Sepinya Masyarakat Sipil
Saatnya masyarakat sipil menyusun prioritas masalah-masalah bangsa dan meminta pada capres untuk menjawabnya. Kedaulatan rakyat tak hanya menentukan pemimpin bangsa 2024-2029, tapi juga merumuskan agenda bangsa mendesak.

Budiman Tanuredjo (BDM)
Sudirman Said sedang merampungkan sebuah buku. Buku antologi, kumpulan esai dan pemikiran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode 27 Oktober 2014-27 Juli 2016, itu diberi judul ”Bergerak dengan Kewajaran”. Saya diminta Mas Dirman untuk memberikan epilog atas bukunya.
Banyak pemikiran atau refleksi Sudirman atas kondisi negeri. Saya tidak akan menceritakan semuanya karena buku itu belum diluncurkan. Namun, saya ingin mengutip salah satu esainya berjudul, ”Menunggu Kebangkitan (Kembali) Civil Society”. Refleksi itu ditulis Sudirman 13 September 2019. Latar belakang esai itu adalah ”diberangusnya” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tema menanti kebangkitan (kembali) civil society, bagi saya, relevan untuk diangkat bertepatan dengan peringatan 25 tahun reformasi pada bulan Mei ini. Gerakan Reformasi sukses mengakhiri kekuasaan Presiden Jenderal Besar Soeharto yang sudah berkuasa lebih dari 32 tahun. Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998. Namun. jika ada kelengahan dan kekonyolan, menurut sejumlah kajian para pemikir politik, rekonsolidasi kekuatan otoritarian bisa muncul kembali dalam kurun waktu 20-25 tahun setelah demokrasi.
Masyarakat sipil tampaknya sedang tidur lelap. Fenomena masyarakat sipil dalam beberapa rumusan, the end of civil society, the shrinking of civil society, disampaikan beberapa tamu saya di kanal Youtube ”backtobdm”. Gejala pemudaran masyarakat sipil paling tidak disampaikan oleh advokat Luhut MP Pangaribuan; dosen ilmu politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Uma; dan untuk urusan dunia kampus yang juga ”sakit” disampaikan Prof Dr Sulistyowati Irianto.
Panggung depan politik lebih banyak diisi manuver elite politik. Mereka bersilaturahmi ke sana-kemari untuk membangun koalisi. Ada koalisi besar, koalisi kebangsaan, koalisi perubahan. Padahal, jika kita mencari kata koalisi dalam teks konstitusi yang sudah diubah empat kali, seakan kita mencari sesuatu yang tidak ada. Koalisi, sebuah istilah yang dikenal dalam sistem parlementer, menyeruak masuk dalam kosakata politik Indonesia dengan sistem presidensial. Padahal, tidak ada kata koalisi dalam teks konstitusi. Jika mau didekat-dekatkan, ”koalisi” kerap dimaknai bahwa calon presiden atau calon wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketika ada aturan soal ambang batas pencalonan presiden, maka diperlukan kerja sama politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Pertemuan dengan Ketum Parpol Dikritik, Presiden: Saya Bukan ”Cawe-cawe”

