Efek Domino Ganjar Pranowo
Pencapresan Ganjar oleh Ketum PDI-P memiliki efek domino pada komunikasi politik lintas kekuatan. Namun, seberapa besar peluang mewujudkan koalisi partai yang dipertautkan dengan diksi keberlanjutan dapat terbangun?
Di puncak momentum perayaan Lebaran, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membuat kejutan. Megawati Soekarnoputri, selaku Ketua Umum PDI-P sekaligus pemilik hak prerogatif, pada Jumat (21/4/2023) mengumumkan secara resmi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden untuk Pemilu 2024.
Pencapresan Ganjar oleh PDI-P telah menempatkan kembali sosok Megawati sebagai pengubah permainan (game changer) dan diprediksi akan memiliki efek domino pada peta koalisi di fase akhir kandidasi.
Dari perspektif komunikasi politik, pencapresan Ganjar oleh Megawati menarik dan patut diapresiasi. Konteks pengumuman memiliki dimensi wow effect! Tidak banyak yang menyangka Megawati akan mengumumkan capresnya bertepatan dengan momentum hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah.
Baca juga : Jejak Langkah Politik Ganjar Pranowo
Resonansi pencapresan
Keterkejutan publik berdampak pada perhatian khalayak. Pencapresan ini beresonansi menjadi perbincangan di berbagai linimasa media sosial dan bingkai pemberitaan media arus utama.
Dalam konteks inilah berlaku pakem lama seperti ditulis Maxwell E McCombs, Setting The Agenda: The Mass Media and Public Opinion (2013), bahwa saat media memeringkat isu, maka isu tersebut berpotensi di-ranking sebagai isu penting oleh khalayak. Terlebih jika isu yang diagendakan media tersebut memiliki relevansi kuat dengan agenda publik yang berkembang.
Keterkejutan bukan tanpa alasan. Banyak pihak masih berasumsi urusan internal pencapresan PDI-P belum tuntas karena masih adanya rivalitas aktual antara sosok Ganjar dan Puan Maharani. Semula banyak yang memprediksi pengumuman capres PDI-P akan di pengujung waktu jelang pengusungan resmi ke KPU, mengingat PDI-P sudah memiliki tiket melampaui ambang batas pencapresan (presidential threshold).
Dinamika internal Puan dan Ganjar sesungguhnya harus diletakkan dalam konteks manajemen konflik internal PDI-P. Bisa jadi memang ada rivalitas untuk dapat tiket capres, tapi masih bisa dikendalikan secara internal melalui batasan afiliatif (affiliative constraints) yang berporos pada sosok Megawati.
Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya, The Signs of Cognitive, Affiliative and Egocentric Constraints (1998), batasan afiliatif berarti bahwa anggota organisasi lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak oleh tokoh utamanya. Salah satu kekhasan politik PDI-P adalah fenomena group think yang menempatkan Megawati sebagai sosok sentral menentukan.
Bahwa ada tes ombak untuk menguji siapa yang lebih populer, diterima, dan berpotensi dipilih dibiarkan berlangsung, tetapi di saat bersamaan Megawati tetap menunjukkan sikap bisa menerima keduanya sebagai capres prospektif PDI-P. Tak mudah mendapatkan restu Megawati sebagai satu-satunya pemilik hak prerogatif pencapresan di PDI-P.
Jadi, rivalitas Puan dan Ganjar beberapa waktu lalu harus dibaca sebagai bagian dari skenario manajemen isu dan manajemen konflik PDI-P itu sendiri. Tujuannya, tentu ke dalam dan keluar. Ke dalam untuk melihat soliditas kader mereka dalam barisan perjuangan partai. Ke luar untuk melihat reaksi publik atas sosok dan dinamika isu yang dikembangkan PDI-P. Hal ini tentu menjadi publisitas politik menarik untuk PDI-P karena bisa memalingkan perhatian media dan perbincangan publik pada isu PDI-P selama berbulan-bulan.
