Kegagalan dan Keberhasilan ”Food Estate”
Sejak zaman Orde Baru hingga sekarang program food estate banyak diwarnai kegagalan. Bagaimana memahami persoalan ini secara lebih komprehensif ? Pembelajaran penting apa yang bisa dipetik dari program kasus food estate?

Ilustrasi
Program food estate yang dicanangkan pemerintah selama ini dinilai gagal oleh sebagian pihak.
Mengingat program food estate ini secara esensi sebenarnya sudah dilaksanakan sejak masa Soeharto, maka menarik untuk ditelisik, mengapa program ini hingga era Presiden Joko Widodo ini masih gagal. Tulisan ini mengambil pengembangan food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai contoh kasus untuk pembelajaran (lesson learnt).
Kebetulan penulis beberapa kali mengunjungi wilayah proyek ini pada masa pengembangan sejuta hektar dulu sehingga melihat langsung kondisi alamnya. Dalam konteks pengembangan food estate di era Jokowi, penulis juga sempat ikut dalam diskusi-diskusi yang cukup intens di awal rencana pembuatan demplot di wilayah tersebut (A2, Dadahup).
Baca Juga:
Lima modal
Teori livelihood assets atau modal yang dikemukakan oleh Frank Ellis (2000) dapat membantu kita memahami persoalan ini secara lebih jelas.
Ia mengemukakan ada lima modal penting untuk mengembangkan livelihood: modal alam (natural capital), modal fisik (physical capital), modal finansial (financial capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital).
Untuk sebuah usaha tani, apalagi yang konvensional seperti pada food estate di Kalteng ini, modal alam memegang peranan yang mahapenting. Ia merupakan necessary condition bagi sebuah usaha tani. Modal alam ini mencakup kesuburan tanah, ketersediaan dan kualitas air, iklim/cuaca, juga kualitas bibit yang ditanam (termasuk kesesuaian jenis padi dengan karakter ekologinya).
Kegagalan proyek sejuta hektar di Kalteng yang dilaksanakan pada masa Soeharto, terutama terletak pada buruknya kualitas modal alam dan modal fisik yang sangat terkait dengan modal alam itu, yaitu infrastruktur pengelolaan air. Lahannya tak subur dan mengandung pirit, airnya asam dan tak bisa diatur sebagaimana mestinya (sistem tata kelola air buruk).
Sayangnya, kualitas modal alam (dan modal fisik di wilayah tertentu) belum banyak berubah saat program food estate dilaksanakan di masa Jokowi. Di wilayah Dadahup, misalnya, karena infrastruktur pengairan (modal fisik) yang belum memadai, tata air menjadi buruk: gerakan air tak lancar, airnya tetap asam, kadang banjir dan kadang sebaliknya kekeringan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F29%2F991ac55e-5d39-463d-b381-74279e1d2c0c_jpg.jpg)
Tanaman singkong di food estate Desa Tewai Baru, Gunung Mas, yang dikelola Kementerian Pertahanan terlihat kurus dan tak terawat, padahal sudah berumur lebih dari satu tahun, Minggu (24/7/2022).
Akibatnya, produktivitas padi menjadi rendah, kurang dari 2,5 ton/hektar. Produktivitas rendah ini menyebabkan banyak petani akhirnya beralih menjadi pekerja di kebun sawit, yang kebetulan letaknya tak jauh dari Dadahup. Maka, ketersediaan tenaga kerja (modal manusia) menjadi bermasalah di wilayah Dadahup ini. Produktivitas yang tinggi merupakan kunci penting bagi keberhasilan dan keberlanjutan usaha tani.
Untuk kasus food estate di Kalteng, sebenarnya tak seluruh wilayah mengalami kegagalan seperti di Dadahup. Ada wilayah yang kondisinya sudah jauh lebih baik, misalnya Desa Belanti Siam di Kabupaten Pulang Pisau dan Bataguh di Kabupaten Kapuas. Di kedua desa ini tata airnya sudah cukup bagus sehingga petani bisa menanam padi dua kali setahun dengan produktivitas rata-rata 4,0-5,5 ton/hektar.
Bahkan, ada beberapa petani di Desa Belanti yang produktivitas lahannya 6-7 ton/hektar. Ini menunjukkan modal fisik sangat memengaruhi keberhasilan usaha tani di food estate.
Seperti disebut di atas, modal fisik paling dasar pada food estate di Kalteng terutama menyangkut sistem pengelolaan air, baik tata air makro maupun mikro. Dengan sistem tata kelola air yang baik, air yang asam bisa dikeluarkan, sebaliknya air pasang dari sungai (tawar) bisa dimasukkan ke dalam petak sawah. Untuk bisa mengendalikan air ini sesuai kebutuhan, baik kuantitas maupun kualitasnya, diperlukan modal fisik yang baik, termasuk kanal dengan pintu-pintu airnya.
Tentu saja modal fisik lainnya seperti traktor tangan dan alat-alat pertanian lainnya sangat penting, tetapi ini diperlukan manakala prasyarat dasar tadi sudah dipenuhi.
Mengingat ini program pemerintah, maka kebutuhan finansial, termasuk untuk pengadaan bibit, pupuk, dan obat-obatan, mestinya mendapat dukungan yang baik dari pemerintah.
Dari sisi modal finansial, mestinya para petani yang ikut program lumbung panganini tak mengalami kendala yang besar. Mengingat ini program pemerintah, kebutuhan finansial, termasuk untuk pengadaan bibit, pupuk, dan obat-obatan, mestinya mendapat dukungan yang baik dari pemerintah.
Sementara itu, faktor yang juga amat krusial dalam sistem pertanian, yaitu modal manusia, juga tak menjadi masalah yang berarti. Para pelaku usaha tani dalam program lumbung pangan ini benar-benar para petani yang sudah berpengalaman. Mereka bukan orang-orang yang baru belajar bertani, melainkan yang sudah punya pengetahuan dan keahlian bertan.
Modal kelima, modal sosial. Biasanya modal ini dilihat dari tiga komponen, jaringan, norma, dan kepercayaan. Di kalangan petani, ini tak ada masalah. Mereka mudah mengembangkan modal sosial di dalam satu komunitas atau kelompok mereka (bonding social capital) atau dengan petani lain (bridging social capital) sehingga tak pernah defisit modal sosial.
Para petani itu sudah sangat biasa membangun kerja sama manakala diperlukan, seperti dalam proses pengelolaan air, penanaman, penanganan hama, pemanenan, dan sebagainya.
Para petani di lumbung pangan tentunya juga memiliki linking social capital yang baik, karena mereka berinteraksi sangat intens dengan berbagai pihak luar, terutama pemerintah dan BUMN, baik pemasok sarana produksi pertanian (saprotan) maupun pembeli padi (ada BUMN yang sudah ditugaskan sebagai offtaker).