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) bersalaman dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat berpamitan seusai bertemu Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (29/4/2023). Kedatangan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto ke kediaman Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono ini dalam rangka silaturahmi antarpartai politik. Pertemuan antara Airlangga Hartarto dan Susilo Bambang Yudhoyono ini berlangsung tertutup. Dalam konferensi pers pascapertemuan ini, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menyampaikan bahwa pertemuan ini untuk menjaga silaturahmi menjelang tahun politik 2024 meski keduanya berbeda kubu koalisi.
Panggung depan koalisi itulah yang ramai dipercakapkan. Pemikir politik Harold Laswell (1902-1978) pernah mengatakan, dalam politik siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya. Koalisi dibangun dalam kerangka negosiasi, siapa menjadi capres dan cawapres. Pada sisi inilah, masyarakat sipil seakan hanya menjadi penonton drama panggung depan politik. Padahal, masyarakat sipil punya peran strategis untuk mengisi narasi besar soal Indonesia. Narasi soal keadilan, narasi soal kemiskinan, narasi soal kesenjangan, narasi soal korupsi, narasi soal pengembangan manusia Indonesia, narasi soal fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tertinggal di daerah-daerah pinggiran, narasi soal kebebasan berkeyakinan.
Narasi soal kemiskinan diangkat Sukidi Mulyadi di harian Kompas, 4 Mei 2023. Sukidi menulis, ”Kemiskinan tak pernah diatasi dengan benar di tengah ketamakan pemimpin.” Bahkan, Sukidi kemudian juga mengutip pandangan Paus Fransiskus, 20 September 2013, ”Ketamakan adalah sumber dari kejahatan.” Ketamakan pemimpin telah merobek-robek inti republik sebagai perwujudan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Suara pinggiran itu tak pernah menyentuh dalam percakapan para elite politik di Jakarta. Padahal, ada problem teknokratik yang mendesak harus diselesaikan. Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 harus segera diperbarui untuk menyusun rancangan Indonesia 2025-2045. Sebuah tahapan penting menuju 100 tahun Indonesia. Pada tahap inilah masyarakat sipil, dunia kampus, para profesional untuk berkontribusi merumuskan masalah bangsa dan bagaimana peta jalan Indonesia ke depan.
Problem teknokratis politik juga akan menyentuh nasib Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, pascaterbitnya UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Dalam UU No 3/2022 disebutkan, paling lama dua tahun sejak UU Ibu Kota Negara diundangkan, nasib Jakarta harus disesuaikan dengan UU Ibu Kota Negara. UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022. Berarti, paling lama 15 Februari 2024, sehari setelah Pemilu pada 14 Februari 2024, UU No 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus disesuaikan. Bagaimana nasib Jakarta selanjutnya, tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada politisi di Senayan. Politisi yang kini sedang sibuk memoles diri agar bisa dipilih kembali sebagai anggota DPR 2024-2029.
Saatnya masyarakat sipil bangun dan menyusun prioritas masalah-masalah bangsa dan meminta kepada calon presiden untuk menjawabnya. Kedaulatan rakyat tidak hanya menentukan siapa pemimpin bangsa 2024-2029, tetapi berdaulat pula untuk merumuskan agenda bangsa yang mendesak dan meminta calon presiden dan DPR menjawab persoalan tersebut. Agenda bangsa tidak hanya diserahkan kepada konsultan politik sebagai dokumen visi-misi calon presiden untuk memenuhi persyaratan Komisi Pemilihan Umum, tetapi partisipasi bermakna publik amat dibutuhkan.
Baca juga: Menyoal Kesibukan Menteri Jokowi Jelang Pilpres 2024

Massa buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar aksi di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Sabtu (21/5/2022). Dalam aksi yang juga bertepatan dengan 24 tahun reformasi tersebut, massa buruh menyerukan sejumlah tuntutan, seperti hentikan pembahasan UU CIpta Kerja inkonstitusional, tuntaskan kasus pelanggaran HAM, turunkan harga barang dan kebutuhan pokok, serta menolak penundaan pemilu. Meski telah memasuki tahun ke 24 reformasi sejak pemerintah Orde Baru tumbang pada Mei 1998, demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar. Pembatasan kebebasan sipil, pelanggaran HAM, serta kasus korupsi masih terus terjadi. Namun, di sisi lain gerakan masyarakat sipil juga terus tumbuh dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dengan mengusung isu-isu kerakyatan, seperti reforma agraria, penyelamatan lingkungan, kesejahteraan dan upah buruh, termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Saya kutip kembali esai Sudirman Said, ”Civil society dan cerdik pandai, mana boleh tinggal diam. Jika pemberangusan idealisme dibiarkan mewajar, bahkan merajalela, bangsa ini akan kehilangan roh perjuangannya.”
Buku How Democracies Die (2018) yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengirim peringatan bahwa demokrasi bisa mati secara perlahan-lahan. Demokrasi bisa mati bukan di tangan seorang jenderal, melainkan bisa mati di tangan pemimpin terpilih, yang membajak proses untuk membawa mereka ke kekuasaan. Untuk mengatasinya, pelemahan perlahan terhadap demokrasi substansial, Levitsky dan Ziblatt mengusulkan perkuatan lembaga-lembaga demokrasi dan partisipasi publik dalam proses politik menjadi keniscayaan.
Berbicara soal publik adalah berbicara soal eksistensi masyarakat sipil yang mungkin sebagian perannya kini telah diambil oleh warganet. Namun, untuk mendesain dan menyelesaikan problem kebangsaan, pelembagaan masyarakat sipil untuk merumuskan problem kebangsaan menjadi penting.
Apakah masyarakat sipil segera bangkit atau kekuatan otoritarian yang sukses melakukan rekonsolidasi, hari-hari ke depan, minggu-minggu. bulan-bulan ke depan akan sangat menentukan.