara lain. Di banyak universitas yang mendominasi ranking global, publikasi karya ilmiah dianggap bagian dari kerja rutin dosen, seperti mengajar dan membimbing mahasiswa. Apakah insentif istimewa bagi dosen Indonesia akan meningkatkan ranking global? Layak diteliti cermat.
Negara mana pun tidak harus peduli ranking universitas global. Di beberapa negara yang unggul dalam ranking global, tidak semua universitasnya peduli ranking begitu. Mereka tidak harus peduli, karena negara tidak mengharuskan. Negara tidak ikut campur administrasi universitas dan kebijakan mereka, walau universitas menerima dana dari pemerintah.
Di berbagai negara itu tidak saya jumpai demam scopus seperti yang melanda Indonesia. Yang bergairah pada raking global hanya pucuk pimpinan di sejumlah universitas elit yang diuntungkan. Hasil ranking itu meningkatkan kewibawaan dan nilai pasar lembaga mereka.
Walau ada perkecualian, sulit bagi universitas dari negeri bekas terjajah menembus ranking 100 teratas sedunia. Tak mudah dipahami mengapa Indonesia berambisi besar pada ranking global yang kurang menghargainya. Terlebih sulit dipahami jika ambisi itu dikejar dengan berbagai sikap yang bertolak-belakang dengan norma pergaulan akademik internasional. Berikut ini beberapa contohnya.
Tahun lalu ada tim peneliti asing dilarang masuk Indonesia. Sebuah lembaga kementerian negara menuduh para peneliti itu menerbitkan hasil penelitian "yang dapat mendiskreditkan pemerintah". Tidak dijelaskan apa persisnya kesalahan mereka atau apa kerugian pemerintah akibat publikasi itu. Kasus demikian bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir.
Yang lebih merisaukan, sikap curiga pada ilmuwan asing tidak timbul secara acak atau bersifat kasus individual, tapi menyeluruh secara umum. Hal ini tampak dari rumitnya persyaratan bagi sarjana asing mendapatkan visa masuk ke Indonesia sebagai peneliti. Kalau pun visa diberikan, si peneliti masih dibebani setumpuk persyaratan birokratis tambahan setiba di Indonesia.
Mengapa peneliti asing tidak disambut dengan lebih ramah? Ada yang khawatir risiko tercurinya data atau benda bernilai dari Indonesia dibawa kabur peneliti asing. Sikap waspada bisa dimaklumi untuk beberapa bidang penelitian yang peka, misalnya kesehatan, kehutanan, kelautan atau keamanan. Tapi harta atau rahasia macam apa yang ditakutkan akan tercuri dari penelitian orang asing tentang iklan di ruang publik? Atau penelitian tentang corak kebahasaan dalam pidato para pejabat?
Kita bersyukur sejumlah rekan sarjana pernah masuk birokrasi negara dan berupaya menyederhanakan persyaratan itu. Sayang, hasilnya terbatas. Hingga kini berbagai persyaratan itu masih tampak berlebihan jika dibanding mudahnya sarjana Indonesia melakukan penelitian di berbagai negara lain.
Sejak belasan tahun bekerja sebagai dosen Indonesia, berkali-kali saya mengunjungi universitas di Amerika, Eropa dan Australia untuk keperluan penelitian. Proses mendapatkan visa ke semua negara itu mudah dan singkat, tidak berbeda jauh dari kunjungan wisata. Tidak ada syarat birokrasi tambahan dari pemerintah di sana selama saya meneliti. Tidak ada yang khawatir saya akan membawa kabur benda bernilai dari negara mereka.
Jika serius berambisi mencetak universitas kelas dunia, pemerintah bisa belajar dari kiat sejumlah negara lain yang unggul dalam ranking global. Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah internasionalisasi universitas. Caranya? Bukan mengirim rombongan dosen studi ke luar negeri. Bukan menghimbau cendekia diaspora sebangsa agar pulang. Mereka giat menjaring tenaga unggul dari manca negara untuk diajak bergabung sebagai mahasiswa, dosen, peneliti, pegawai administrasi bahkan pejabat struktural.
Seperti tim sepak bola, tampaknya tidak ada universitas yang unggul di ranking global dengan mengandalkan sepenuhnya warga bangsa sendiri. Lebih 20 tahun saya pernah bekerja di beberapa universitas seperti itu. Di salah satunya, unit departemen kami diasuh 20 dosen, hanya dua warga setempat.
Saat ini masih sulit membayangkan sebuah universitas negeri di Indonesia punya dosen asing, pegawai asing dan mahasiswa asing dalam jumlah lumayan besar. Atau membayangkan jabatan struktural diisi tenaga asing. Membangun universitas kelas dunia di Indonesia membutuhkan revolusi mental.
Sementara peneliti asing dipersulit masuk dan bekerja di Indonesia, ribuan peneliti dan profesional dari Indonesia kini bekerja di berbagai negara. Sebagian bekerja di universitas elite dunia, ikut mengangkat status lembaga tempat kerja mereka ke peringkat tinggi di ranking global. Rakyat Indonesia jauh lebih gesit mengglobal ketimbang aparat negaranya.
Bukan hanya peneliti asing yang dipersulit oleh birokrasi Indonesia. Para dosen di tanah air sendiri frustrasi berat karena aturan pemerintah tentang birokrasi kampus. Yang dibutuhkan mungkin bukan sekadar menyederhanakan birokrasi itu. Layak disiapkan langkah-langkah untuk mengurangi hingga mengakhiri campur-tangan pemerintah dalam rumah-tangga kampus.
Indonesia tidak harus peduli ranking universitas global. Tapi jika itu pilihan pemerintah dan warga kampus, universitas perlu segera belajar menyesuaikan kerja mereka dengan wawasan dan standar kerja akademik global. Akademikus tidak bisa bersikap katak di bawah tempurung. Istilah "universitas" berakar dari kata "universe" artinya semesta.
Sudah lama komunitas swasta mau pun lembaga bisnis dan sepak bola Indonesia menyerap norma kerja dan tenaga ahli manca negara. Masa pembuat kebijakan pendidikan dan warga kampus kalah langkah dari mereka?