Meski bisa menghadirkan manfaat, demutualisasi bursa justru menghadirkan konteks baru dalam soal konflik kepentingan yang jauh lebih berbahaya. Model regulasi yang akan dibangun menjadi penting untuk memitigasi masalah.
Oleh
MICHAEL H HADYLAYA
·4 menit baca
Pasca Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pengutatan Sektor Keuangan (UU P2SK) diundangkan, terdapat beberapa ketentuan baru yang mengubah status quo yang sudah tercipta selama ini. Salah satu regulasi yang diubah dengan omnibus law sektor keuangan ini adalah UU No 8/1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal).
Amandemen UU Pasar Modal melalui UU P2SK ini merupakan terobosan yang menarik. Pasalnya, sejak 1995 atau hampir 30 tahun, regulasi pokok di bidang pasar modal belum pernah berubah. Padahal, dunia capital market telah berkembang dengan pesat, bahkan di luar bayangan dan perkiraan terliar tiga dekade silam. Maka, perubahan ketentuan di bidang pasar modal tentu diharapkan dapat menyelaraskan kebutuhan bangsa ini akan manfaat pasar modal dengan perlindungan dan kepastian hukum.
Salah satu ketentuan yang ikut diubah dalam UU P2SK adalah mengenai keanggotaan bursa. Pasca UU P2SK tersebut, Pasal 1 angka (2) UU Pasar Modal yang semula mengatur anggota bursa efek hanyalah perantara pedagang efek yang telah memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), berubah. Kini, pihak lain selain perantara pedagang efek pun bisa menjadi anggota bursa.
Saat ini, terdapat 94 anggota bursa yang juga otomatis menjadi pemegang saham PT Bursa Efek Indonesia (IDX). Dengan adanya UU P2SK, praktis komposisi pemegang saham IDX yang notabene adalah anggota bursa tersebut pun cepat atau lambat akan berubah pula.
Terbukanya keanggotaan bursa tidak hanya bagi para perantara perdagangan efek membuka kemungkinan bagi demutualisasi bursa. Demutualisasi bursa merupakan terminologi yang kerap digunakan untuk menggambarkan transisi dari asosiasi bersama anggota bursa yang beroperasi secara nirlaba menjadi perseroan terbatas untuk laba perusahaan yang bertanggung jawab kepada pemegang saham (Akhtar, 2002).
Stockholm Stock Exchange (SSE) adalah bursa efek pertama yang melakukan demutualisasi pada 1993. Struktur bursa yang member-based dianggap sebagai hambatan yang potensial menghadang pertumbuhan dan daya saing SSE kala itu. SSE tidak sendirian. Pada 2000, World Federation of Stock Exchange (FIBV) melakukan survei dan kala itu 45 persen responden anggota FIBV sudah melakukan demutualisasi dan 55 persen sedang dalam proses demutualisasi (Steil, 2002). Maka, langkah Indonesia untuk mengadopsi demutualisasi bursa bukanlah suatu langkah kuda dalam percaturan perbursaan.
Demutualisasi bursa bisa menghadirkan beberapa manfaat (Elliott, 2002). Paling tidak, bursa menjadi lebih dapat menyederhanakan operasionalnya atau membuat inovasi-inovasi di bidang operasional. Demutualisasi juga bisa mendorong bursa dalam menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Dan, yang paling utama adalah menyediakan pasokan modal bagi bursa. Hal ini sangat penting untuk memastikan bursa kita tetap kompetitif dan inovatif di tengah perkembangan dunia yang semakin modern ini.
Demutualisasi juga bisa mendorong bursa dalam menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Dan, yang paling utama adalah menyediakan pasokan modal bagi bursa.
Namun, demutualisasi ini tidak serta-merta hanya membawa potensi yang positif semata. Potensi bahwa bursa akan lebih fokus kepada keuntungan finansial dan bukan lagi kepada pelayanan perlu diantisipasi. Dari sisi hukum, demutualisasi ini juga menyimpan potensi masalah. Terutama, tentang bagaimana jual beli saham anggota bursa nanti dan kedudukan bursa sebagai Self-Regulatory Organization (SRO). Hal ini akan memicu potensi konflik kepentingan bagi diri bursa itu sendiri.
Hal inilah yang perlu untuk dipikirkan sejak dini. Memang sekalipun tidak dilakukan demutualisasi, konflik kepentingan antara anggota bursa dan publik bisa jadi ada. Bursa bisa saja dianggap dimiliki dan dikendalikan oleh para broker (Sial et al, 2014). Namun, demutualisasi tidak serta-merta menghilangkan masalah konflik kepentingan tersebut.
“Quo vadis”?
Demutualisasi justru menghadirkan konteks baru dalam soal konflik kepentingan, yaitu antara peran komersial yang dimiliki oleh bursa dengan tanggung jawab mereka untuk mengawasi pasar. Konflik kepentingan ini jauh lebih berbahaya untuk dicermati karena ibarat adagium romawi nemo iudex in causa sua, seseorang tidak bisa adil ketika itu terkait dengan kepentingannya. Maka, peran komersial dan peran regulator akan berpotensi membuat bursa menjadi gamang.
Setidaknya, ada tiga ranah yang rentan dengan konflik kepentingan pasca demutualisasi. Aktivitas listing, pengaturan operasional market, dan perencanaan keberlangsungan usaha (business continuity) menjadi tiga titik yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh (Saha, 2005).
Untuk mengatasai konflik kepentingan ini, maka model regulasi yang akan dibangun menjadi penting untuk memitigasi masalah itu sejak dini. Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah pola pengaturan bersama (co-regulatory model) dan bukan lagi self-regulatory model. Dengan demutualisasi semakin dekat di depan mata, maka kita pun perlu untuk mengingat bahwa self-regulation dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan otoritas terkait bukanlah alternatif yang saling meniadakan satu sama lain, namun justru harusnya saling melengkapi (Gakeri, 2012).
Undang-Undang P2SK memberikan waktu dua tahun untuk hadirnya peraturan pelaksana yang sepatutnya menghadirkan aturan yang lebih rinci, termasuk terkait demutualisasi ini. Oleh karena itu, aturan pelaksana, apalagi untuk mengantisipasi demutualisasi ini perlu dikaji secara mendalam dan pengalaman-pengalaman dari bursa efek yang ada di berbagai belahan dunia bisa menjadi rujukan.
Namun, tentu kajian dalam konteks Indonesia harus dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga tidak mencangkokkan sistem yang terbukti berhasil di luar negeri, tetapi mungkin saja tidak cocok dengan karakteristik pasar maupun lingkup hukum dan sosial Indonesia. Kita tentu ingin membawa dunia pasar modal kita menjadi lebih ideal, apalagi di tengah pengalaman para retail investor selama ini, demutualisasi harus mampu untuk menghadirkan perdagangan efek yang lebih baik. Demutualisasi bursa harus menjadi menghadirkan simbiosis mutualisme antara bursa, pelaku pasar, dan segenap pemangku kepentingan pasar modal Indonesia.
Michael H Hadylaya, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi; Associate of Indonesian Institute of Arbitrators (IARBI)