Indonesia masih menerapkan ancaman pidana bagi pelaku pencemaran nama baik. Kita bisa belajar dari praktik peradilan di AS. Di negara ini, pencemaran nama baik hanya berlaku untuk sesorang dalam urusan privat.
Oleh
PATRA M ZEN
·3 menit baca
Meskipun ada pendukungnya, sangat lemah argumen yang mengatakan kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat, atau menyampaikan suatu berita dapat dilakukan tanpa batasan aturan. Keliru anggapan, setiap orang bebas menyuarakan pendapatnya sebebas-bebasnya tanpa perlu diatur oleh norma hukum, tanpa perlu khawatir apa yang disampaikan mengakibatkan rusaknya reputasi orang lain atau mencermarkan nama baik seseorang.
Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, sebenarnya tidak ada lagi perdebatan: pencemaran nama baik itu jelas suatu bentuk pelangaran hukum. Istilah pencemaran nama baik dapat dipersamakan dengan istilah defamation. Istilah ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu secara verbal (slander) dan secara tertulis (libel). Perkara-perkara ini sudah disidangkan di pengadilan domestik maupun pengadilan regional, seperti di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (the European Court of Human Rights).
Pencemaran nama baik mengandung sejumlah pengertian. Pengertian pokoknya adalah perbuatan membuat pernyataan palsu (false statement) untuk merusak reputasi atau martabat orang lain. Dalam perkara ini, yang perlu diuji apakah pernyataan ataupun pendapat mengandung kebenaran atau sebaliknya, tidak berdasarkan suatu fakta.
Suatu pernyataan atau pendapat tidak menjadi soal jika dikonsumsi sendiri dan tidak menyebabkan kerusakan martabat orang lain. Masalah muncul jika pernyataan palsu itu disampaikan ke pihak ketiga. Pihak ketiga yang kemudian menyebarkan pernyatan palsu ini juga dapat dikatakan menyebarluaskan pernyatan palsu. Pihak ketiga ini disebut dengan istilah repeater. Semua pernyataan atau pendapat haruslah menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi reputasi seseorang.
Apa yang masih diperdebatkan oleh aktivis dan lembaga hak asasi manusia di tingkat global? Perdebatan mengenai pilihan penyelesaian hukumnya: apakah perbuatan pencemaran nama baik ini diselesaikan melalui pengadilan pidana atau tuntutan perdata?
Karena itu, gerakan advokasi di tingkat global yang menyuarakan kebebasan berekspresi meminta penghapusan pidana pencemaran, fitnah, atau dalam perkara yang menguji kebebasan berekspresi ini. Menggunakan kacamata hukum hak asasi manusia, korban yang merasa difitnah dapat mengajukan perkaranya melalui mekanisme gugatan perdata untuk meminta ganti kerugian.
Gerakan advokasi di tingkat global yang menyuarakan kebebasan berekspresi meminta penghapusan pidana pencemaran, fitnah, atau dalam perkara yang menguji kebebasan berekspresi ini.
Dalam Komentar Umum 34, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan Negara-negara Pihak untuk mempertimbangan penghapusan aturan pidana (dekriminalisasi) terhadap pencemaran nama baik. Komite berpendapat, aturan hukum pidana masih bisa dikenakan dalam kasus-kasus yang sangat serius, tetapi Komite juga berpendapat hukuman penjara tidak pernah menjadi hukuman yang pantas untuk dikenakan terhadap pelakunya.
Kebutuhan untuk melindungi reputasi pribadi menjadi isu penting dalam sistem hukum Inggris. Karena itu, di negara ini ada aturan mengenai pelindungan reputasi pribadi atau kelompok agar tidak rusak di mata masyarakat yang berpikiran benar.
Sama seperti di Indonesia, Inggris memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Human Rights Act, 1998). Di negara ini, orang yang merasa dicemarkan reputasinya dapat mengajukan gugatan di pengadilan. Korban mesti membuktikan adanya kerusakan reputasi yang distilahkan dengan ”kerusakan khusus” yang dapat diukur dengan nilai uang. Pertimbangan ini dimuat dalam Pengadilan Banding tanggal 9 April 2001 dalam perkara Alexander melawan Arts Council of Wales.
Urusan privat
Sama halnya dengan di Inggris, di Amerika Serikat perkara pencemaran diselesaikan melalui gugatan. Mahkamah Agung Amerika Serikat menambahkan kriteria perbuatan yang dapat dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum jika suatu peryataan dan pendapat ditujukan kepada orang yang dikenal oleh publik (public person). Hal ini yang membedakan pencemaran nama baik yang ditujukan kepada orang kebanyakan dengan pencemaran nama baik yang ditujukan kepada politisi, artis, atau tokoh terkenal.
Pencemaran nama baik terhadap pejabat publik mensyaratkan elemen kebencian (malice). Syarat ini muncul dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 9 Maret 1964 dalam perkara New York Times melawan Sullivan. Dalam pertimbangan hukumnya, dijelaskan untuk membuktikan pencemaran nama baik terhadap pejabat publik yang dilakukan oleh media, yang bersangkutan harus membuktikan elemen malice atau ”adanya pengetahuan bahwa (pernyataan yang dibuat) salah atau dengan sembrono mengabaikan kebenaran.”
Elemen malice muncul saat seseorang pada dasarnya seseorang sudah mengetahui bahwa apa yang ia sampaikan tidak benar, tetapi tetap menyampaikan pernyataan palsu untuk merusak reputasi figur publik. Ini yang menjelaskan mengapa surat kabar di Amerika Serikat tidak akan menurunkan suatu berita tanpa didukung pernyataan dua orang saksi. Karena dengan adanya pernyataan dari dua saksi ini, perusahaan media terhindar dari tuntutan mencemarkan nama baik seseorang.
Sementara Indonesia masih menerapkan ancaman pidana bagi pelaku pencemaran nama baik. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 1/PUU-IX/2011 tanggal 25 Juli 2011 menegaskan bahwa aturan pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana pencemaran nama baik tidak melanggar konstitusi.
Putusan ini menguji permohonan pengujian Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencemaran Nama Baik. Pertimbangan hukumnya, ada kewajiban negara untuk untuk melindungi hak atas kehormatan dan martabat seseorang. Karena itu, negara dibenarkan membatasi hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan kebebasan untuk berkomunikasi serta memberikan informasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru disahkan, ketentuan pidana pencemaran dimuat dalam Bab XVII tentang penghinaan yang mengatur: pidana pencemaran; fitnah; penghinaan ringan; pengaduan fitnah; persangkaan palsu; serta pencemaran orang mati. Rumusan perbuatan pidana dalam KUHP baru lebih rinci ketimbang KUHP sebelumnya.
Boleh jadi, apa yang dikhawatirkan masyarakat atau media terletak pada pikiran bahwa instrumen hukum pidana digunakan oleh para figur atau pejabat publik untuk membungkam kritik. Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari praktik peradilan di Amerika Serikat. Di negara ini, pencemaran nama baik hanya berlaku untuk sesorang dalam urusan privat. Dengan kata lain, jika pendapat, pernyataan, atau suatu berita merupakan hal yang esensinya merupakan urusan publik, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik yang merusak reputasi seseorang.