Pemerintah dan Konflik Rumah Ibadah
Konflik pendirian rumah ibadah bermuara dari dua hal. Pertama, regulasi belum dipenuhi pengusul. Apakah sudah sesuai ketentuan dalam PBM ? Kedua, kecenderungan umat beragama berlomba-lomba memperbanyak tempat ibadah.
Artikel Husni Mubarok, ” Memediasi Konflik Rumah Ibadah” (Kompas, 11/4/2023), menarik dicermati.
Substansi kritiknya kepada pemerintah dalam penyelesaian konflik pendirian rumah ibadah dapat dipahami meski kurang obyektif dan berat sebelah. Ia menggeneralisasi akar masalah semua konflik rumah ibadah seolah sama, pemerintah pasti salah dan gagal menanganinya. Padahal, tidak sedikit kisah sukses penuntasan konflik dengan baik meski membutuhkan waktu lama.
Urusan rumah ibadah bukan lah konflik biasa, melainkan kompleks. Pemerintah selalu andil dalam mengakhiri persoalan rumah ibadah di banyak tempat. Pembangunan GKI Yasmin, Bogor, selesai setelah 15 tahun menjadi masalah. GBI Tlogosari, Semarang, tuntas setelah 22 tahun berpolemik.
Aktor yang terlibat konflik tidak tunggal. Umat beragama dan masyarakat, umat serta tokoh agama pengusul berdirinya tempat ibadah, memiliki saham. Bisa jadi, pemerintah juga punya kontribusi. Namun, pemerintah bukan bagian dari konflik itu. Pemerintah sejatinya berperan sebagai fasilitator dan problem solver . Mungkin ada tindakan pemerintah yang dinilai bermasalah, tetapi kerangkanya selalu berupaya menyelesaikan permasalahan.
Urusan rumah ibadah bukan lah konflik biasa, melainkan kompleks. Pemerintah selalu andil dalam mengakhiri persoalan rumah ibadah di banyak tempat.
Tindakan penyegelan tempat ibadah yang belum berizin mungkin dianggap kurang tepat, tetapi memindahkan atau mencarikan tempat baru untuk beribadah di kantor-kantor pemerintah yang tersedia juga merupakan solusi. Pemerintah berusaha berdiri netral antara yang pro dan yang kontra. Menjaga keseimbangan kepentingan umat beragama inilah yang berat dan hanya bisa dirasakan ketika terlibat langsung dalam penyelesaian kasus.
Mubarok juga mengkritik jalur mediasi dalam penanganan kasus. Pemerintah dinilai tidak netral, tak kompeten, dan sok tahu dalam memediasi. Bahkan, pemerintah dianggap menutup-nutupi setiap kasus pendirian rumah ibadah. Ini tuduhan tidak berdasar. Di era sekarang, mana bisa kasus seperti itu dipendam di bawah kolong?
Semua konflik pendirian tempat ibadah bersifat terbuka dan akan tersingkap pada waktunya. Tak mungkin pemerintah mengondisikan suasana seolah baik-baik saja, padahal sebaliknya, apalagi menyangkut hak beribadah. Yang mungkin terjadi adalah kesadaran para pihak untuk menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan, informal dan tanpa kegaduhan.
Mereka menahan diri tidak memviralkan kasus. Penegakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tak mungkin dilaksanakan secara kaku. Harus ada terobosan tertentu yang memungkinkan persoalan selesai dan tak menimbulkan luka bagi yang kalah.
Komitmen pemerintah
Pemerintah —khususnya Kementerian Agama— sadar dan tidak menolak hasil-hasil riset yang menunjukkan masih adanya persoalan dalam pendirian rumah ibadah.
Data Setara Institute, Komnas HAM, atau lembaga riset lain tentang sengkarut pendirian rumah ibadah merupakan data penting dan pembanding bagi pemerintah. Publik perlu komprehensif dan obyektif dalam melihat persoalan.
Upaya serius Kemenag untuk menangani masalah ini tak main-main. Kemenag memiliki satuan kerja khusus setingkat eselon II (Pusat Kerukunan Umat Beragama) yang memiliki jaringan kerja dari pusat hingga kecamatan. Seluruh jajaran di semua level wajib berperan jadi mata dan telinga pemerintah. Melakukan deteksi dini potensi konflik pendirian rumah ibadah dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait.
Terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan cara lain agar penyelesaian konflik pendirian rumah ibadah berbasis kesadaran umat beragama dan majelis agama sendiri. Tak ada niat pemerintah sok tahu dalam upaya menyelesaikan persoalan ini. Bahkan, sebenarnya, pemerintah lebih nyaman tak ikut cawe-cawe dalam hal ini.
Idealnya, umat beragama dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, menyangkut tempat yang digunakan untuk ibadah. Modus memviralkan konflik rumah ibadah untuk menarik perhatian atau membuat kegaduhan rasanya kurang sehat. Celakanya, rumah ibadah yang diperjuangkan belum tentu memenuhi ketentuan yang ada.
Modus memviralkan konflik rumah ibadah untuk menarik perhatian atau membuat kegaduhan rasanya kurang sehat.
Dewasa beragama
Dalam setiap kasus pendirian rumah ibadah, jarang ada LSM atau kampus yang mau terjun dan mengajukan diri sebagai mediator untuk mendamaikan dan menemukan solusi yang saling menguntungkan.
Persoalan pendirian rumah ibadah cukup kompleks dan menguras emosi umat. Proses penyelesaiannya membutuhkan takaran dosis yang tepat dan akurat. Segudang referensi belum tentu bisa diterapkan. Menyelesaikan konflik rumah ibadah tidak cukup dengan teori mediasi. Harus muncul kesadaran dan kedewasaan dari umat beragama sendiri.
Konflik pendirian rumah ibadah bermuara dari dua hal. Pertama, regulasi belum dipenuhi pengusul. Dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ditentukan, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis bangunan gedung dan persyaratan khusus.
Jika ini tidak dipenuhi, dipastikan menjadi masalah. Apakah ini salah pemerintah atau aturannya yang salah?
Setahu saya, tidak ada negara di dunia ini yang membebaskan warganya untuk mendirikan rumah ibadah tanpa aturan. Kebebasan mendirikan rumah ibadah harus tunduk pada aturan. Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) didasarkan pada Pasal 29 UUD 1945.
Soal kebebasan mendirikan rumah ibadah, belum ada undang-undang organik yang menjelaskan dan memerinci konstitusi ini. PBM ini satu-satunya regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah. Jika PBM dicabut, akan ada kekosongan hukum. Saya tak bisa membayangkan konsekuensinya jika umat beragama berlomba-lomba mendirikan rumah ibadah tanpa aturan.
Baca juga :Memediasi Konflik Rumah Ibadah
Kedua, ada kecenderungan umat beragama berlomba-lomba memperbanyak pendirian tempat ibadah tanpa memerhatikan kebutuhan nyata umat. Bahkan, muncul pula keinginan agar satu tokoh agama memiliki satu rumah ibadah sendiri dan tak mau berbagi dengan tokoh agama lain meski dalam satu agama yang sama. Saya kira ini bakal menjadi tumpukan persoalan yang sulit dipecahkan.
Dalam hal ini, perlu kedewasaan umat dan tokoh agama untuk membangun atau tak membangun rumah ibadah. Kebutuhan nyata umat harus jadi pertimbangan utama. Beberapa persoalan yang masih mengganjal dalam proses penyelesaian konflik pendirian rumah ibadah tidak boleh mengganggu kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Abu Rokhmad Musaki Staf Ahli Menteri Agama Bidang Hukum dan HAM