Peningkatan Kapasitas Regulator Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
Kapasitas pengaturan dan pengawasan inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) perlu ditingkatkan dengan terobosan baru agar regulator juga bisa berperan sebagai fasilitator dan bahkan akselerator ITSK.

Ilustrasi
Kemajuan pesat inovasi teknologi sektor keuangan akan mendukung pertumbuhan sektor tersebut dan inklusinya. Proses transformasi digital sektor keuangan pun menjadi keniscayaan. Selain teknologi finansial atau tekfin, bank digital juga bermunculan.
Beberapa tahun ke depan, konsep ”bank digital” akan menjadi arus utama. Sebagian besar bank akan menggunakan teknologi digital serupa. Demikian pula industri keuangan lain, seperti pasar modal, asuransi, dan lembaga pembiayaan. Semua tentu memanfaatkan teknologi digital.
Pasal 216 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mendefinisikan cakupan inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) dengan luas. ITSK meliputi sistem pembayaran, penyelesaian transaksi surat berharga, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, pengelolaan risiko, penghimpunan dan/atau penyaluran dana, pendukung pasar, aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto; dan aktivitas jasa keuangan digital lainnya.
Definisi ITSK yang luas serta progresivitas para pelaku ITSK menimbulkan tantangan dari sisi pengaturan dan pengawasan.
Poin terakhir merupakan ayat sapu jagat karena sepanjang masih ”berbau digital” akan masuk ruang lingkup pengaturan dan pengawasan ITSK. Definisi ITSK yang luas serta progresivitas para pelaku ITSK menimbulkan tantangan dari sisi pengaturan dan pengawasan.
Salah satunya adalah bagaimana regulator ITSK, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), dapat meningkatkan kapasitas mengimbangi pertumbuhan industri ITSK. Hal ini terkait jumlah pelaku industri dan kecepatan inovasi.

Dengan ratusan tekfin, bank, dan institusi jasa keuangan lain yang harus diatur, bayangkan banyaknya perizinan dan intensitas proses pengawasan ITSK yang harus dilakukan OJK dan BI. Jika berpaku pada proses yang digunakan sekarang dan hanya mengandalkan sumber daya internal yang kini tersedia, jelas tak cukup.
Perizinan yang lambat dan kurang jelas perjanjian tingkat layanannya (service-level agreement) merupakan salah satu keluhan utama pelaku industri ITSK. Di sisi lain, pengawasan yang kurang optimal akibat keterbatasan sumber daya internal regulator akan berbahaya bagi kelangsungan industri serta keamanan konsumen.
Oleh karena itu, diperlukan terobosan untuk mengatasinya. Berikut beberapa hal yang bisa dipertimbangkan regulator ITSK untuk meningkatkan skalabilitas sehingga dapat melayani pelaku industri dan melindungi konsumen dengan baik.
Pengawasan yang kurang optimal akibat keterbatasan sumber daya internal regulator akan berbahaya bagi kelangsungan industri serta keamanan konsumen.
Ubah pendekatan
Pertama, pendekatan regulasi diubah secara fundamental dari pendekatan pengaturan yang kaku dan mendetail (rule-based approach) menjadi pendekatan berbasis prinsip (principle-based approach). Karena ITSK terkait hal-hal baru yang cepat berubah, peraturan yang dikeluarkan seyogianya berupa koridor yang cukup lebar, tetapi aman untuk menjadi panduan pelaku industri.
Contohnya, hal yang perlu diatur oleh regulator adalah prinsip mengedepankan keamanan sistem, sedangkan penggunaan teknologi keamanan tertentu tidak perlu diatur. Selain itu, regulasi digital (digitally native regulation) harus diwujudkan dalam bentuk pembuatan peraturan dengan pemahaman dan konteks teknologi digital, bukan sekadar digitalisasi peraturan konvensional yang ada.

Kedua, sejalan poin pertama, kemitraan dengan organisasi yang melaksanakan kewenangan penerapan aturan ( self regulatory organization/SRO) diperlukan untuk menerapkan pendekatan berbasis prinsip. Peran OJK dan BI seharusnya di tataran makroprudensial. Hal bersifat mikroteknikal diserahkan ke SRO yang relevan. Dengan demikian, regulator dapat bereaksi lebih cepat sesuai perkembangan pasar dan teknologi.
Contoh yang bagus adalah pengaturan penetapan tarif pinjaman antarpihak (pricing P2P lending) oleh OJK. OJK hanya memberi koridor bahwa tarif harus wajar dan tak memberatkan konsumen. Namun, besaran maksimum bunga dan biaya yang bisa diterapkan ditentukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) selaku SRO.
Dengan pendelegasian semacam itu, OJK dan BI lebih berperan strategis tanpa terbebani hal teknis yang cepat berubah. Selain itu, kemitraan dengan SRO dapat menghindarkan regulator dari peran ganda sebagai pelaku industri.
Kemitraan dengan SRO dapat menghindarkan regulator dari peran ganda sebagai pelaku industri.
Ketiga, perlu dilakukan outsourcing dan sertifikasi untuk mengatasi keterbatasan sumber daya internal regulator. OJK dan BI dibantu SRO yang relevan dapat menunjuk beberapa perusahaan atau lembaga sertifikasi guna membantu perizinan dan pengawasan.
Misalnya, perusahaan dengan sertifikasi ISO 27001 dari sisi keamanan teknologi informasi lewat perusahaan/lembaga yang ditunjuk regulator atau SRO tidak perlu lagi dicek seketat sebelumnya oleh tim internal regulator itu. Bersama SRO dan perusahaan/lembaga sertifikasi, regulator dapat membangun modul-modul sertifikasi lain terkait ITSK.
Dengan pendekatan ini, sumber daya internal regulator tak akan menjadi bottleneck lagi. Mekanisme sertifikasi juga meningkatkan standar kualitas perusahaan yang bergerak di bidang ITSK.

Gading, bukan nama sebenarnya, mengambil foto KTP untuk keperluan administrasi pinjaman daring di Pinang, Tangerang, Banten, Rabu (18/8/2021).
Keempat, diperlukan penerapan regtech (regulatory technology) dan suptech (supervisory technology). Mengatur sesuatu yang kental dengan teknologi tanpa menggunakan teknologi jelas tak efektif dan efisien. Penggunaan regtech dan suptech dalam ITSK tidak dapat dihindari dan harus segera dilakukan.
Misalnya, regulasi terkait limit dan pricing sebaiknya diotomatisasi dengan regtech. Maka, setiap kali ada perubahan, regulator atau SRO hanya perlu mengubah parameter di sistem regtech yang otomatis dibaca dan diikuti oleh sistem pelaku industri ITSK.
Mengatur sesuatu yang kental dengan teknologi tanpa menggunakan teknologi jelas tak efektif dan efisien. Penggunaan regtech dan suptech dalam ITSK tidak dapat dihindari dan harus segera dilakukan.
Pengawasan pun sudah waktunya menggunakan suptech. Pelaporan pelaku industri harus dilakukan otomatis dan terkonsolidasi sehingga situasi industri dan trennya terbaca oleh regulator dengan komprehensif dan tepat waktu.
Misalnya, pengawasan antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme juga harus dilakukan dengan modul pemantau yang ditanam (embedded modul) di sistem institusi keuangan yang diawasi, tak sekadar membuat laporan rutin dengan parameter standar. Hal-hal itu jelas tidak bisa dilakukan manual.
Baca juga : Pentingnya "Regtech" dan "Suptech" di Sektor Keuangan
ITSK berpotensi besar memperkuat sektor keuangan, tetapi membawa risiko yang harus dimitigasi. Regulator perlu mencari keseimbangan optimal antara progresivitas pengaturan dan manajemen risiko ITSK. Kapasitas pengaturan dan pengawasan ITSK harus ditingkatkan dengan terobosan baru agar regulator juga bisa berperan sebagai fasilitator dan bahkan akselerator ITSK.