Diplomasi Tempe
Rustono adalah sosok yang menggerakkan Diplomasi Tempe agar dunia mengenal Indonesia. Dengan tagline "Hadiah Indonesia untuk Dunia" pada produk tempe yang dibuatnya, Rustono bersiasat membangun persahabatan kelas dunia.
Bukan hanya buldoser dan perangkat keras yang bisa menjebol kebuntuan. Terkadang melalui kelembutan jalan kebudayaan, kerasnya benteng bernama kesombongan bisa mencair lumer. Gelembung keangkuhan yang mudah membesar jadi balon raksasa bisa mengempis pelan-pelan.
Pada momentum yang telah mencair itulah tercipta kehangatan. Sekat-sekat perbedaan yang sebelumnya tertutup rapat, lalu terbuka menciptakan celah-celah sehingga udara komunikasi bisa berseliweran bebas hambatan.
Dan sebuah percakapan —dialog bisnis, diplomasi dan kompromi politik, tukar pikiran ideologis—bisa gumregah laksana permainan pingpong yang memantulkan bola dialog secara bergantian, saling merespons, dinamis dan mengasyikkan. Terkadang penuh canda-tawa.
Inilah yang terbayang ketika bulan lalu, ”diplomasi sayur lodeh” menyertai percakapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang mempredikati Kepala Negara sebagai ”petugas partai”, selama tiga jam di Istana Negara.
Publik memang merasakan ada semacam ”ketegangan” yang menghinggapi dua tokoh bangsa ini. Apalagi, membaca tulisan Guntur Soekarno —abangnya Mbak Adis, nama panggilan Megawati semasa kecil— ”Rembugan Plus Sayur Lodeh” (Kompas, 30/3/2023), terkonfirmasi suasana hati ”yang agak gimana gitu”.
Sayur lodeh sebagai produk budaya kuliner Nusantara oleh Guntur digambarkan mengandung pesan simbolik untuk melunakkan hati sang ibu dan membangkitkan memorabilia, nostalgia, kenangan, kebanggaan, kehormatan, dan kedekatannya.
Baca juga : ”Rembugan” Plus Sayur Lodeh
Catatan ini tidak berminat ngrasani, bergunjing, apa dan bagaimana isi kompromi politik itu: siapa yang bakal diusung jadi capres dan cawapresnya dan sebangsanya. Tidak. Biarlah tugas kayak begitu diemban buzzer-buzzer di media sosial yang menerima upah bulanan. Di sini saya cuma ingin membagi cerita dan pengalaman. Betapa melalui jalan kebudayaan kerap tercipta ruang-ruang diplomasi yang ujung-ujungnya menghasilkan sesuatu yang spektakuler. Dan terkadang mengejutkan.
Menggembleng visi
Tahun 1952-1965, Bung Karno menyiapkan ”Misi Kesenian Indonesia” untuk menyokong diplomasi politik. Saat itu usia negeri ini baru tujuh tahun. Banyak negara di belahan dunia tak tahu apa-siapa-bagaimana negeri di khatulistiwa di kawasan Asia Tenggara ini. Mungkin mereka tahunya hanya Pulau Bali yang sejak zaman kolonial memang obyek kunjungan wisata dunia.
Tapi, siapakah Indonesia? Seperti apa, bagaimana, dan kenapa ratusan etnik di bekas jajahan kolonial Belanda ini berani mendeklarasikan kemajemukan etniknya dalam wadah kebangsaan bernama Indonesia? Negara-negara di luar sana ibaratnya masih rabun melihat negeri ini. Itu sebabnya, mereka harus dibikin melek agar bisa melihat Indonesia dengan jernih.
Dan, supaya diplomasi politik dan presentasi keindonesiaan ini menarik, Bung Karno menyertakan ”Misi Kesenian Indonesia” yang diperlakukan sebagai tamu negara. Manggung di tempat-tempat terhormat, dihadiri kepala negara setempat dan para tokoh penting tuan rumah, antara lain ke negara-negara Eropa Barat, Eropa Timur, kawasan Mediterania, Timur Tengah, negara-negara kawasan Asia, dan Amerika. Menghadirkan pesona kebudayaan Nusantara Indonesia yang penuh keragaman dan keunikan.
Di Pegangsaan Timur Jakarta, Bung Karno sendiri yang menggembleng visi kebangsaan seniman-seniman —penari, penyanyi, pemusik, koreografer, perupa, art director— dari berbagai wilayah Indonesia. Dipilih seniman-seniman terbaik dari berbagai daerah. Mereka diminta menguasai berbagai kesenian daerah yang beda etniknya.
Penari alusan Jawa menarikan tari Bali yang dinamis. Yang Minang wajib mempelajari tari Sunda, yang Makassar juga diharuskan bisa menghayati tari Jawa, begitu berulang-alik sampai mereka mampu merasakan keragaman dan perbedaan akar budaya sebagai kekuatan dan keunggulan.
Ini agaknya suatu siasat supaya para seniman tak terkurung dalam fanatisme kesenian lokalnya. Diam-diam mereka saling memengaruhi, saling bertegur, berinteraksi. saling menukik ke akar budaya yang berbeda-beda itu. Mereka belajar dan berproses menjadi Indonesia melalui kekuatan seni masing-masing.
Dan, supaya diplomasi politik dan presentasi keindonesiaan ini menarik, Bung Karno menyertakan ”Misi Kesenian Indonesia” yang diperlakukan sebagai tamu negara.
Dalam presentasi dan diplomasi politik ini, mereka menggambarkan Indonesia dan keindonesiaan tak hanya melalui pernyataan-pernyataan di forum persidangan formal. Atau, menghadirkan rentetan kata-kata bersifat naratif. Tapi, misi kesenian itu memberi sokongan dengan memeristiwakan keragaman budaya melalui anyaman pertunjukan seni yang menarik.
Decak kagum berhamburan. standing applause bergema. Sebuah kombinasi berdiplomasi yang cerdik. Target politik diperoleh, upaya promosi diraih. Akibatnya, orang-orang nun jauh di sono itu pun mengangguk, mengakui, dan menghormati negara anyar ini. Hubungan bilateral terbangun. Dan, para saudagarnya segera berpaling melihat Indonesia tidak dengan mata terpicing sehingga investor tergoda membuktikan gairah perdagangannya.
Mewujudkan mimpi
Jika Bung Karno menggerakkan diplomasi berbasis seni budaya dalam skala nasional, saya percaya masih banyak unit-unit kecil —organisasi atau perorangan— yang melakukan hal serupa. Berdiplomasi secara mandiri melalui kekuatan budaya di medan pertarungan internasional. Mereka digerakkan kesadaran berbangsa tanpa komando institusi yang berwenang mengurus hal ini.
Juga bukan sedang menunaikan proyek-proyek pemerintah. Baik itu diplomasi melalui jalur literasi, fashion, olahraga, seni musik, tari, kompetisi fisika, kesenian rakyat, maupun paduan suara. Salah satu yang pantas dikedepankan adalah Rustono, yang karena jagoan pembuat tempe di Jepang ia populer disebut ”Rustono Tempeh”. Dia berdomisili di Desa Kampu, Katsuragawa, Otsu, Provinsi Shiga, Jepang.
Sejak 1997, Rustono mengubah nasibnya dengan mendamparkan diri di Jepang, mewujudkan keinginan berperan bagi negerinya dengan caranya sendiri, yaitu membuat tempe.
Keinginannya sederhana. Tempe harus mendunia. Jika dunia mengenal tempe, dia berkeyakinan dunia akan mengenal Indonesia. Caranya? Inilah uniknya. Lelaki kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 1968, ini belajar di Akademi Perhotelan bukan mengejar jabatan yang mentereng, melainkan hanya ingin menjadi doorman saja.
Kenapa? ”Kalau saya jadi doorman yang kerjaannya di pintu lobby, saya akan kenal banyak tamu. Siapa tahu dari situ saya dapat jodoh, he-he-he.” Rustono berimajinasi, jika kelak mimpinya terwujud, ia akan hidup di negeri orang dengan membuat dan berjualan tempe. Maka, ketika dia tahu banyak turis Jepang bermalam di tempat kerjanya, Sahid Hotel Yogya, ia ikut kursus bahasa Jepang.
Targetnya, jualan simpati kepada tetamu perempuan-perempuan ”Negeri Matahari Terbit”. Siapa tahu ada gadis Jepang yang menyesatkan diri meminang dirinya jadi suami. Nyatanya dari sejumlah doorman di hotel itu hanya Rustono yang mahir berkomunikasi dengan bahasa Jepang. Mendadak dia jadi idola para tetamu. Pancingannya berhasil.
Kisahnya lalu seperti lakon komik yang penuh keajaiban. Bermodal (semangat membuat) tempe, pasangan Rustono- Tsruko Kuzumoto ini bertarung mengarungi hidup. Jatuh bangun. Mereka berdua pelan-pelan mengedukasi khalayak Jepang dari pintu ke pintu, mengenalkan fermentasi kedelai yang setelah direbus atau digoreng rasanya gurih itu. Sekaligus meyakinkan bahwa tempe itu makanan bergizi.
Jatuh bangun. Mereka berdua pelan-pelan mengedukasi khalayak Jepang dari pintu ke pintu, mengenalkan fermentasi kedelai yang setelah direbus atau digoreng rasanya gurih itu.
Apa yang dilakukan ini secara tidak langsung menepis pemeo salah kaprah yang dulu kerap dijadikan metafora pidato Bung Karno saat menggambarkan sesuatu yang rendah, dengan menyebut ”bangsa tempe” atau ”bermental tempe”. Seolah-olah tempe itu makanan kelas abal-abal, nirkhasiat.
Nyatanya kita tahu, hasil penelitian Profesor Darwin Karyadi, Institut Pertanian Bogor, membuktikan, tempe itu berpotensi menanggulangi diare, meningkatkan zat besi dan mengandung isoflavon, mencegah keropos tulang, cocok untuk kesehatan bayi di bawah 12 bulan, mengatasi sindrom menopause, menurunkan risiko jantung, dan bermanfaat bagi mereka yang kadar kolesterolnya tinggi.
Kedelai gelap
Dan terbuktilah ”Diplomasi Tempe” Rustono berhasil menembus selera lidah masyarakat Jepang, mejeng di supermarket, toko, kafe, melengkapi kebutuhan gizi di rumah sakit, kantin sekolah dan perhotelan —melalui produknya dengan merek ”Rusto’s Tempeh”.
Dengan tagline yang jika diindonesiakan artinya ”Hadiah Indonesia untuk Dunia”, tempe Rustono mempunyai posisi setara dengan menu-menu khas Jepang lainnya, bahkan ada sejumlah resto yang jualannya menu-menu berbasis tempe: Taco de tempeh al pastor, albondigas de tempeh, fried tempeh with guacamole, burger tempeh, dan lain-lain. Juga terbit buku resep masakan berbahan tempe berbahasa Jepang.
Rustono menerangkan, sekarang dengan dibantu enam pegawai, saban minggu Rustono memproduksi 2,4 ton atau 10.000 tempe. Diedarkan ke 200 kota di Jepang. Harga tempenya 350 yen sampai dengan 580 yen, setara Rp 40.250 dan Rp 66.700.
Hitung saja berapa penghasilannya sebulan! Tentu semuanya duit halal dan jumlahnya sangat fantastis dibanding ”kekayaan” oknum petugas pajak yang menyebabkan dia harus dikerangkeng kayak guguk piaraan kita. Setelah Jepang, kini franchise ”Rusto’s Tempeh” merambah ke Meksiko, Rusia, China, Korea, Austria, Polandia, Perancis, dan Lituania.
Kepada jejaring bisnisnya, Rustono mewajibkan kemasan tempenya harus mencantumkan semboyan berbahasa negara masing-masing yang bunyinya: ”Hadiah Indonesia bagi Dunia”.
Rustono salah satu contoh ”diplomat” yang menggunakan produk budaya-boga khas Jawa sebagai siasat membangun persahabatan kelas dunia. Dia berjuang sendirian tanpa dikomando. Tanpa harus seakan-akan menjadi orang penting yang disapa dengan julukan ”yang terhormat”. Saya yakin, masih banyak Rustono-Rustono lainnya di sekujur Indonesia, juga di belahan benua lainnya.
Sebaiknya, kita meneladani kegigihan dan kesederhanaan Rustono saja. Jangan lalu berlomba ikutan bikin tempe di Indonesia. Kalau ada sejuta orang di sini tiba-tiba pada bikin tempe, waspadalah: nanti mendadak DPR akan ketok palu impor kedelai. Bukankah kebutuhan kedelai acap sulit didapat, dan stok pangan ini kosong di gudang?
Biasanya sih jika hari ini diputuskan impor, besok pagi tiba-tiba kedelai impor sudah beredar di pasaran. Kedelai-kedelai gelap akan berlompatan dari gudang-gudang yang juga gelap. Jika sudah begitu, yang panen menimba cuan bukan perajin tempe, melainkan oknum-oknum ”yang terhormat” yang hobinya main mata dengan penyelundup dan importir-importir yang sembunyi di kegelapan Indonesia.
Butet Kartaredjasa Aktor