Merawat Memori
Pemangku kepentingan hendaknya bijak memahami sejarah, dalam hal ini sejarah sepak bola di Jakarta. Di masa penjajahan Belanda, sepak bola menjadi alat menggugah nasionalisme melawan kolonialisme.
Dua tulisan mengenai stadion sepak bola di Kompas edisi 15 April 2023 menggali ingatan lama saya. Satu artikel tentang Gelora Bung Karno dan satu lagi tentang stadion kecil VIJ, di bilangan Jalan Biak, Jakarta Pusat.
Artikel ”Gelora Bung Karno, Penempa Karakter Bangsa” menceritakan bagaimana Stadion Gelora Bung Karno (SGBK) merupakan perwujudan tekad Presiden Soekarno menanamkan mental dan karakter bangsa melalui monumen. Bung Karno ingin SGBK menjadi cermin kebanggaan masyarakat Indonesia. Tak terlupakan perasaan ketika saya diajak ayah pertama kali menyaksikan lomba atletik Asian Games 1962 di SGBK.
Empat puluh lima tahun silam, saya menulis artikel di Kompas, ”Stadion Wembley, ’Mekkah’-nya Sepak Bola” (Kompas, 9/8/1978, hlm 5). Dalam tulisan itu saya sandingkan kebanggaan kita pada SGBK, mungkin seperti orang Inggris bangga dengan Stadion Wembley di London. Stadion Wembley kini sudah berubah baru. SGBK memasuki usia 61 tahun. Berbagai renovasi dan perawatan membuat SGBK masih menjadi kebanggaan kita.
Namun, rasa trenyuh muncul membaca ”Simbol Persatuan Warga yang Kini Terasing dari Ibu Kota”. Tergambar kondisi stadion kecil VIJ. Stadion yang menjadi saksi sejarah sepak bola nasional, bahkan sejarah perjuangan bangsa, itu kini lusuh kurang terawat.
Lapangan VIJ, begitu dulu kami menyebutnya, menjadi bagian masa kanak-kanak dan remaja saya. Awal 1960-an, semasa SD, kami bermain kasti di sana. Akhir 1960-an hingga pertengahan 1970-an saya sering menonton pertandingan sepak bola antarkampung di situ. VIJ juga menjadi kandang Jakarta Putera, klub lokal elite era itu.
Salah satu kesimpulan yang saya petik dari tulisan-tulisan Kompas 15 April 2023 itu adalah para pemangku kepentingan hendaknya bijak memahami sejarah, dalam hal ini sejarah sepak bola di Jakarta. Di masa penjajahan Belanda, sepak bola menjadi alat menggugah nasionalisme pribumi melawan kolonialisme. Sepak bola terbukti berperan strategis dalam perjuangan bangsa.
Sebuah kota tentu harus berubah. Namun, ada situs-situs sejarah yang harus dipertahankan dan dirawat. Dengan demikian, kita merawat memori kolektif kita.
Eduard LukmanJl Warga, RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Aplikasi Agama
Agama merupakan sarana komunikasi antara manusia dan Tuhan, khas sekaligus sakral. Indonesia mengakui agama-agama samawi dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Lingkungan, orangtua, dan guru mengajarkan, jika tak ada solusi atas problem yang dihadapi, agama merupakan jurus pamungkas, orang beragama akan mendapat kelegaan atas bebannya menurut porsi masing-masing.
Dalam perkembangannya, agama mengalami modifikasi, spektrum meluas tidak hanya pada ranah religius, tetapi juga merambah aspek politik, ekonomi, dan budaya. Agama menjadi hal yang sangat sensitif terkait hal remeh dalam kehidupan bermasyarakat.
Misalnya antarumat berbeda agama tidak lagi mengucapkan salam atau ”selamat” atas hari raya penganut agama lain. Hal ini menyedihkan karena semua agama mengajarkan nilai-nilai silaturahmi dan kedamaian, yang kini direduksi menjadi stigma menakutkan. Akibatnya, terjadi saling curiga, kohesi sosial terganggu dan mudah terpicu konflik.
