Selebrasi Wisuda Spiritual
Bagi masyarakat Muslim Indonesia, mudik Lebaran merupakan salah satu kearifan lokal bernilai luhur. Selebrasi spiritual yang memiliki makna vertikal dan bersifat horizontal sekaligus. Tradisi ini khas Islam Nusantara.
Seiring berakhirnya puasa Ramadhan, sebagian umat Islam menyambut datangnya hari raya Idul Fitri dengan penuh sukacita.
Masyarakat yang sedang berada di perantauan, dengan berbagai kondisi, telah atau bersiap-siap mudik. Ritual tahunan ini telah dianggap keramat, mendarah daging, dan turun-temurun bagi mayoritas masyarakat. Sebuah tradisi khas Nusantara yang senantiasa dihadirkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, sekaligus melakukan silaturahmi, menjaga spirit kebersamaan, persaudaraan (ngumpulke balung pisah), dan solidaritas sosial.
Bagi masyarakat Muslim Indonesia, mudik Lebaran merupakan salah satu kearifan lokal bernilai luhur (the great culture). Selebrasi spiritual yang memiliki makna vertikal (man ashlaha bainahu wa bainallah), dan bersifat horizontal sekaligus (man ashlaha bainahu wa bainannas).
Budaya ini mempunyai orientasi ibadah, membangun kepekaan, dan spirit kebersamaan, sekaligus membuktikan bahwa Islam Nusantara begitu kenyal, unik, dan partikular. Memiliki ekspresi keberagamaan yang berbeda dengan keberagamaan Islam mana pun.
Kenapa masyarakat Indonesia melanggengkan tradisi mudik? Berbagai macam rintangan, seperti ekonomi, kemacetan, kelelahan, dan ancaman Covid- 19, tidak begitu dihiraukan. Yang penting bisa pulang kampung, berkumpul bersama sanak keluarga, sungkem, dan meminta maaf dan doa restu kepada orangtua, keluarga, teman, dan masyarakat.
Bagi masyarakat Muslim Indonesia, mudik Lebaran merupakan salah satu kearifan lokal bernilai luhur ( the great culture).
Mudik, Idul Fitri, dan halalbihalal
Bagi masyarakat Indonesia, mudik menjelang perayaan Idul Fitri dan halalbihalal diyakini sebagai sebuah proses menuju takwa, simbol kemenangan, kesederhanaan, dan kesalihan. Karena itu, Andre Moller tertarik meneliti dan mendokumentasikan dalam buku Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual.
Idul Fitri, berasal dari kata Arab ’idun (kembali) dan al-fitrah (watak/dasar manusia), bisa diartikan sebagai momentum untuk mengembalikan fitrah manusia yang suka kebaikan dan kedamaian. Dalam konteks Indonesia, Idul Fitri sering disebut halalbihalal atau silaturahmi. Silaturahmi, dalam bahasa Arab, terderivasi dari shilatun, artinya ’menyambung’, dan al-rahimu berarti ’kasih sayang’.
Silaturahmi pada umumnya diterjemahkan sebagai tali persaudaraan. Proses menjalin silaturahmi bisa dilaksanakan antara lain melalui proses pulang ke kampung halaman atau mudik. Meskipun dengan kecanggihan teknologi sekarang, bisa dilakukan via daring melalui aplikasi Zoom, hal itu tetap dianggap kurang sempurna, kecuali pada kondisi darurat, seperti pada saat masifnya penyebaran virus korona.
Dalam perspektif teologis, halalbihalal sangat diperintahkan agama dan bernilai ibadah. Secara substantif, halalbihalal adalah wahana silaturahmi dan mampu merekatkan kembali hubungan sesama manusia.
Bahkan terdapat larangan keras memutus tali silaturahmi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bulughu al-Maram, yang artinya: ”tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim (muttafaqun ’alaih)”. Hasyim Asyari juga menulis kitab At-Tibyan Fi an-Nahyi ’an Muqathoatil Arhami wal Aqarib Wal Ikhwani, berisi larangan memutus tali silaturahmi persaudaraan, dan persatuan.
Menjalin silaturahmi mempunyai nilai penting dan strategis. Terutama setelah umat Islam berhasil menjalankan puasa dan tamat dari training spesial, at-Tarbiyah ar-Ruhiyyah, dan kawah candradimuka—dalam proses pendidikan, pengendalian hawa nafsu, serta penggemblengan mental dan fisik. Bagi seorang Muslim sejati, puasa dimaknai bukan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual di siang hari, melainkan berjihad mengalahkan hawa nafsu dan menuju predikat muttaqin.
Selain itu, puasa sebagai momen kristalisasi dan pendakian spiritualitas menuju puncak ahwal; berupa cinta kepada Allah serta merasakan manisnya ibadah dan ketaatan, sekaligus mengencangkan hubungan horizontal menjadi manusia berkarakter positif; dewasa, sabar, ikhlas, mengedepankan kasih sayang, dan peduli pada sesama.
Setelah puasa, sebagai realisasi syukur, masyarakat Muslim mengadakan berbagai bentuk perayaan wisuda spiritual—karena meyakini telah memperoleh kemenangan dan suci bersih bagaikan seorang bayi yang baru lahir.