Tanaman jagung selesai panen di lokasi food estate, Desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, pada Minggu (18/9/2022). Presiden Joko Widodo melakukan tanam perdana di lahan itu pada Maret 2022 lalu.
Pembelajaran penting
Beberapa pembelajaran dapat diambil dari kasus food estate di Kalteng. Pertama, tingkat keberhasilan usaha tani di kawasan lumbung pangan tak seragam dan lebih dipengaruhi oleh modal alam dan modal fisik.
Oleh sebab itu, ke depan, untuk memastikan program lumbung pangan berhasil, kedua jenis modal ini mutlak harus memenuhi syarat lebih dahulu. Ini prasyarat dasar (necessary condition) bagi sebuah usaha tani.
Jika kedua syarat ini telah terpenuhi, modal manusia, yaitu petaninya, juga mutlak memenuhi standar. Petaninya mesti punya pengetahuan dan keterampilan bertani yang baik. Selanjutnya, modal sosial juga sangat penting, termasuk aturan tentang akses dan kontrol atas lahan dan hasilnya.
Dengan belajar dari beberapa kasus food estate yang telah dikembangkan selama ini, mestinya ke depan tak akan jatuh pada kesalahan yang sama, yang menyebabkan program food estate selama ini banyak diwarnai oleh cerita kegagalan.
(Rilus A Kinseng, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB, Bogor)

Rilus A Kinseng