Salah Perspektif Komunikasi dan Kebijakan Penanganan Tengkes
Pedoman strategi komunikasi perubahan perilaku dalam percepatan pencegahan tengkes terlalu menyimplifikasi masalah. Strategi komunikasi ini semestinya menggunakan prinsip komunikasi pembangunan.
Angka prevalensi tengkes (stunting) Indonesia masih tinggi, yakni 21,6 persen pada 2022. Meski angka ini telah turun 2,8 persen dari prevalensi tahun 2021 yang sebesar 24,4 persen, jumlah ini masih di atas angka acuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen.
Jika kita bicara mandat Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, yang mematok target capaian penurunan tengkes sebesar 14 persen pada 2024, angka tersebut jelas masih jauh dari pencapaian yang diharapkan.
Pokok persoalan
Strategi perang kolosal yang sedang dimainkan pemerintah dengan melibatkan begitu banyak pihak dalam penanganan tengkes perlu kita diskusikan ulang. Strategi ini tampaknya justru menjadi beban di lapangan, mengingat tidak terjadinya proses komunikasi yang konvergen di antara para aktor berdampak kepada pemahaman yang keliru dan aksi yang tidak tepat, serta cenderung parsial dari para pihak yang terlibat dalam penanganan tengkes.
Pemahaman yang berbeda dan bervariasi menyebabkan orang dan para pihak merasa sudah melakukan sesuatu untuk mengatasi tengkes. Padahal, mereka sekadar memberi anak-anak satu atau dua butir telur, tentu tidak lupa sambil berfoto pula, dan merasa sudah melakukan kerja besar dalam mengatasi tengkes. Padahal intervensi yang diperlukan adalah intervensi yang relevan dengan diagnosa masalahnya.
Baca juga: Tengkes, Antara Definisi dan Angka
Selain relevan, diperlukan intervensi yang berkelanjutan tidak bisa hanya satu atau dua kali kegiatan. Program yang berkesinambungan dan terukur amat diperlukan. Karena perlu diingat, persoalan tengkes bukan disebabkan oleh masalah tunggal (single problem), tetapi banyak masalah (multi problem) dan kompleks. Misalnya, sangat terkait dengan kemampuan ekonomi suatu rumah tangga dan akses mereka terhadap pangan yang berkualitas, akses mereka terhadap air bersih dan sanitasi yang baik.
Terkadang sering ketika sosialisasi kita bicara soal pentingnya makan protein yang cukup dan beragam, padahal kita sedang bicara di depan masyarakat yang hanya mampu membeli beras, tetapi kita bicara soal makan daging yang mahal bagi mereka. Dengan demikian, tantangan kita pada akhirnya juga bagaimana memampukan rumah tangga untuk dapat mengakses pangan yang sehat dan berkualitas secara berkelanjutan.
Dengan demikian, alih-alih melakukan aksi kolosal penanganan tengkes yang intervensinya parsial dan kadang keliru, lebih baik pemerintah menyusun agenda pencegahan dan intervensi yang sistematis dengan kerja-kerja yang jauh lebih terukur, dialogis, dan terkoordinasi. Melalui langkah ini, anggaran penanganan tengkes juga akan jauh lebih tepat sasaran dan berdampak. Fokus kepada sumber masalah tengkes dengan program yang komprehensif, tepat diagnosa, dan tidak parsial serta berkelanjutan adalah kunci penyelesaian persoalan sesungguhnya.
Aspek lain yang tidak kalah problematik dari pola-pola kerja kolosal ini adalah dalam soal metode pengukuran tengkes yang diserahkan prosesnya kepada daerah masing-masing tanpa standardisasi yang jelas, berpotensi menyebabkan data pengukuran tengkes akan mengalami error yang besar. Hal ini mengingat strategi dan dinamika yang terjadi di lapangan amat beragam. Misalnya saja, dalam banyak hal kita masih fokus berpatokan pada berat badan anak dibanding tinggi badan dalam mendiagnosa tengkes. Padahal berat badan cenderung fluktuatif dibandingkan tinggi badan yang bisa lebih pasti dan konsisten menjadi acuan.
