Selain hadiah untuk negara, Soekarno saat menjabat Presiden RI juga banyak menerima cendera mata lukisan dari perseorangan. Namun, belum ditemukan dokumen status lukisan-lukisan tersebut, milik negara atau Soekarno.
Oleh
AGUS DERMAWAN T
·6 menit baca
Komunitas besar seni rupa Indonesia heboh pada akhir-akhir ini. Masalahnya, biro lelang Masterpiece, Jakarta, dalam lelang daring (online) yang diselenggarakan pada 1-15 April 2023 sekonyong-konyong menawarkan tiga lukisan yang oleh masyarakat dianggap sebagai koleksi Soekarno, yang notabene aset Istana Kepresidenan.
Lukisan tersebut adalah karya Antonio Blanco berjudul ”Portrait of a Balinese Girl” (53 cm x 45 cm) dan karya Rudolf Bonnet berjudul ”Balinese Girl” (51 cm x 43 cm), yang masing-masing ditawarkan dengan harga 31.000 dollar Singapura-44.000 dollar Singapura atau Rp 350 juta-Rp 500 juta. Katalog lelang menulis bahwa dua lukisan ini—mengutip surat pernyataan vendor di atas meterai—pernah dikoleksi oleh Sukmawati Soekarnoputri. Meski pada hari-hari kemudian Sukmawati mengatakan bahwa ia tidak pernah memiliki dua lukisan tersebut.
Lukisan lainnya ciptaan Basoeki Abdullah berjudul ”Girl of Thailand” (100 cm x 75 cm) yang ditawarkan senilai 27.000 dollar Singapura-40.000 dollar Singapura atau Rp 300 juta–Rp 400 juta. Lukisan ini dicatat sebagai koleksi Hartini Soekarno.
Karena kualitas tiga karya itu bagus, dan muasal koleksi itu memiliki histori dan wibawa, banyak yang memperkirakan nominal total lelang untuk tiga karya itu saja bakal mencapai Rp 2 miliar. Namun, lantaran kemunculannya menerbitkan sejumlah pergunjingan, maka Masterpiece untuk sementara membatalkan lelangnya.
Padahal, tiga lukisan tersebut menjadi ikon dalam pajangan pameran lelang di gedung Masterpiece, Jalan Tanah Abang IV, Jakarta. Begitu masuk ruangan, para pengunjung disambut pesona tiga wanita cantik itu. Sementara sekitar 100 lukisan lain di ruang-ruang sebelah tampak seperti jajaran opsir yang menjaga, meski lukisan-lukisan tersebut adalah karya Affandi, Arie Smit, dan Srihadi Soedarsono yang nilai nominalnya jauh lebih tinggi.
Mengapa tiga lukisan tersebut dijadikan ikon? Benny O Raharjo, pemilik biro lelang Masterpiece, mengatakan, karena karya itu semula adalah koleksi Presiden Soekarno, seorang patronis seni bangsa Indonesia yang punya selera luar biasa. ”Saya memang menjual nama Bung Karno,” ujarnya.
Bahkan, di bawah tiga lukisan tersebut ditaruh buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno (LPKS) susunan Lee Man Fong tahun 1964, yang mencantumkan reproduksi tiga lukisan itu. Masterpiece meyakini bahwa lukisan-lukisan andalan lelangnya benar-benar sudah menjadi ”mantan” koleksi Soekarno. Dan biasanya, yang berstatus ”mantan” boleh dipajang untuk dipetik semua orang.
Apa yang dipikir tentu tidak keliru. Meski itu bisa saja mengandung risiko. Penjelasan risiko itu sebagai bertikut.