Banyak negara beragama justru tertinggal jauh dibandingkan negara sekuler. Secara politik negara sekuler lebih stabil karena kebutuhan dasar terpenuhi, HAM terjaga, tidak jaim, dan tidak saling klaim merasa paling benar.
Membaca tulisan Masdar Hilmy, ”Agama dalam Arsitektur Negara-Bangsa” (Kompas, 17/4/2023), agama sebaiknya ”tahu diri” agar tidak mengintervensi kebijakan publik, termasuk olahraga dan kesenian. Jangan sampai agama justru menjadi ancaman jiwa.
Yes SugimoMelatiwangi Cilengkrang Bandung 40616
Jika Mau Sukses
Provinsi Lampung, tanah kelahiran yang saya cintai, lagi viral. Sekadar berbagi, tanpa bermaksud memanasi situasi, saya pun pernah posting tentang kondisi jalan-jalan di Lampung di media sosial. Bahkan, saya tag media sosial Pemerintah Provinsi Lampung.
Kakek-nenek saya pendatang di Lampung. Saya ingat, tahun 1980-an saya diajak ibu ke Kota Gajah, menjenguk saudara. Sebetulnya jarak rumah kami (di Seputih Banyak) menuju Kota Gajah hanya 20-an kilometer. Namun, jarak itu harus kami tempuh seharian (dari pagi hingga sore) karena jalan rusak parah.
Bagaimana sekarang setelah hampir setengah abad? Ternyata tidak jauh berbeda. Masih parah, apalagi jalanan yang ke arah Rumbia, lebih buruk daripada kubangan kerbau.
Saat ini orangtua saya dan semua warga jika berobat ke Metro (karena tak ada rumah sakit memadai di kecamatan kami), harus melewati Lintas Timur (Sukadana) yang berlipat-lipat jauhnya. Saya pun jika pulang kampung memilih melewati Lintas Timur.
Tahun 1980-an, paman saya almarhum berpesan kepada saya, ”Jika kamu ingin maju dan sukses, kamu harus keluar dari Lampung!” Apakah pesan 40 tahun lalu itu harus saya pesankan juga kepada para pemuda di kampung saya?
Semoga viralnya Lampung saat ini menjadi momentum perbaikan Lampung Sae, Sang Bumi Ruwa Jurai.
Lupinitius SutrisnoCibubur, Bogor
Menghindari diabetes Infografik
Melengkapi artikel Kompas tentang peningkatan kasus diabetes dan obesitas karena kelebihan konsumsi gula dan lemak plus gaya hidup santai, ada penyebab lain, yaitu fetal origin of adult disease (FOAD) atau hubungan pertumbuhan janin dengan kesakitan ketika sudah dewasa.
Dipelopori oleh David J Barker, peneliti epidemiologi dari Inggris, tiga puluh tahun lalu, yang meneliti status pertumbuhan janin dengan indikator berat lahir pada ibu-ibu hamil dan melahirkan saat Perang Dunia II.
Barker menemukan berat bayi lahir rendah ada hubungannya dengan kejadian kesakitan setelah dewasa, antara lain, jantung koroner, hipertensi, diabetes tipe II, obesitas, stroke, kanker, osteoporosis, dan gangguan mental.
Menurut Barker, pada masa pertumbuhan janin dalam kandungan terdapat masa sensitif atau masa yang plastis. Pengaruh buruk pada masa plastis ini mengubah fenotipe bayi sebagai hasil adaptasi terhadap kondisi kurang optimal. Perubahan fenotipe bermanifestasi pada gangguan metabolisme ketika dewasa, seperti obesitas, diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, serta jantung koroner dan stroke.
Walau ada penyanggah yang mengatakan bahwa penelitian Barker terbatas sebagai penelitian observasi yang kurang kuat untuk menyimpulkan hasil ”sebab-akibat”, penelitian belakangan yang bukan observasi menemukan hasil yang seiring temuan Barker.