Meskipun politik itu kerap kali acak, sesungguhnya terdapat pola yang bisa dibaca. Pun demikian dalam membaca pola pencapresan yang dilakukan Megawati di PDI-P. Dua pemilu terakhir menjadi preseden bahwa Megawati sesungguhnya tidak pernah terlalu dini dan juga tidak pernah terlalu terlambat dalam mengumumkan capresnya.
Dua pemilu terakhir menjadi preseden bahwa Megawati sesungguhnya tidak pernah terlalu dini dan juga tidak pernah terlalu terlambat dalam mengumumkan capresnya.
Jelang Pemilu 2019, Megawati mengumumkan Joko Widodo sebagai capres PDI-P saat momentum Rakernas III di Bali, pada Jumat, 23 Februari 2018. Pun demikian, saat jelang Pemilu 2014, Megawati mengumumkan Joko Widodo sebagai capres pada Jumat, 14 Maret 2013. Jadi kebetulan atau tidak, tiga pemilu berturut-turut (2014, 2019, 2024), Megawati mengumumkan capresnya selalu di hari Jumat dan dilakukan di rentang antara Maret dan April.
Tindakan simbolik
Hal lain yang juga berpola dalam pencapresan di PDI-P adalah tindakan simbolik yang menjadi pesan politik. Ada dua hal menonjol dalam proses interaksi simbolik pencapresan oleh Megawati, yakni momentum historis dan diksi peneguh. Pencapresan Ganjar memanfaatkan momentum 21 April, yang ditetapkan sebagai Hari Kartini. Secara historis, Hari Kartini mulai ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden RI No 108/1964, pada 2 Mei 1964. Keputusan itu bersamaan dengan ditetapkannya Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan RI.
Dengan memakai momentum Hari Kartini, pesan politik yang ingin ditonjolkan adalah kehadiran sosok dan kiprah Soekarno dalam keputusan penting Megawati yang akan memengaruhi dinamika bangsa saat ini dan ke depan. Soekarno adalah kekuatan rujukan (referent power) bagi Megawati dan PDI-P sekaligus memasukkan pesan kuat emansipasi yang merujuk pada kiprah dan perjuangan RA Kartini.
Dengan demikian, pencapresan tak semata ingin dilihat dalam dimensi instrumentalnya sebagai waktu mengumumkan, tetapi juga dalam dimensi substansinya, yakni nilai perjuangan dan ideologis.
Pesan politik lain yang ditonjolkan adalah diksi peneguh. Salah satu potongan kalimat Megawati saat pencapresan Ganjar patut digarisbawahi. ”Pada jam 13.45 WIB dengan mengucap bismillah, menetapkan Ganjar Pranowo sebagai kader dan petugas partai, ditingkatkan tugasnya sebagai calon presiden.”
Jadi, diksi kader dan petugas partai lebih didahulukan sebagai peneguh dari diksi calon presiden. Pesan politik ini jelas bahwa pencapresan dalam tradisi PDI-P dilandasi dengan ikatan fungsional si capres sebagai kader sekaligus petugas partai! Diksi peneguh sejenis ini juga disampaikan berulang-ulang saat Megawati memutuskan PDI-P mengusung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019.
Apa yang dipraktikkan Megawati ini bisa kita maknai sebagai praktik interaksi simbolik. Herbert Blumer dalam bukunya, Symbolic Interactionism Perspective and Method (1986), interaksionisme simbolik sebagai proses interaksi dalam rangka membentuk arti atau makna bagi setiap individu. Interaksi sosial terjadi karena penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna. Tiga prinsip pokok yang dianggap penting oleh Blumer: makna (meaning), bahasa (language), dan pemikiran (thought).
Makna tidak inheren di dalam obyek, tetapi berkembang melalui proses interaksi sosial antarmanusia. Oleh karena itulah, makna dibentuk dan dimodifikasi melalui proses interpretatif yang dilakukan oleh manusia. Bahasa merupakan sumber makna yang berkembang secara luas melalui interaksi sosial antarmanusia sehingga bahasa disebut juga sebagai instrumen. Pemikiran berimplikasi pada interpretasi yang kita berikan terhadap simbol. Dasar dari pemikiran adalah proses mental mengonversi makna, nama, dan simbol.
Singkatnya, dalam pencapresan Ganjar di Hari Kartini, Megawati tampaknya sedang membangun interaksi sosial dari dimensi historis, dimensi saat ini, dan dimensi masa depan di tengah masyarakat. Bahasa tentang emansipasi menjadi basis keberpihakan isu, sementara bahasa tentang kader dan petugas partai menjadi basis perjuangan organisasi. Semua itu tentu bisa dibaca sebagai tindakan simbolik yang ingin menempatkan PDI-P sebagai partai kader dengan akar ideologis yang tegas.
Tentu publik juga akan memiliki cara pandangnya sendiri sehingga makna bisa saja tidak dipahami linear. Satu tindakan simbolik bisa dimaknai secara berbeda, karena kerap memunculkan makna yang bersifat polisemi atau bahkan terdistorsi oleh tindakan simbolik lain yang bertentangan.
Pencapresan Ganjar memiliki efek domino pada komunikasi politik lintas kekuatan. Peluang untuk mewujudkan koalisi besar yang dipertautkan dengan diksi keberlanjutan semakin membesar.
Dinamika koalisi
Pencapresan Ganjar memiliki efek domino pada komunikasi politik lintas kekuatan. Peluang untuk mewujudkan koalisi besar yang dipertautkan dengan diksi keberlanjutan semakin membesar. Di sisi lain akan menyisakan koalisi perubahan yang dimotori Partai Demokrat, PKS, dan Nasdem. Dengan demikian, Pilpres 2024 berpotensi menghadirkan dua poros utama, perubahan vs keberlanjutan.
Pencapresan Ganjar kini sudah pasti memiliki basis dukungan setara 128 kursi PDI-P di DPR, sementara syarat ambang batas pencapresan hanya butuh 115 kursi. Dengan demikian, Ganjar sudah bisa maju meski hanya didukung PDI-P. Namun, melaju sendirian tentu sangat berisiko karena melewati fase kandidasi belum menjamin bisa memenangi kontestasi. Oleh karena itu, kerja sama politik sudah pasti akan digalang PDI-P.
Jika mampu mengonsolidasikan Koalisi Indonesia Bersatu (PAN, Golkar, dan PPP) dengan 148 kursi dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra dan PKB) dengan 133 kursi, ditambah PDI-P 128 kursi, Ganjar secara matematis berpotensi didukung koalisi besar partai politik dengan representasi 409 kursi di DPR.
Namun, politik bukanlah matematika! Tentu membangun koalisi besar partai politik tak semudah membalikkan telapak tangan. Harus ada kesepahaman dan kesepakatan, terutama menyangkut tiga hal, yakni paket nama pasangan capres dan cawapres, skema keuntungan kekuasaan di masa mendatang (power sharing), dan mekanisme pembiayaan pemilu.
Di level negosiasi, koalisi besar mensyaratkan sosok-sosok utama yang saat ini digadang-gadang masih di proposal utamanya, yakni sebagai capres maupun cawapres, harus turun ke alternatif terbaik (the best alternative to negotiated agreement) yang bisa disepakati bersama. Misalnya, Prabowo bersedia menjadi calon wakil presiden dari Ganjar Pranowo atau sebaliknya.
Di saat bersamaan, ada sosok yang bisa membangun solidaritas dukungan agar para ketua umum partai politik di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) tidak bersikeras meminta posisi cawapres. Untuk memuluskan skenario Ganjar-Prabowo maupun Prabowo-Ganjar, akan sangat ditentukan oleh komunikasi politik tiga sosok utama: Megawati, Prabowo, dan Jokowi.
Jika titik temu untuk menyandingkan Ganjar dan Prabowo tidak ketemu, tiga poros koalisi masih sangat mungkin terjadi. Terlepas dari skema koalisi yang akan diinisiasi, penting menghadirkan asas pemilu yang kompetitif, bukan pemilu yang sekadar basa-basi.
Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik dan Dekan Fdikom UIN Syarif Hidayatullah, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute