Selama 50 tahun perjalanannya, majalah ”Bobo” memberikan andil persentuhan teks dengan ragamnya di hadapan anak-anak Indonesia. Keterbacaan teks merupakan upaya penyadaran akan keluasan samudra ilmu dan pengetahuan.
Oleh
Joko Priyono
·3 menit baca
Anak-anak berlimpah akan imajinasi. Mereka meniti langkah hidup dalam setapak demi setapak. Mengamati, meniru, mempelajari, dan menghayati peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak Indonesia sejak 1970-an mengenal keberadaan majalah Bobo. Mereka ingin bahagia dengan penyediaannya di ruang keluarga. Di rumah, keluarga pamrih berimajinasi akan banyak cakrawala ilmu dan pengetahuan.
Kita boleh simak penelitian yang dilakukan dua akademisi Universitas Diponegoro, Yusinta Ayu Sekarningtyas dan Mahendra Puji Utama (2021). Kajian mereka di Jurnal Historiografiberjudul ”Upaya Majalah Bobo dalam Pembentukan Karakter Bangsa bagi Anak-anak, 1973-1998”. Kajian penting selain sebagai pengingat bersama bahwa pada 14 April 2023, majalah Bobo genap berumur 50 tahun. Ada dua hal penting dalam kesejarahan yang mereka kaji, yakni majalah Bobo mengisahkan pemaknaan di kalangan anak berupa bermain dan belajar.
Secara lengkap, mereka katakan: ”Dengan visi dan misi, majalah Bobo membangun karakteristik pembacanya yang merupakan anak laki-laki dan perempuan yang suka membaca, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga suka bersosialisasi. Walaupun gaya penampilannya selalu berbeda mengikuti perkembangan zaman, visi dan misi majalah Bobo tetap sama. Majalah Bobo selalu mengutamakan menjadi teman bermain dan belajar anak.”
Terminologi belajar dan bermain mengingatkan tulisan Ki Hadjar Dewantara, Permainan Kanak-kanak (Mimbar Mahasiswa No 52, 25 Desember 1948) termaktub di buku Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama: Pendidikan (1962). Ki Hadjar menulis: ”Permainan kanak-kanak pada umumnja boleh dipandang sebagai tuntutan djiwanja jang menudju ke arah kemadjuan hidup djasmani maupun rohani. Lihatlah tjaranja kanak-kanak bermain.”
Anak-anak adalah kekuatan kolektivitas yang dipandu jenjang pendidikan. Lagu maupun nyanyian, buku, hingga foklor pernah membersamai sebagai ayunan ritmis mereka bertumbuh. Dari penjelasan Ki Hadjar agaknya terbetik sebuah pertanyaan pada abad ke-21 tentang bagaimana konsep bermain di anak-anak saat ini. Konon, revolusi digital melahirkan situasi paradoks bagi para keluarga terhadap pengasuhan anak. Kita masih memiliki harapan besar terhadap sebaran bacaan bermutu bagi kalangan anak.
Buku dan anak pernah menjadi keresahan batin bagi Murti Bunanta. Di tulisannya berjudul ”Perjuangan untuk Bacaan Anak yang Layak” dalam bunga rampai Membuka Masa Depan Anak-anak Kita (Kanisius, 2000), Murti mengetengahkan permasalahan panjang dalam muatan bacaan di kalangan anak. Salah satu hal mendasar adalah bacaan yang berbentuk fiksi ilmiah yang merangsang imajinasi ilmu dan pengetahuan.
Pernyataannya berupa: “Buku berjenis fantasi juga sangat minim bagi anak Indonesia, apalagi fiksi ilmiah. Demikian pula puisi anak-anak dan remaja tidak banyak ditemukan.”
Penarasian ragam bacaan teks dengan bentuknya itu pula membawa dugaan kita bahwa majalah Bobo memiliki misi panjang.
Keterangan Murti Bunanta seakan memberikan analisis nalar para pengarang dalam kepentingan penulisan buku. Penyusunan buku terkadang menjadi begitu terhambat apabila yang dipentingkan adalah kepentingan finansial dan ideologis. Pernyataan itu tetap penting untuk menjadi refleksi di situasi sekarang.
Di sebaran tulisan, kita ingat majalah Bobo bukan sebatas mengisahkan kebudayaan dan kearifan lokal sebagai penentu komitmen terhadap imajinasi kemajemukan bangsa Indonesia. Keberadaannya juga mengisahkan serangkaian narasi ilmu, pengetahuan, dan teknologi, mulai astronomi, flora dan fauna, lingkungan, matematika, kesehatan, hingga perkembangan teknologi. Sikap itu mengesahkan keterhubungan anak-anak dengan bacaan yang dalam kerangka ideologis sebagai upaya pembentukan kesadaran jangka panjang.
Selain itu, penarasian ragam bacaan teks dengan bentuknya itu pula membawa dugaan kita bahwa majalah Bobo memiliki misi panjang. Bahwa harus diingat sejak digagas pertama kali oleh wartawan Kompas, Tineke Latumeten, yang pada 1973 saat di Rotterdam, Belanda, menemukan sesobek majalah Bobo di halte yang menyita perhatiannya. Angan-angan besar yang kemudian membentuk tanda dengan dihadirkannya majalah Bobo di Indonesia tentu saja nalar keilmuan keluarga Indonesia perlu melihat keluarga di Eropa dan Amerika.
Para keluarga di Eropa dan Amerika telah membiasakan diri ilmu dan pengetahuan menjadi bahasa keseharian. Dengan begitu, ada imajinasi global untuk memikirkan kondisi Indonesia. Itu tentu saja tidak terlepas akan bagaimana kondisi faktual dalam catatan data mengenai literasi dan numerasi Indonesia yang kerap terpojokkan dengan angka yang rendah. Demikian, kita memetik pelajaran berharga dalam ingatan 50 tahun ke belakang yang memberikan andil persentuhan teks dengan ragamnya di hadapan anak-anak Indonesia.
Teks, dalam situasi dan kondisi apa pun, menjadi sebuah cakrawala penyangsian diri dalam menafsir perubahan dan perkembangan zaman. Di hadapan kalangan anak, mereka berhak mengetahui dan mempelajari dalam proses yang sedemikian rupa. Keterbacaan teks dengan demikian merupakan upaya penyadaran akan keluasan samudra ilmu dan pengetahuan. Di mana menjadi manusia dalam konteks warga negara memerlukan ketekunan dan kesetiaan untuk menyiapkan diri untuk masa depan.
Kita masih ingin mengingat beberapa ungkapan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim saat peringatan Hari Guru Nasional 2022. Menteri Nadiem membuat analogi untuk para keluarga Indonesia akan dimensi teks bacaan dan anak. Ia memberi analogi bahwa para orangtua penting mengajak diskusi buku dan menceritakan isi buku kepada anak-anak. Pernyataan kita anggap penting dalam memikirkan kecepatan revolusi digital.
Joko Priyono, Fisikawan Partikelir; Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022)