Kasus kelainan metabolik waktu dewasa ini diperparah oleh orang yang berpindah dari pedalaman ke kota. Perubahan gaya hidup di kota memicu konsumsi gula dan lemak tinggi, malas gerak.
Saat ini berat badan lahir rendah di Indonesia masih 10 persen, berarti dalam 10 tahun masih banyak bayi yang berisiko menderita diabetes, jantung koroner, obesitas, ataupun stroke ketika dewasa.
Maka, prioritas pemerintah saat ini untuk menanggulangi tengkes perlu penguatan kegiatan untuk meningkatkan berat lahir bayi di Indonesia.
SunawangKompleks PWI Cipinang Muara, Jakarta Timur
Diabetes 2
Infografik Penyandang Diabetes di Indonesia
Membaca harian Kompas (Kamis, 13/4/2023) tentang diabetes, membuat saya berpikir betapa orang Indonesia dikepung sajian makanan dan minuman serba manis.
Di rumah, kondangan, jajan, dan berbagai acara pertemuan lain, sajian manis selalu ada. Kita terperangkap dalam kenyamanan dan kesenangan, dampaknya adalah munculnya berbagai penyakit dalam jangka pendek ataupun panjang.
Seminggu lalu saya ke rumah kakak ipar yang baru pulang dari rumah sakit, opname tiga hari karena gula darahnya tinggi. Ketika saya menanyakan apa gejala yang dirasakan, jawabannya mudah lelah, mengantuk, dan sering buang air. Memang seperti yang disampaikan istrinya, dalam sehari ia bisa lima kali menyeduh teh dan kopi, selalu dengan gula.
Saat harian Kompas memuat tentang diabetes ini, saya juga sedang bertandang ke rumah teman yang tinggal berdua dengan suaminya. Saya disuguhi secangkir teh manis, suaminya teh tanpa gula.
”Suami saya pagi siang dan sore selalu minum teh manis, sudah diingatkan tidak menurut, sekarang kena diabetes,” kata teman saya.
Sudah setahun ini suaminya setiap hari suntik insulin. Setiap hari jalan pagi dan mengonsumsi nasi merah. Katanya, orang sakit gula itu seperti memelihara macan. Kalau tidak hati-hati memilih dan mengonsumsi makanan, macan itu akan menyerang.
Oleh karena itu, kurangi konsumsi gula. Jangan ”manis di awal, derita kemudian”.
WiyanaSemanu Selatan RT 007 RW 042, Gunungkidul 55893
Cerita Kemacetan
Kemacetan di DKI Jakarta semakin parah. Satu titik kemacetan yang terkesan luput dari perhatian adalah di Jalan Pondokgede Raya. Dari depan Tamini Square sampai depan Asrama Haji. Kemacetan akibat jumlah kendaraan naik dan langkanya petugas walau ada tenda pos pengawasan.
Pengemudi bus Transjakarta yang memotong jalan masuk Halte Garuda Tamini Square menambah kemacetan.
Setelah Halte Garuda, kemacetan berlanjut akibat aksi ”pak ogah” mengatur arus kendaraan keluar masuk di Jalan Pinangranti II.
Lepas dari pertigaan Pinangranti II, arus kendaraan semakin stagnan karena ada penyempitan. Jalan yang sebelumnya enam lajur dan dipisahkan median menjadi empat lajur tanpa pemisah.
Cerita kemacetan belum berakhir karena lalu lintas dihambat oleh keluar masuk bus-bus besar di Terminal Transjakarta Pinangranti. Belum lagi keluar masuk bus yang mengisi bahan bakar gas, persis di sebelah Terminal Transjakarta Pinangranti.
Gangguan lain adalah banyak angkutan kota (angkot) parkir, menunggu calon penumpang turun dari bus Transjakarta. Kemacetan baru agak terurai setelah mencapai depan Asrama Haji/RS Haji.
Semoga Pemprov DKI Jakarta segera mencari solusi.
A Ristanto Jatimakmur Pondokgede, Kota Bekasi