Arti Keputusan Megawati
Keputusan Megawati 2023 ini pengulangan dari keputusannya sembilan tahun silam. Dengan mencalonkan Joko Widodo dan Ganjar Pranowo, Megawati ingin mengirim pesan bahwa dirinya memimpin partai bukan oligarki keluarganya.
Tersingkap sudah tirai misteri itu. Terkuak sudah segala teka-teki yang panjang tersebut. Terbuka nian segala kesamaran. Tiada lagi penantian dengan perasaan serba rabaan dan terkaan belaka.
Tak ada lagi kecambah gosip, tak ada lagi asumsi dan analisis liar tentang siapa gerangan calon yang diajukan oleh PDI Perjuangan (PDI-P) untuk memimpin negeri kita. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menjadi calon presiden (capres) yang diputuskan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk maju di Pemilihan Presiden 2024.
Sebagaimana lazimnya, Megawati menyampaikan keputusannya ke publik di tempat, waktu, suasana, dan penataan yang simbolik. Ia memilih Istana Batutulis, Bogor, tempat favorit mendiangnya ayahnya, Presiden Soekarno, yang sekaligus menyimpan banyak catatan kepribadian Bung Karno.
Megawati mengumumkan keputusannya itu pada Hari Kartini, 21 April 2023, sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri 2023, hari kemenangan.
Megawati Ketika melakukan pengumuman tersebut, didampingi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan anak kandungnya, termasuk Puan Maharani, nama yang digadang-gadang sebelumnya bakal menjadi capres dari PDI-P. Tentu saja, turut hadir Ganjar Pranowo.
Simbol-simbol tersirat dari pengumuman tersebut, sangat mudah dibaca oleh publik, sejalan dengan sambutan santun penerimaan Ganjar: “Ini adalah sebuah keputusan yang diambil oleh ketua umum yang melalui proses yang sangat panjang. Sebuah kehormatan buat saya mendapatkan penugasan sebagai kader partai.”
Baca juga : Jokowi Silaturahmi ke Megawati Bahas Dinamika Politik Nasional
Baca juga : Pengamat: Elektabilitas Ganjar Sudah Sangat Baik
Mengapa Ganjar
Keputusan Megawati tahun 2023 ini, adalah pengulangan dari keputusannya sembilan tahun silam. Ia mengurungkan niatnya maju menjadi calon presiden dan memberi kesempatan kepada Joko Widodo, kadernya sendiri.
Kini, ia mengesampingkan keinginan putrinya, Puan Maharani, untuk menjadi capres yang mewakili partainya, dan memberi peluang itu kepada kadernya yang lain, Ganjar Pranowo. Sebuah sikap yang selain rasional, juga membawa dampat positif atas kepemimpinannya dalam partai.
Dengan mencalonkan Joko Widodo dan Ganjar Pranowo, Megawati ingin mengirim pesan kepada siapa pun: dirinya memimpin partai bukan semata-mata membangun oligarki keluarganya. Ia memimpin partai tidak semata-mata untuk kepentingan dirinya, tetapi untuk para kader dan bangsa. Ia telah membuktikan itu sebanyak dua episode penting dalam kepemimpinannya.
Dampak positif dari sikap dan kepemimpinan tersebut, adalah, kebangkitan semangat para kader partai untuk saling berlomba mewujudkan mimpi-mimpi menjadi pemimpin di negeri ini. Gaya Megawati tersebut adalah ikhtiarnya untuk merawat mimpi para kadernya bahwa dengan PDI-P di bawah kepemimpinannya, mimpi-mimpi itu bisa terkabul.
Dengan demikian, para kader partai tersebut akan bekerja sungguh-sungguh dan loyal kepada partainya demi mengejar mimpi-mimpi mereka.
Dengan mencalonkan Joko Widodo dan Ganjar Pranowo, Megawati ingin mengirim pesan kepada siapa pun: dirinya memimpin partai bukan semata-mata membangun oligarki keluarganya.
Maka, dengan mudah kita nujum ke depan, pada Pemilu 2024, perolehan suara PDI-P akan tetap terawat di urutan teratas. Sejak Megawati mencalonkan Joko Widodo sembilan tahun lalu, hingga kini, perolehan suara PDI-P tetap stabil di tangga teratas. Bila tak ada aral melintang, bisa jadi prestasi itu akan terulang lagi.
Makna lain dari keputusan Megawati ini, adalah, keinginan Jokowi kini terkabul, menginginkan Ganjar sebagai calon presiden. Sebuah keinginan yang sudah terbaca sejak dua tahun silam. Dengan bahasa- bahasa isyarat selama ini, Jokowi sesungguhnya memilih Ganjar Pranowo sebagai calon penggantinya. Sebuah sikap dan preferensi politik untuk mengamankan segala kebijakan yang telah ia rintis dan laksanakan.
Tentu saja hal ini sejalan dengan keinginan untuk pengamanan diri di kelak kemudian, bila ada sesuatu. Hal seperti ini sangat lumrah dalam politik, di mana pun.
Keputusan Megawati ini juga membawa efek luar biasa kepada Partai Golkar. Masalahnya, selama Ganjar belum memiliki kendaraan, maka kasak-kusuk politik untuk menggunakan partai berlambang beringin tersebut sebagai kendaraan politik buat Ganjar, selalu ada dan membara.
Malah, pernah santer disebutkan bahwa akan terjadi musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar untuk mendongkel Airlangga Hartarto, yang juga berkeinginan menjadi calon presiden dari partainya sendiri, dan ini didukung oleh PAN dan PPP.
Asumsi tersebut tidak berlebihan. Tatkala nama Ganjar Pranowo kian mengemuka, tiba-tiba saja PAN memaklumkan bahwa sejumlah kader PAN di daerah menghendaki mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. PPP juga memberi isyarat yang sama.
Maka, saat-saat itu, kohesi dan komitmen ketiga parpol tersebut dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), terasa mulai oleng. Dengan pencalonan Ganjar oleh PDI-P, Airlangga pun bisa tidur nyenyak, tidak perlu khawatir ada ikhtiar penggantian dirinya. Apakah ia tetap jadi calon kelak, itu lain lagi soalnya. Apakah Partai Golkar ikut koalisi besar untuk mendukung pencalonan Ganjar Pranowo, kita akan lihat skenario politik ke depan.
Ujian berat Ganjar
Kemenangan Ganjar Pranowo memperoleh tiket pencalonan dari PDI-P, masih menghadapi ujian berat kelak: apa ia mampu memenangkan pertarungan presiden atau tidak.
Masalahnya, dengan sistem pemilihan presiden yang sangat terbuka itu, keterpilihan atau tidaknya seseorang, banyak juga ditentukan oleh individu sang calon. Bukan sekadar dukungan para partai pengusung. Individu banyak kaitannya dengan kemampuan, tingkat penerimaan masyarakat, prestasi ke belakang, dan yang paling penting, masalah integritas. Semua jejak masa silam sang calon pasti akan ditelusuri.
Pemilihan presiden dengan sistem terbuka, sama dengan sistem permainan badminton. Kesalahan kita adalah poin buat lawan. Kesalahan bisa dalam bentuk ucapan, pernyataan, perilaku, baik yang dilakukan sendiri ataupun calon wakil, maupun oleh para kader partai pengusung. Kesalahan dalam konteks ini, selain sangat sensitif, juga amat menentukan keterpilihan seseorang.
Yang paling penting selain faktor-faktor di atas, adalah, siapa pasangan dan lawan Ganjar Pranowo dalam pertarungan di Pilpres 2024 kelak?
Makna lain dari keputusan Megawati ini, adalah, keinginan Jokowi kini terkabul, menginginkan Ganjar sebagai calon presiden.
Calon wakil presiden ikut berperan karena ia diharapkan mendulang suara pemilih: dari segmen pemilih mana yang ia wakili dan apakah pendamping tersebut bisa atau tidak, mengisi kekurangan calon presiden yang ada.
Sementara calon lawan, sangat menentukan karena lawan tentu memiliki juga kiat dan strategi memenangi pertarungan. Agenda, isu, dan program menjadi hal yang amat dominan dalam persaingan karena menyangkut apa yang ditawarkan ke para pemilih dan bagaimana cara mewujudkan tawaran tersebut.
Di atas segalanya, calon lawan menjadi penentu kemenangan atau tidak, karena lawan pasti merepresentasi segmen tertentu dalam masyarakat kita, yang memang menjadi rebutan para calon. Dan, jangan dilupakan, jumlah pasangan calon, ikut menentukan kemenangan atau tidak, karena menyangkut distribusi suara.
Pada pemilihan presiden tahun 2004, Megawati adalah Presiden RI. Ia juga menjadi calon presiden untuk periode berikutnya. Megawati bersaing tanpa menggunakan cara-cara tak wajar untuk menang. Ia secara de facto, pemegang kendali kekuasaan, tetapi ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menang. Kita patut mencontoh ini.
Hamid AwaludinDosen Universitas Hasanuddin, Makassar