Presiden Soekarno acap menerima lukisan. Istilah ”menerima” di sini diartikan bahwa Istana Kepresidenan memperoleh hadiah dari berbagai institusi nasional ataupun internasional. Kita tahu, seorang pemimpin negara yang berkunjung ke Indonesia biasanya memberikan cendera mata untuk bangsa Indonesia. Pemberian ini umumnya berbentuk karya seni. Begitu juga ketika Presiden Soekarno berkunjung ke sejumlah negara. Biasanya pemimpin negara atau pejabat tinggi negara itu memberikan cendera mata pula. Karya-karya seni pemberian itu akan menjadi koleksi Istana Presiden, yang distatuskan sebagai koleksi negara.
Namun, selain hadiah untuk negara, Soekarno juga banyak menerima cendera mata lukisan dari perseorangan, dari pengagum, pengusaha, politikus, dan sebagainya. Lukisan hadiah ini oleh Soekarno (dan Dullah, pelukis Istana Presiden pada 1950-1960) diposisikan sebagai koleksi pribadi. Kecuali sang pemberi mengatakan atau mencantumkan pernyataan bahwa lukisan itu untuk Istana Kepresidenan Indonesia.
Ketika berkunjung ke Uni Soviet pada 1961, Soekarno (sebagai pemimpin negara) mendapat hadiah lukisan Konstantin Egorovich Makovsky dari Presiden Nikita Khruschev. Soekarno takjub dengan lukisan berjudul ”Perkawinan Adat Rusia” itu sehingga ia kemudian ingin mendapatkan karya seperti itu untuk koleksi pribadi. Ia pun berhasil membeli lukisan ”Pesta Anggur”, meski konon atas bantuan pengusaha Agoes Moesin Dasaad.
Maka, lukisan ”Perkawinan Adat Rusia” berstatus milik Istana Kepresidenan, sedangkan ”Pesta Anggur” milik pribadi. Walau pada kurun kemudian Soekarno menghibahkan ”Pesta Anggur” itu ke Istana. Alasannya, ukurannya terlalu besar untuk dipajang di rumah pribadi Soekarno dan keluarganya.
Hal yang sama terjadi pada ”Jika Tuhan Murka” karya Basoeki Abdullah. Lukisan itu semula koleksi pribadi Basoeki. Namun berhasil dirayu dan menjadi milik Soekarno. Koleksi pribadi itu oleh Soekarno akhirnya dihibahkan ke Istana Kepresidenan karena Sang Presiden tahu bahwa lukisan tersebut punya kisah sejarah yang berkait dengan Maria Michel (istri Basoeki) dalam hubungannya dengan Konferensi Meja Bundar.
Soekarno tertarik dan lantas membeli lukisan karya Sudjojono itu. Pada kurun kemudian ”Kawan-kawan Revolusi” dihibahkan ke Istana oleh Soekarno.
Lukisan legendaris ”Kawan-kawan Revolusi” juga mempunyai cerita yang sama. Lukisan ini dihadirkan pertama kali dalam pameran Seniman Indonesia Muda (SIM) yang diselenggarakan Biro Perdjuangan di Yogyakarta pada Mei 1947. Soekarno tertarik dan lantas membeli lukisan karya Sudjojono itu. Pada kurun kemudian ”Kawan-kawan Revolusi” dihibahkan ke Istana oleh Soekarno.
Mana yang koleksi pribadi?
Soekarno aktif mengoleksi lukisan sejak 1942 hingga lengser pada 1967. Dari sekitar 2.100 koleksi yang tercatat pada 1968, diperkirakan sekitar sepertiganya terstatus sebagai koleksi pribadi. Ada yang dibeli dengan kontan, ada yang dicicil sampai berbilang tahun. Bahkan, Sudarso, pelukis yang dekat dengan Soekarno, masih punya piutang sampai Soekarno wafat pada 1970.
Dari jumlah sepertiga itu, setengahnya dibeli dengan uang Soekarno. Dan setengah yang lain adalah pemberian (pelukis, pengusaha, sahabat), atau ”ditraktir beli” oleh orang lain. Maka, secara hukum, sekitar 700 lukisan adalah koleksi pribadi Soekarno.
