Harta yang diperoleh dari praktik pencucian uang selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah sebagai pensucian terhadap segala praktik haram yang telah dilarang agama.
Oleh
MAKSUN
·4 menit baca
Sudah menjadi semacam konvensi, di setiap bulan Ramadan umat Islam diserukan membayar zakat (fitrah dan mal) yang diperuntukkan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menariknya, seruan itu kini berbarengan dengan dugaan kuat transaksi pencucian uang (money laundering) jumbo di Kementerian Keuangan sebesar Rp 349 triliun. Jumlah yang sangat fantastis, hampir sama dengan potensi zakat di Indonesia yang kini menembus angka hampir Rp 400 triliun.
Secara normatif-teologis, Islam memang mewajibkan kepada kalangan yang mampu (aghniya-muzakki) untuk peduli dan membantu sesamanya yang kekurangan (fuqara-mustahiq) melalui kosep zakat. Ini sekaligus menunjukkan keseriusan doktrin Islam terhadap upaya penciptaan keadilan sosial melalui ritual zakat. Secara aktual, keadilan sosial (social justice) dapat diwujudkan dengan menciptakan tatanan sosial yang bebas dari praktik haram, seperti korupsi (termasuk pencucian uang) dan jauh dari penyakit kemiskinan.
Pada prinsipnya, Islam tidak sekadar mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah secara vertikal (hablun minallah), tetapi juga sekaligus beribadah secara horizontal (hablun minannas). Semua bentuk ritual dalam Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, memiliki dimensi individual dan dimensi sosial.
Karena itulah, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk mementingkan dirinya sendiri menuju ke jalan rohani Tuhan, tetapi menginginkan pengikutnya menuju jalan sosial-kemanusiaan sebagaimana tecermin dalam ajaran zakat.
Ironisnya, makna zakat yang sarat nuansa sosialnya itu acapkali disalahmanfaatkan oleh sebagian umat Islam sehingga kehilangan makna substansialnya.
Pertama, zakat yang bermakna pensucian harta (tazkiyat al-mal) sering kali disalahartikan secara sepihak oleh orang-orang yang bergelimang harta dan para pejabat negara. Oleh mereka, zakat sekadar dijadikan sebagai cara untuk menyucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil pencucian uang dan praktik haram lainnya.
Karena itulah, zakat kehilangan makna substansialnya untuk menyucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Harta yang diperoleh dari praktik pencucian uang atau korupsi dianggap suci dan halal setelah dibayarkan zakatnya kepada kaum fakir miskin. Inilah wujud dari pemahaman yang formalistik, lahiriah, dan tidak mengambil makna terdalam dari hakikat agama.
Zakat sekadar dijadikan sebagai cara untuk menyucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil pencucian uang dan praktik haram lainnya.
Padahal, harta yang diperoleh dari praktik pencucian uang selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah sebagai pensucian terhadap segala praktik haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan pencucian uang mendapatkan laknat dari Tuhan dan tidak mendapatkan keberkahan dalam hartanya.
Kedua, perbuatan pencucian uang sesungguhnya telah mengingkari makna ajaran zakat yang secara sosial bertujuan menciptakan keadilan sosial. Bukankah harta yang dikorupsi dengan cara pencucian uang adalah uang rakyat, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir miskin dan mereka yang perlu mendapat perlindungan ekonomi?
Di manakah letak kepedulian sosialnya jika ia mengorupsi harta orang banyak demi memperkaya diri sendiri. Karena itulah, korupsi (pencucian uang) adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Dalam konteks ini, tindak pidana pencucian uang (money laundering) berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang haram.
Apa pun alasannya jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, atau bahkan diberikan kepada rakyat miskin, maka tidak secara otomatis menjadi suci. Inilah yang mestinya kita sadari bersama bahwa makna ibadah zakat harus benar-benar dapat mensucikan harta dan menciptakan keadilan sosial. Zakat bukanlah media cuci dosa dari segala praktik haram.
Zakat dan kemiskinan
Menurut para ulama, yang menjadi sasaran atau penerima utama zakat adalah fakir miskin (mustadh’afin). Zakat itu, ”diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang yang papa di antara mereka” (QS. 9:60).
Dalam perspektif ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan yang kaya kepada golongan yang tidak berpunya. Pengalihan kekayaan berarti pengalihan sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis. Misalnya, seseorang yang menerima zakat itu bisa mempergunakannya untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif dan atau produktif.
Dari sinilah kemudian timbul pemikiran, bahwa zakat—meskipun pada prinsipnya merupakan ibadah kepada Allah—bisa mempunyai arti ekonomi. Dengan menggunakan pendekatan ekonomi, zakat bisa berkembang menjadi konsep mu’amalah (kemasyarakatan), yaitu konsep tentang cara manusia harus melaksanakan kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bentuk ekonomi.
Pesan moral kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat, sebenarnya hendak melatih diri kita untuk to be sensitive to the reality.
Jika dicermati, sejatinya dengan berzakat kita dididik untuk mengembangkan sense of aware terhadap derita rakyat miskin, yang kemudian melahirkan sikap empatik dan simpatik untuk membantu mereka, terlebih setelah pandemi Covid-19 membuat rakyat miskin kian menderita.
Jika diilustrasikan lebih lanjut, zakat ibarat the have, sementara rakyat miskin laksana the needy. Filsafat sosialnya menjadi afirmatif: the have harus memiliki ethical obligation kepada the needy. Dengan kata lain, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si-kaya kepada si-miskin. Zakat, dengan demikian dapat menyentuh, menyadarkan, sekaligus menumbuhkan semangat dan kewajiban moral-etik-kemanusiaan kita kepada rakyat miskin.
Pesan moral kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat sebenarnya hendak melatih diri kita untuk to be sensitive to the reality, yakni menjadi lebih peka (sense of aware) dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita, terlebih pada masa pandemi. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan, yang selama ini dialami kaum tertindas, baik secara ekonomis maupun politis, dengan demikian mendapatkan referensi, justifikasi, dan legitimasi dari ritual zakat.
Oleh karena itu, laku ritual zakat haruslah dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alusi kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutik sosial dalam konstruk pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata.
Ini berarti setiap bentuk ritual dalam Islam (baca: zakat) mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan kembali api dan semangat fitrah, tidak saja dalam kesadaran subyektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah.
Dari sinilah, diharapkan zakat mampu menemukan makna-makna emansipatorisnya sebagai praksis pembebasan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Wallahualamm.