Perilaku Manusia Menentukan Tingkat Kecelakaan Kerja
Penentu keselamatan kerja, tak hanya tersedianya perangkat kerja (peralatan dan perlengkapan keselamatan kerja) dan perangkat lunak (aturan dan tatacara keselamatan kerja), tapi juga sikap dan perilaku para karyawan.
Tahun 2023 baru memasuki bulan keempat, namun kita sudah membaca berita setidaknya terjadinya 10 kecelakaan kerja. Tak jarang, kecelakaan kerja tersebut menimbulkan korban jiwa. Di Riau, yang kegiatan industrinya cukup aktif misalnya, terjadi kecelakaan kerja yang menimbulkan korban jiwa.
Korban misalnya, menjadi efek dari ledakan pipa sumur minyak. Padahal, dia merupakan bagian dari sebuah perusahaan ternama yang saya yakin telah memiliki tatacara kerja untuk menghindari insiden kecelakaan yang telah tersosialisasi dengan baik.
Lalu mengapa insiden tetap terjadi? Menurut Sue dan Thomas Cox (1991), faktor penentu keselamatan kerja ternyata tak hanya tersedianya perangkat kerja (peralatan dan perlengkapan keselamatan kerja) dan perangkat lunak (aturan dan tatacara keselamatan kerja), tapi juga sikap dan perilaku para karyawannya.
Menurut Hans Berends (1995), sikap dan perilaku tersebut dipengaruhi norma yang berlaku. Norma tak hanya menentukan seberapa responsif dan proaktif seseorang dalam menjaga keselamatan kerja, tapi juga menentukan dua hal lainnya. Yang pertama adalah, interaksi sesama individu, yaitu bagaimana setiap individu saling berkomunikasi (saling memberikan informasi dan saling mengingatkan), dan saling mendukung satu sama lain dalam menjaga keselamatan kerja.
Hal kedua adalah organisasi (perusahaan), utamanya perancangan lingkungan kerja yang meminimalkan terjadinya kecelakaan kerja dan dalam bentuk tatacara untuk menghadapi persoalan dan tantangan praktis yang dapat membahayakan keselamatan kerja.
Menurut Berends, norma tak bisa lepas dari kepercayaan (belief) yang dianut individu terkait keselamatan kerja. Mengacu pada Edgar Schein (2016), norma dan kepercayaan merupakan komponen utama dari budaya organisasi, dalam hal ini budaya keselamatan kerja.
Salah satu konsep budaya keselamatan kerja yang dikenal berasal dari Scott Geller (1994), yaitu apa yang disebut sebagai Total Safety Culture (TSC). TSC menekankan pada rasa bertanggung jawab setiap karyawan atas terciptanya keselamatan kerja dan selalu memperjuangkannya setiap hari, bahkan bila perlu di luar lingkup tanggung jawab pekerjaannya. Adanya rasa tanggung jawab tadi membuat setiap individu akan selalu waspada atas ancaman keselamatan kerja yang ada di lingkungan kerjanya.
Dia akan selalu meneliti dan memeriksa segala hal yang bisa membahayakan keselamatan kerja perusahaan, bukan hanya keselamatan kerjanya sendiri. Tentu saja, ia melakukan hal tersebut tanpa mengabaikan tugas dan tanggung jawab kerjanya. Namun justru ketika bekerja ia selalu memperhatikan semua hal yang terkait, tak hanya semua hal yang berada di lingkup kerjanya.
Dengan demikian, bila dinilai berpotensi membahayakan keselamatan kerja seluruh karyawan, ia berinisiatif untuk mengatasi atau melaporkannya kepada yang berwenang. Selain itu, TSC juga menekankan pentingnya umpan balik, utamanya sebagai respon dari laporan dan tindak lanjut atas potensi ancaman keselamatan kerja.
Dengan umpan balik, akan tercipta interaksi berkelanjutan untuk terus memperbaiki keselamatan kerja dan menekan potensi terjadinya kecelakaan kerja. Interaksi menjadikan TSC sebuah kebiasaan (habit) para individu untuk menjaga dan meningkatkan keselamatan kerja. Kebiasaan ini akan membentuk pola perilaku yang akhirnya akan menjadi norma dan kepercayaan individu. Jadi TSC dapat mendorong pembentukan budaya keselamatan kerja dari bawah ke atas, yaitu dari kebiasaan sehari-hari menjadi sebuah budaya. Kebiasaan tersebut akan dibawa individu ke segala situasi kerja yang dihadapi.
Geller menekankan pentingnya budaya keselamatan kerja dengan menjadikannya sebagai prinsip pertama dari 10 prinsip TSC. Prinsip kedua adalah sikap dan perilaku yang merupakan pengejawantahan dari budaya. Geller ingin menunjukkan budaya tak ada gunanya bila sikap dan perilaku individunya tak sejalan. Seharusnya keselarasan ini tak masalah mengingat budaya dibangun secara bawah ke atas (bottom up) dari kebiasaan kerja individu sehari-hari. Namun, perusahaan tetap harus menjaga kesinambungan keselarasan tadi dengan memastikan bahwa budaya keselamatan kerja diterjemahkan ke dalam panduan sikap dan perilaku individu yang berorientasi pada keselamatan kerja.
Prinsip ketiga adalah, fokus pada proses, bukan hasil, karena proses yang baik akan mendatangkan hasil yang baik. Sue dan Thomas Cox menyebut proses sebagai perangkat lunak yang tak akan berjalan dengan baik dan benar bila sikap dan perilaku manusianya tak baik dan benar. Sebaliknya, sikap dan perilaku baik dan benar yang telah terbentuk, lama kelamaan akan menyimpang bila tak dikawal oleh perangkat lunak yang baik dan benar. Jadi, keduanya saling terkait.
Yang menarik adalah prinsip keempat, yaitu perilaku yang dipicu oleh aktivator dan dimotivasi oleh konsekuensi. Prinsip ini diadopsi dari ABC (Activator-Behavior-Consequence) model yang merupakan model dasar perilaku: seseorang akan berperilaku tertentu bila dipicu oleh situasi tertentu.
Umpamanya, saat kita melihat pohon besar di tepi jalan yang berpotensi tumbang ketika terkena angin kencang, maka perilaku kita akan muncul sebagai respon dan reaksi atas situasi tersebut, yang tentunya bisa bersifat positif atau negatif, bergantung pada budaya keselamatan kerja yang dianut dan bergantung pada harapan konsekuensi yang akan diterima. Bila budayanya telah tertanam kuat, maka kita akan mengambil preventif, misalnya, menghubungi pihak yang berwenang.
Namun budaya yang kuat lama kelamaan bisa goyah bila kita tak menerima konsekuensi yang positif. Umpamanya, ketika kita menghubungi pihak yang berwenang, tak ada yang menanggapi aduan kita atau bahkan memperoleh respon negatif. Konsekuensi negatif yang kita terima secara terus menerus, membuat kita jadi tak peduli saat kita melihat situasi yang berpotensi membahayakan keselamatan. Jadi, konsekuensi masa lalu dapat menjadi salah satu aktivator perilaku kita di masa mendatang.
Budaya yang kuat lama kelamaan bisa goyah bila kita tak menerima konsekuensi yang positif.
Prinsip kelima yang tak kalah menariknya adalah, fokus pada keberhasilan, bukan pada menghindari kegagalan. Prinsip ini menekankan pentingnya keselamatan sebagai sebuah pencapaian ketimbang sebagai sebuah penghindaran atas kecelakaan kerja. Dengan prinsip ini, Geller mengkritik banyak perusahaan yang menggunakan indikator keselamatan kerja umpamanya saja: indikator “Zero Accident”. Sebaiknya indikator ini diubah menjadi “100 Percent Safety”, misalnya, yang lebih bernada positif.
Prinsip keenam dan ketujuh terkait umpan balik yang sempat dibahas di atas. Yang kita lihat dan alami selama ini, kita akan berbuat baik dan benar saat kita tahu kita akan memperoleh umpan balik dari perbuatan kita. Dengan umpan balik yang kita terima, kita tahu bahwa perbuatan kita ada yang mengamati dan memperhatikan.
Menurut Geller, perilaku yang bergantung pada umpan balik yang bersifat reaktif tadi, tak akan berkelanjutan. Namun perilaku taat dan tertib akan lebih berkesinambungan bila umpan balik diberikan melalui pendampingan (coaching) karena melalui pendampingan individu tak hanya akan dikoreksi perilakunya tapi diberikan pemahaman mengapa perilakunya salah dan seperti apa perilakunya yang benar itu.
Perilaku taat dan tertib akan lebih berkesinambungan bila umpan balik diberikan melalui pendampingan.
Model pemberian umpan balik macam ini akan semakin memperkokoh keyakinan individu akan pentingnya budaya keselamatan kerja dan mendorong siklus positif dari ABC model. Pentingnya coaching juga merupakan inti dari prinsip kedelapan dimana pendampingan merupakan kunci kepedulian aktif perusahaan terhadap keselamatan kerja. Kepedulian ini dapat digetoktularkan kepada seluruh pegawai perusahaan.
Dua prinsip terakhir terkait dengan begitu bernilainya sebuah perilaku yang mendukung keselamatan kerja. Prinsip kesembilan menekankan pada pengakuan atas nilai (value) perilaku individu yang berorientasi pada keselamatan kerja dan pentingnya perilaku tersebut diberdayakan sebagai bentuk kepedulian aktif perusahaan. Perilaku dimaksud perlu mendapatkan apresiasi, tak hanya dari perusahaan tapi juga dari atasan, bawahan dan rekan-rekan kerjanya karena perilaku tersebut dapat menyelamatkan pekerjaan, perusahaan bahkan nyawa mereka. Apresiasi yang demikian akan membuat yang bersangkutan merasa diakui eksistensinya, dan bahkan akan merasa lebih bernilai lagi eksistensinya jika kemudian perilaku tersebut diberdayakan oleh perusahaan.
Ada kebanggaan tersendiri bagi individu tersebut, yang menjadi konsekuensi positif sangat bernilai, lebih dari sekedar konsekuensi finansial. Kebanggaan yang disematkan sekaligus merupakan umpan balik dan aktivator positif yang dapat ditanamkan melalui pendampingan.
Kebanggaan ini perlu terus dibangun dan digaungkan agar keselamatan kerja tak sekedar menjadi prioritas tapi juga menjadi nilai yang dianut oleh para karyawannya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya perusahaan. Ini adalah inti dari prinsip kesepuluh dari TSC. Kesepuluh prinsip TSC yang dilaksanakan dengan rasa penuh tanggung jawab niscaya akan mendatangkan lingkungan kerja yang “100 Percent Safety”.
Budi W Soetjipto adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Wakil Rektor Universitas Pertamina, dan Dewan Pembina Indonesia Strategic Management Society.
Email: bsoetjipto@gmail.com