Sebagai koleksi pribadi, Soekarno mempunyai hak untuk mendistribusikan lukisan itu kepada siapa saja. Kepada Istana Kepresidenan, kepada Mohamad Hatta, hingga kepada Brigjen M Saboer, umpamanya. Juga kepada para istrinya: Fatmawati, Yurike Sanger, Hartini, ataupun Ratna Sari Dewi. Dan tentu kepada kepada anak-anaknya: Megawati, Guruh, Sukmawati, dan seterusnya.
Namun, sejauh ini belum ditemukan dokumen yang menyatakan mana koleksi milik Istana dan mana koleksi milik pribadi Soekarno. Maka, status koleksi pun belum jelas. Berbagai faktor memang menghambat datangnya kejelasan soal itu. Misalnya, sikap Soekarno yang sejak dahulu tidak ingin repot-repot mengadministrasikan koleksinya. Serta faktor peralihan kekuasaan politik yang rawan dan chaos pada 1965-1967 sehingga dokumen yang ada pun raib dan terserak-serak. Bahkan, sejumlah lukisan juga hilang.
Meskipun demikian, tidak berarti Soekarno sama sekali abai. Ia sempat mengabadikan sekitar 400 koleksinya dalam buku LPKS susunan Dullah (1956) dan Lee Man Fong (1964). Lim Wasim, pelukis Istana Presiden yang mendampingi Lee Man Fong, meneruskan album LPKS itu pada 1966 untuk peringatan ulang tahun ke-65 Soekarno. Namun, sebelum final, peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Soekarno lengser, dan buku pun urung.
Istana Kepresidenan era Soeharto ada upaya untuk menjaga koleksi Soekarno. Seperti pendirian Sanggar Lukisan Istana Presiden dan pemberian wewenang kepada Kepala Rumah Tangga Istana Kepresidenan Joop Ave. Maka, pada 1977, Joop berkata, ”Seluruh koleksi Soekarno yang ada dalam buku LPKS ataupun yang tidak ada dalam buku harus ada ke Istana Presiden dan diurus oleh Istana Presiden.”
Kebijakan (yang cuma) lisan itu dibuat lebih realistis oleh Presiden Megawati Soekarnoputri: hanya lukisan koleksi Soekarno yang ada di Istana Presiden yang dinyatakan sebagai koleksi Istana Presiden. Karena Megawati tahu, ada koleksi pribadi Soekarno yang bertengger di dinding rumah istri dan anak-anak Soekarno. Pernyataan Megawati itu ditandai dengan buku Rumah Bangsa yang terbit pada 2004 dan lima jilid buku berikutnya.
Dengan situasi dokumen seperti itu, para pengelola koleksi Istana Presiden—yang selama ini bekerja serius—tak henti dibuat pusing. Apalagi ketika ada koleksi Soekarno yang makjegagik muncul dalam lelang Masterpiece itu.
”Atas koleksi Soekarno yang beredar di khalayak umum, kami harus mencermati benar. Apakah lukisan itu koleksi Istana Kepresidenan atau koleksi pribadi Soekarno. Tapi, dokumen yang menjelaskan soal itu sangatlah minim dalam arsip kami. Tanpa dokumen dan data, kami tidak bisa membuat klaim,” kata salah seorang pengurus koleksi benda seni Istana.
Sementara yang terbaca sebagai data hanyalah catatan di bagian belakang kanvas sebagian besar lukisan: Milik Ir Sukarno. Nomer XXX, misalnya. Sementara kata ”milik” di situ dipahami sebagai ”dikoleksi oleh”. Jadi, apakah yang ”dikoleksi oleh” Soekarno itu diperuntukkan bagi Istana Kepresidenan atau untuk pribadi, semua masih bingung.
Kebingungan ini ujungnya melanda masyarakat seni di luar Istana Presiden, termasuk pengelola biro lelang dan pengikut lelang.
Agus Dermawan T, Penulis Buku ”Dari Lorong-lorong Istana Presiden”; Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden