Swa Bhuwana Paksa
negeri yang membentang luas ini—tidak bisa tidak—membutuhkan ”Sayap Tanah Air” yang mumpuni, modern, dan tangguh. Swa Bhuwana Paksa.
Pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-77 TNI AU, 9 April 2023, Presiden Joko Widodo mengharapkan TNI AU mampu menjadi kekuatan militer yang modern dan tangguh (Kompas, 10/4/2023, halaman 2).
Pada awal dekade 1960-an, angkatan udara kita tercatat sebagai yang terkuat di Asia Tenggara, bahkan salah satu yang paling tangguh di belahan selatan bumi.
Saya berkesempatan menyaksikan sekilas kehebatan AU kita waktu itu. Saya melihat di Pangkalan Udara Kemayoran berjejer pesawat tempur MiG-15 dan MiG-17. Pengebom jet strategis Tu-16 terbang rendah menjelang mendarat di Kemayoran. Di sana pula, saya pertama kali melihat pesawat angkut berat C-130 Hercules (AURI termasuk yang pertama mengoperasikan, selain AS).
Helikopter raksasa Mi-6 pernah mendarat di lapangan Monumen Nasional, saat saya pulang sekolah. Pada peringatan hari ulang tahun ABRI di Parkir Timur Senayan, terbang lintas beragam pesawat termasuk MiG-21. Tampil pula peluru kendali SA-2 Guideline yang mampu merontokkan pesawat pengintai AS, U-2.
Kekuatan udara kita ketika itu selaras dengan keyakinan dan menguatnya bukti bahwa kekuatan udara punya peran strategis dalam perang modern. Hebatnya, peran AU itu sudah disadari para pendiri bangsa. UUD 1945 Pasal 10 menegaskan ”Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU”. Artinya sejak awal Republik, AU ditempatkan sebagai angkatan mandiri.
Amanah konstitusi itu dilaksanakan Bapak TNI AU Marsekal TNI Suryadarma (”Meneladani Bapak AURI yang Visioner”, Kompas, 9/4/2023, hal 2).
KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo menjelaskan berbagai pencapaian dan rencana demi membangun kekuatan dan mewujudkan TNI AU yang profesional, modern, dan tangguh (”Terbang Lebih Tinggi Lebih Jauh”, Kompas, 10/4/2023, hal. 6). Tajuk Rencana Kompas ”TNI AU Modern dan Tangguh” (11/4/2023) mengingatkan memang tidak mudah mencapai harapan tersebut.
Meski demikian, negeri yang membentang luas ini—tidak bisa tidak—membutuhkan ”Sayap Tanah Air” yang mumpuni, modern, tangguh. Swa Bhuwana Paksa.
Dirgahayu TNI Angkatan Udara.
Eduard LukmanJl Warga, RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Dosen Kita
Dalam artikel ”Prahara Sijali, Nestapa Dosen Indonesia” (Kompas, 12/4/2023), Ibu Eunike Sri Tyas Suci membahas kesulitan para dosen mengikuti Permenpan dan RB No 1/2023 tentang Jabatan Fungsional yang disebut jabatan akademik dosen (JAD).
Para dosen mengeluhkan penerapan aturan tiba-tiba itu. Mereka diwajibkan mengumpulkan berbagai dokumen dalam waktu singkat. Menurut Ibu Tyas, peraturan baru ini tidak masuk akal karena menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Ia mengusulkan supaya reformasi birokrasi pendidikan di Indonesia segera ditindaklanjuti.
Dunia pendidikan sekarang berhubungan erat dengan perkembangan teknologi. Teknologi tidak bisa dihindari mahasiswa dan dosen.
Selain menuntut kemudahan mengurus administrasi, alangkah baiknya para dosen juga belajar menggunakan teknologi. Usaha perguruan tinggi mengadakan pelbagai fasilitas teknologi perlu disambut baik para akademisi sehingga sistem perkuliahan makin baik dan materi kuliah dapat diakses mahasiswa.
Kenyataannya masih banyak dosen enggan belajar menggunakan platform portal akademik dan Interactive Digital Learning Environment (IDE) yang disediakan perguruan tinggi. IDE sangat bermanfaat untuk mengintensifkan proses pembelajaran karena mahasiswa dan dosen dapat saling berdiskusi seputar materi kuliah.
Semoga persoalan peraturan baru pemerintah bisa segera dicarikan jalan keluar dan semua dapat manfaatnya.
Dominikus WaruwuJl Sultan Agung, Bandung Wetan, Kota Bandung
Perguruan Tinggi di Indonesia
Kondisi perguruan tinggi di Indonesia hingga tahun 2021.
Sekitar tahun 1950 di Indonesia mulai bermunculan perguruan tinggi negeri. Pada mulanya, untuk mendaftarkan diri cukup dengan menunjukkan ijazah terakhir SMA, disertai surat keterangan dari kepala sekolah SMA yang bersangkutan.
Pada tahun 1953, jumlah calon mahasiswa meledak menjadi ribuan orang. Di Yogyakarta, pada tahun itu calon mahasiswa baru berbaris banyak dan panjang sekali. Penerima mahasiswa mulai dilakukan dengan melalui tes untuk beberapa fakultas. Misalnya untuk jurusan pasti alam, kedokteran, hukum, ekonomi, sosial politik, teknik, sastra, kehutanan, dan pertanian.
Selanjutnya di seluruh Indonesia dibentuk panitia ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), diikuti oleh ribuan orang, sementara tempat sangat terbatas.
Mula-mula ujian bisa berlangsung bersih, jujur, dan bergengsi. Lama-lama ada orangtua yang menitipkan anaknya, minta diluluskan. Ini tentu membuat panitia pusing tujuh keliling karena mengganggu rasa keadilan.
Keadaan seperti ini berlarut-larut dan berkembang jadi aneka perbuatan curang meski lebih banyak lagi yang jujur dan belajar sungguh-sungguh.
Kalau ada niat, insya Allah perguruan tinggi bisa diperbaiki agar semakin berkualitas. Demi kecerdasan bangsa.
Titi SupratignyoStonen, Bendan Ngisor, Gajah Mungkur, Semarang