Bentuk kedewasaan kita sebagai individu maupun masyarakat adalah sejauh mana kita berkomitmen untuk melindungi yang tidak sama. Yang penting, silaturahmi harus tetap terjaga dalam keragaman itu.
Oleh
AL MAKIN
·6 menit baca
Idul Fitri I Syawal 1444 H/2023 ini adalah momen silaturahmi yang tepat. Perbedaan perayaan antara tanggal 21 atau 22 tahun ini merupakan tanda kedewasaan masyarakat Muslim Indonesia untuk menghormati pilihan waktu beribadah yang berbeda. Ini bukan pertama kali dan tidak akan menjadi satu-satunya. Silaturahmi sudah berjalan di antara mereka dengan pilihan yang berbeda dan akan tetap berjalan sebagaimana biasa.
Dalam masyarakat, perbedaan sudah tidak lagi menjurus pada penajaman identitas (jati diri) kelompok, mazhab, organisasi dan jamaah. Perbedaan iman, etnis, dan pilihan politik harus betul-betul disadari. Ruang harus diberikan pada sejawat, saudara, teman, handai tolan, sahabat dan tetangga yang berbeda. Bentuk kedewasaan kita sebagai individu maupun masyarakat adalah sejauh mana kita berkomitmen untuk melindungi yang tidak sama. Yang penting, silaturahmi harus tetap terjaga dalam keragaman itu.
Indeks kerukunan
Setiap tahunnya diterbitkan indeks kerukunan umat beragama di Indonesia. International Consortium for Religious Studies (ICRS) yang merupakan program kerjasama antara Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Duta Wacana, misalnya, mengadakan riset dan seminar tentang itu.
Di Kementrian Agama, ukuran kerukunan umat beragama juga menjadi perhatian. Pada 2021, Mahmud Syaltut, tenaga ahli Kementrian tersebut, menampilkan indeks kerukunan dari penelitian lapangan dan pengamatan gerakan media. Hasilnya menunjukkan indeks kerukunan tergolong baik, yaitu dengan angka 72, 29 naik 4, 39 poin dari tahun sebelumnya.
Ini berita menggembirakan. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat kerukunan umat beragama memang meningkat. Merujuk pada perbedaan dalam perayaan hari raya, banyak pihak yang memprediksi bahwa perbedaan tidak akan menyebabkan tensi yang signifikan karena beberapa sebab. Pertama, Pemilu serentak masih jauh, sehingga pemanfaatan perbedaan untuk tujuan politik tertentu, sulit tercipta. Kedua, kedewasaan berfikir masyarakat terkait perbedaan antar iman dan perbedaan dalam agama yang sama cukup menggembirakan.
Dalam 10 tahun terakhir, tingkat kerukunan umat beragama meningkat.
Ada hal lain yang membuat kita optimis. Sepuluh tahun lalu, perayaan agama yang berbeda menimbulkan masalah dan perdebatan kusir. Misalnya muncul pertanyaan semacam ini: Apakah sah bagi umat Muslim mengucapkan Selamat Natal? Bahkan lebih vulgar lagi, beberapa penceramah di Youtube dan media sosial lain mengharamkan ucapan selamat pada perayaan agama lain. Tausiyah haramnya ucapan selamat ini memicu keresahan dan mengancam mereka yang memegang pandangan toleransi.
Lima tahun lalu para pengguna media sosial yang menunjukkan watak toleransi antar iman, terutama Facebook dan Twitter, merasa terancam karena celaan, tuduhan, dan dakwaan ucapan selamat itu. Rata-rata toleransi disembunyikan karena takut. Banyak para pengguna media sosial yang memilih diam dan mengucapkan selamat Natal, Paskah, Nyepi, Galungan, Kuningan, Waisak, dan tahun baru Imlek secara hati-hati atau secara pribadi saja sehingga media sosial didominasi oleh suara-suara intoleransi.
Namun, sekitar tiga tahun belakangan ini, tingkat toleransi menghembuskan angin sejuk. Ramadan tahun ini bersamaan dengan hari raya Nyepi bagi umat Hindu pada 22 Maret lalu. Media sosial pun diramaikan dengan ucapan dan empati bagi sahabat Hindu untuk melaksanakan Nyepi. Memang, tidak semua menunjukkan itu secara terbuka, tetapi yang menampakkan toleransi merasa aman dan tidak terancam.
Menteri Agama sendiri hadir dalam upacara Nyepi. Tahun lalu dalam upacara Waisak untuk umat Buddha tanggal 16 Mei 2022 juga dimeriahkan bersama dan dihadiri banyak pejabat: Bupati, Gubernur dan Menteri-Menteri. Pelaksanaannya juga hangat, umat yang berbeda iman bersama-sama bekerja menciptakan rasa aman.
Ramadan tahun ini juga bersamaan dengan Paskah, tepatnya tanggal 9 April. Perayaan Jumat Agung dan Sabtu Paskah mendapat perhatian dari pengguna media sosial. Ucapan selamat bertebaran dalam bentuk yang sederhana ataupun kartu digital yang dibagikan lewat WA Group maupun Instagram. Hujatan dan celaan bagi yang mengucapkan selamat Paskah nyaris tidak terdengar. Keamanan ruh toleransi ini bisa dirasakan dari tidak adanya ancaman bagi yang menyuarakan. Bahkan sebaliknya, suara intoleransi tidak berani lagi terang-terangan. Mereka harus tersembunyi dan tidak bernyali menampakkan diri secara vulgar.