Hal lain, masih terdengarnya penolakan di lapangan oleh para pemangku kepentingan untuk proses diagnosa dan intervensi tengkes di wilayahnya. Hal ini tentu terjadi karena pemahaman dan kesadaran yang keliru terhadap tengkes itu sendiri. Dengan demikian, jangan sampai target penurunan tengkes 14 persen pada 2024 tercapai secara data di atas kertas, tetapi pada saat yang sama kita masih menyaksikan banyak anak yang tengkes di republik ini.
Baca juga: ”Quo Vadis” Percepatan Penurunan Tengkes
Masalah komunikasi
Kementerian Kesehatan memang telah menyusun pedoman strategi komunikasi perubahan perilaku dalam percepatan pencegahan tengkes di Indonesia. Namun tampaknya pedoman tersebut terlalu menyimplifikasi masalah sehingga luput memahami aspek-aspek sosiologis dan tantangan kebudayaan yang bisa menjadi batu sandungan, sekaligus sebenarnya bisa menjadi kunci dalam proses intervensi komunikasi untuk perubahan perilaku di masyarakat.
Strategi komunikasi perubahan perilaku dalam percepatan penanganan tengkes semestinya menggunakan prinsip komunikasi pembangunan. Pertama, dimulai dari komunikasi kebijakan yang difokuskan kepada membuat aturan dan strategi nasional yang dapat dipahami oleh segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penanganan tengkes.
Pemerintah telah menunjuk kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai ketua pelaksana program percepatan penurunan tengkes. Hal ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Di satu sisi ini menunjukkan pemerintah ingin menangani tengkes pada lokus utamanya, yakni keluarga, tetapi pada sisi lain dengan karakter persoalan tengkes yang kompleks akan menyebabkan hambatan-hambatan komunikasi dan koordinasi lebih banyak terjadi.
Kompleksitas penanganan tengkes yang memerlukan perencanaan, komunikasi, dan strategi kebijakan pada level yang lebih makro.
Tantangannya adalah kepada kemampuan kepala BKKBN mendialogkan urgensi dan kepentingan penanganan tengkes kepada berbagai pemangku kepentingan terkait, baik lintas kementerian apalagi pemerintah daerah. Terutama ketika, strategi penanganan tengkes sekarang yang semua pihak ingin terlibat. Padahal, kompleksitas yang terjadi dalam penanganan tengkes bukan hanya urusan bagi-bagi biskuit atau telur di lapangan, melainkan menyangkut strategi besar dalam model pembangunan nasional.
Misalnya saya mencontohkan satu hal saja. Pembangunan jalan, yang sejatinya digunakan untuk mempermudah distribusi pangan ke pedalaman, justru membuka akses bagi pengerukan sumber daya alam yang lebih besar keluar dari daerah, diiringi dengan masuknya produk-produk kemasan nirgizi yang mengubah pola konsumsi masyarakat perdesaan dan menjadi faktor pendorong terjadinya tengkes serta berbagai penyakit terkait kekurangan nutrisi pangan (Dwiartama, 2023).
Hal ini menunjukkan kompleksitas penanganan tengkes yang memerlukan perencanaan, komunikasi, dan strategi kebijakan pada level yang lebih makro. Sehingga menurut hemat saya, level pemangku koordinator percepatan penurunan tengkes harus lebih di atas kepala BKKBN.
Kedua, komunikasi perubahan perilaku dalam penanganan tengkes adalah bagian dari komunikasi pendidikan non formal. Kunci dari komunikasi pendidikan nonformal dalam penanganan tengkes adalah apa yang disebut sebagai penyadaran atau conscientization, bukan awareness semata yang ditujukan kepada segenap keluarga inti. Jadi, bukan hanya ditujukan kepada ibu, melainkan juga kepada bapak dan keluarga lain terdekat yang perlu dilibatkan.
Komunikasi penyadaran dilakukan dalam metode yang aktif, dialogis, dan menggugah sikap kritis. Dengan demikian, kesadaran yang diharapkan terbentuk dari masyarakat adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis menafsirkan masalah dengan prinsip sebab akibat dan sekaligus terbuka terhadap pembaharuan.
Proses komunikasi pendidikan seperti ini penting dalam penanganan tengkes agar keberlajutan program dan kemandirian warga terwujud berbasis kepada kesadaran mereka sendiri. Kita mendengar beberapa informasi lapangan misalnya, bahwa biskuit untuk bayi penderita tengkes yang dibagi-bagikan oleh pemerintah kepada keluarga penderita tengkes justru pada beberapa kasus lebih banyak dimakan oleh ayah si anak. Ini contoh perlunya penyadaran kritis.
Baca juga: Telur dan Susu untuk Tengkes, Bukan Biskuit
Konteks komunikasi penyadaran kritis ini pada akhirnya diharapkan membentuk kesadaran bersama, misalnya perlunya kita mengoptimalkan ragam strategi pangan, terutama pangan lokal yang telah hidup dalam keseharian masyarakat. Beberapa studi menunjukkan dalam kondisi yang mendukung, masyarakat telah lama memiliki strategi pemenuhan kebutuhan pangan secara lokal.
Di pedalaman Papua dan berbagai belahan Indonesia timur lainnya, masyarakat memiliki kebiasaan berburu di hutan dan di laut untuk mendapatkkan sumber protein yang berkualitas. Di Sumatera, misalnya, sejak dahulu masyarakat pergi ke sawah sambil bekerja dan sekaligus pada sore hari berburu ikan atau belut di sawah yang memiliki gizi tinggi.
Dengan demikian, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu untuk membuka jalan bagi praktik-praktik baik penggunaan pangan lokal ini. Cara-cara pembangunan yang mengurangi ruang pangan harus dihentikan.
Terakhir, seperti yang ditulis oleh Manuel Castell, bahwa komunikasi adalah kekuatan. Komunikasi dalam era masyarakat jaringan seperti sekarang memiliki kuasa dan kekuatan untuk mempengaruhi individu dan melakukan perubahan sosial. Konteks ini harus digunakan dengan baik oleh pemangku kepentingan untuk melakukan penyadaran bersama terhadap keberadaan tengkes dan metode efektif untuk menanganinya secara berkelanjutan.
Castell mengenalkan konsep mass self communication sebagai bentuk baru komunikasi di era internet atau masyarakat jaringan. Proses komunikasi yang interaktif dimungkinkan terjadi dengan kapasitas pengiriman pesan sebanyak-banyaknya, terus-menerus, dan bahkan point to point sesuai dengan tujuan komunikasi yang diinginkan.
Baca juga: Cegah Tengkes Sebelum Genting
Strategi komunikasi ini harus ikut dilakukan dengan semangat keterbukaan untuk mengatasi dan mencegah tengkes. Agenda-agenda perubahan pola konsumsi pangan masyarakat akan jauh lebih mudah tercapai melalui proses komunikasi yang menyadarkan. Sekarang angka prevalensi tengkes kita masih di atas Sri Lanka, padahal secara perekonomian kita jauh lebih besar dan bertumbuh daripada Sri Lanka. Namun, Sri Lanka memiliki kesadaran konsumsi pangan yang lebih beragam, sedangkan masyarakat kita masih bertumpu pada konsumsi karbohidrat.
Resep penurunan tengkes secara teori sebenarnya sudah ada di dunia. Indonesia juga sudah memiliki perlengkapan dan kapasitas untuk mengatasi ini semua, terutama setelah Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dikeluarkan. Sekarang diperlukan beberapa perbaikan strategi dan memastikan implementasi kerja berjalan dengan baik di lapangan.
Rafnel Azhari, Dosen Universitas Andalas Padang; Mahasiswa Program Doktor Komunikasi Pembangunan IPB University