Budaya mudik, silaturahmi, dan halalbihalal merupakan salah satu perwujudan pesta Lebaran. Budaya ini hakikatnya memiliki nilai-nilai pendidikan penting bagi masyarakat; menumbuhkan sikap legowo (menerima dan mengakui sekaligus memaafkan kesalahan orang lain), semangat kekeluargaan, dan cinta Tanah Air. Juga, sekaligus sebagai sarana muhasabah, kembali pada konsep sangkan paraning dumadi (filosofi Jawa).
Sebuah refleksi terdalam bahwa sejatinya setiap manusia harus mengingat dari mana dia berasal dan akan ke mana dia kembali.
Budaya mudik, silaturahmi, dan halalbihalal merupakan salah satu perwujudan pesta Lebaran.
Mudik bisa berfungi sebagai sarana introspeksi diri atas berbagai bentuk dosa yang pernah diperbuat dan bertobat kembali kepada jalan yang diridai Allah SWT, disertai janji dan penyesalan dalam hati, tidak akan mengulangi lagi.
Mudik juga bisa menjadi sarana agar senantiasa mengingat asal-usul manusia sebagai makhluk dhaif di hadapan Allah dan sebagai makhluk sosial yang butuh pertolongan orang lain. Kesadaran ini mampu menetralisasi sikap arogansi kepada Allah karena tidak mau beribadah dan arogan kepada sesama manusia. Senantiasa terikat dengan kebudayaan/nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, sekaligus menjadi sarana penghormatan kepada kampung halaman dan cinta negara.
Dalam perspektif psikologis, budaya mudik dan silaturahmi berdampak positif bagi siapa pun. Terutama dalam membangun kembali sebuah interaksi dan komunikasi yang harmonis serta memunculkan trust satu sama lain. Dalam sebuah organisasi, lembaga, atau kampus, misalnya, ini syarat mutlak, demi merealisasi cita-cita dan impian bersama agar semua anggota atau sivitas akademika bisa dengan mudah melakukan akselerasi, inovasi, dan kolaborasi untuk pengembangan yang diinginkan.
Dalam interaksi sosiologis, sebagai manusia pasti tak luput dari salah dan khilaf. Maka dibutuhkan sebuah proses peleburan atas semua dosa dan kesalahan (tampak atau tak tampak), sehingga memungkinkan saling memaafkan. Idul Fitri yang sering dimaknai sebagai lembaran putih membuat situasi batin bisa penuh keikhlasan dan rida atas kesalahan yang pernah diperbuat oleh siapa pun (the power of forgiveness). Kondisi ini tentu akan melahirkan situasi yang sehat dan membahagiakan.
Baca juga : Silaturahmi Lebaran, Generasi Muda Tetap Memperjuangkan Perjumpaan Fisik
Setelah melakukan shalat Idul Fitri, masyarakat Muslim biasanya mengadakan perayaan ”budaya balal”; budaya saling sowan kepada orang-orang tua/guru-guru atau seorang yang dihormati atau dituakan. Sebagai bentuk perwujudan cinta kasih, penghormatan, dan ketakziman kepada mereka (wa huwa bi sabqin haizun tafdhila, mustaijibun tsanaiya al-jamila).
Tradisi ini mempunyai artikulasi positif pada era kontemporer, yakni agar generasi muda bangsa tidak pernah meremehkan dan melupakan jasa para pemimpin, guru, dan sesepuh atas kesuksesan yang telah dicapai.
Tentu saja banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui apa yang sering disebut dengan mudik dan silaturahmi, selain mendatangkan rezeki, memanjangkan umur dan berkah, sebagaimana disebut dalam beberapa hadis rasul.
Silaturahmi bisa menjadi metode uswah hasanah yang efektif dalam perwujudan cinta kasih dan penghormatan antara yang muda kepada yang tua. Melalui momentum silaturahmi, memungkinkan saling sharing/komunikasi, saling mendoakan, dan saling memberi wasiat atas kesabaran dan ketakwaan.
Sarana transformasi diri
Momentum mudik dan halalbihalal dengan segala keterbatasan yang ada ternyata juga bisa mempererat rasa persaudaraan dan melepas kerinduan.
Acara ini menjadi ajang untuk saling bercerita, bahkan curhat personal, antara satu dan yang lain, baik menyangkut problematika psikologis maupun akademik. Diskursus pun terkadang diangkat untuk menambah ramainya suasana; baik menyangkut isu sosial, pendidikan, budaya, politik, dan maupun ekonomi.
Apa pun yang dibincangkan melalui tradisi mudik dan halalbihalal serasa akan menjadi menu lezat yang disajikan di hadapan semua orang. Kadang juga diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis soal kondisi turbulensi moralitas di masyarakat. Termasuk hilangnya berbagai etika, sebagaimana digambarkan Aristoteles, yaitu etika takut (ethics of fear), etika malu (ethics of shamed), dan etika kebijaksanaan (ethics of wisdom).
Terkikisnya beragam karakter itu bisa membawa pada pudarnya kohesi sosial dan mengerasnya eskalasi politik, terutama menjelang Pemilu 2024.
Syamsul Maarif Guru Besar, Dekan FPK UIN Walisongo, dan Pengasuh Pesantren Riset Al-Khawarizmi, Semarang