Gerakan intoleransi ternyata bisa ditekan di negeri ini. Sejak secara resmi dilarangnya gerakan seperti HTI dan FPI kita jauh merasa lebih nyaman. Pelarangan HTI oleh Kementrian Hukum dan HAM tahun 2017, sedangkan FPI sejak tahun 2014 oleh MK. Sepertinya ini langkah simbolik, tapi dampak kemanaan bagi toleransi patut diapresiasi.
Sebelum dilarangnya organisasi semacam itu, gerakan sweeping setiap Ramadan cukup mengkawatirkan. Sweeping warung, hotel, dan bar, merupakan tanda bahwa negeri ini mengalami ketakutan bagi iman yang berbeda. Ibadah yang seharusnya menjadikan kita lebih bijak, tentram, dan terbuka justru berakibat sebaliknya. Fanatisme dalam identitas beribadah mengarah sebaliknya, yaitu wajah garang dengan pemaksaan dan penyeragaman. Kini, ideologi kebhinekaan dengan menghargai perbedaan antar iman dan saling menghargai paling tidak dalam ucapan selamat merayakan hari besar umat yang berbeda mendapatkan jaminan keamanan.
Pada Paskah tahun ini Paus Fransiskus di Vatikan berpesan dalam Urbi et Orbi seperti ini: “Let us hasten to pursue paths of peace and fraternity. Let us rejoice at the concrete signs of hope that reach us from so many countries, beginning with those that offer assistance and welcome to all fleeing from war and poverty.” (Mari segerakan untuk berjuang demi perdamaian dan saling asuh. Mari sambut dengan gembira pada hal-hal yang nyata seperti harapan dari berbagai negara, yang menawarkan bantuan dan menyambut pengungsi perang dan kemiskinan)
Pesan ini konsisten dengan apa yang diusahakan dan dilakukan oleh Paus selama ini. Pada tahun 2019 Paus dan pemimpin al-Azhar Ahmad Tayeb sudah menandatangani dokumen persaudaraan antar manusia (fratelli tutti). Dokumen itu berisi ajakan untuk mempererat persaudaraan antar manusia tanpa memandang bangsa, entis, budaya, dan iman. Ini juga sesuai dengan ruh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia. Persaudaraan antar manusia (ukhuwwah basyariah) adalah persaudaraan tertinggi melampui persaudaran sesama iman dan sesama anak bangsa. Pesan persaudaraan ini relevan dengan pesan silaturahmi dalam Idul Fitri Tahun ini.
UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 13 Februari yang lalu meneruskan pesan ini dengan memberikan penghargaan gelar Doktor honoris causa pada tiga pemimpin agama dunia: Kardinal Miguel Angel Ayuso sebagai prefek diskateri kerukunan antar iman di Vatikan, KH Yahya Cholil Staquf Ketua umum PBNU dan dr. Sudibyo Markus dari PP Muhammadiyah. Ketiga penerima itu menegaskan pesan kemanusiaan dan pentingnya menjalin kerjasama antar iman. Kardinal Ayuso sempat mengunjungi pesantren Pandanaran dan Mualimin Muhammadiyah di Yogyakarta. Pesan disampaikan lagi bahwa persaudaraan dan saling menghargai antar iman harus menjadi landasan kehidupan bersama.
Iman yang berbeda bukan berarti membatasi pergaulan dan menjadi penghalang kerjasama.
Penghargaan doctor honoris causa di UIN Sunan Kalijaga pada bulan Februari lalu sekaligus merayakan perbedaan iman itu. Iman yang berbeda bukan berarti membatasi pergaulan dan menjadi penghalang kerjasama. Justru sebaliknya, ketiga pemimpin agama dunia itu mengajarkan bersama-sama saling belajar adanya keragaman dari persoalan teologi, ibadah, dan tradisi. Cara beribadah yang berbeda justru membuat kita berwarna-warni dengan doa dan mantra yang dipanjatkan dengan cara yang tidak sama. Tempat ibadah yang berbeda justru membuat kita lebih bijak dan tempat ibadah kita lebih berseni. Contohnya adalah masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus di Jawa Tengah. Arsitektur dengan bata merah dan Menara yang sangat mencerminkan bentuk pura Hindu merupakan simbol toleransi dan saling mengakomodasi. Begitu juga masjid di Kota Gede di Yogyakarta peninggalan Mataram Islam, mungkin dimulai era Sultan Agung. Masjid kuno itu masih menyisakan gapura dan ukiran-ukiran yang sangat bernuansa Hindu lengkap dengan motif dwarapala dan makara. Perbedaan itu indah dan memperkaya kemanusiaan. Dengan berbedaan manusia menjadi lebih terbuka dan karyanya jauh lebih bernuansa. Bukti arsitektur adalah nyata.
(Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor:
DENTY PIAWAI NASTITIE
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.