Beramai-ramai Mudik ke Hulu, Bersenang-senang di Kampung Masa Lalu
Silaturahmi mengandung daya sihir, yang tidak bisa diuraikan secara akal sehat. Dia melekat di dalam tumpukan emosi paling purbawi dari manusia.
Pepatah Melayu, ”berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” tak berlaku dalam fenomena mudik. Pesan bahwa bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, berlawanan arah dengan tujuan para pemudik. Mereka sebagian besar justru bersakit-sakit ke hilir untuk bersenang-senang kemudian.
Hilir, pertama-tama adalah tujuan utama para perantau untuk mengadu peruntungan. Hilir identik dengan muara sungai, tempat di mana orang-orang keluar dari pedalaman (hulu), untuk bergabung ke dalam komunitas yang lebih besar, cair, dan heterogen bernama pasar.
Dengan demikian, hulu atau pedalaman adalah pangkal dari asal-muasal. Ia tidak identik dengan wilayah geografis, tetapi lebih bermakna demografis, di mana penduduk desa (wilayah rural) berasal. Sebagai wilayah asal, perdesaan biasanya sangat akrab dengan tradisi agraris. Orang-orang bercocok tanam, termasuk bertani di sawah, dan ketika panen tiba mereka ingin menukar komoditas tunggal dengan kebutuhan sandang. Para petani juga butuh pakaian, peralatan pertanian, biaya sekolah anak-anak, serta kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti alat transportasi, televisi, mungkin sekarang juga butuh handphone atau internet.
Dulu pertukaran di antara komoditas itu disebut barter, pertukaran barang dengan barang, seperti sayuran atau buah-buahan dengan beras atau garam. Jika kebutuhan terbatas pada komoditas sehari-hari seperti beras dan lauk-pauk, pertukaran bisa dilakukan antar-penduduk-desa dengan penduduk-desa lainnya. Tetapi ketika menyangkut kebutuhan sekunder, kaum petani ”terpaksa” harus menyusuri sungai sepanjang hari untuk memperoleh pakaian, terkadang juga minyak tanah untuk menghidupkan lampu atau kompor.
Mekanisme pertukaran ini perlahan-lahan kemudian berevolusi menjadi transaksional yang menggunakan alat penukar bernama uang. Bahkan, dalam proses transaksi itu mulai diperhitungkan komponen seperti ongkos produksi, biaya transportasi, buruh angkut, serta komponen-komponen lain, yang bermuara pada nilai jual sebuah barang. Setelah komponen itu rampung dihitung, para produsen, yang juga biasanya adalah penjual, mempertimbangkan keuntungan (laba). Maka, terjadilah apa yang kini kita kenal dengan perdagangan, di mana wilayah transaksinya disebut dengan pasar.
Ketika mekanisme pasar (dalam pengertian konvensional) ini tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya, karena beberapa faktor, pola kerjanya berubah total. Anak-anak para petani di pedalaman (hulu) yang telah bersekolah (modern) merasa bahwa kehidupan pertanian sama sekali tidak menjanjikan, maka mereka ”enggan” untuk pulang kampung. Faktor lainnya, yang memicu keengganan mewarisi kehidupan bertani, yakni tradisi pertanian sendiri yang semakin rusak. Ketergantungan para petani pada industri besar, seperti pupuk, pestisida, dan bibit, membuat banyak di antara mereka berutang. Itu belum lagi jika mempertimbangkan lilitan para tengkulak yang meminjamkan uangnya dengan bunga tinggi kepada petani. Bukan tidak mungkin tanah-tanah petani pun tergadai. Sudah lama bahkan banyak petani menanam padi di sawah-sawah ”imajinasi”, sawah yang bukan lagi milik mereka.
Oleh sebab itu, kehidupan sebagai petani tidak lagi menarik, ya karena terus merugi, berutang dan berutang lagi. Ketika orientasi bertani, tidak hanya demi kebutuhan sendiri, tetapi demi mendukung kebutuhan pendidikan dan peningkatan kehidupan yang lebih baik, maka berutang pun menjadi keniscayaan yang diwariskan. Banyak petani akhirnya kehilangan sawah atau kebun untuk mengongkosi anak-anaknya bersekolah di kota.
Sejak itu bertani terus-menerus berada pada mata rantai paling bawah dalam struktur ekonomi kehidupan masyarakat. Mulailah generasi di mana pilihan-pilihan profesi lain, seperti buruh lepas, buruh migran, pedagang keliling, pembantu rumah tangga, pekerja serabutan, atau pegawai rendahan, menjadi tujuan utama orang-orang desa. Semua pilihan profesi itu hanya bisa diakses di sebuah pasar besar bernama ”kota”.
Dalam ilmu sosiologi, kita kemudian mengenalnya dengan sebutan urbanisasi: orang desa yang berpindah menyerbu kota untuk mengadu nasib. Sering kali serbuan itu dianggap sebagai memindahkan masalah desa ke kota-kota. Di kota masalah itu bahkan menjadi lebih rumit karena pemerintah kota setempat harus menyiapkan infrastruktur, seperti rumah murah dan kebutuhan lainnya yang murah, agar migrasi penduduk itu tak merembet menjadi kerawanan sosial dan kriminal.
Dalam publikasi Katadata.co.id disebut bahwa wilayah Jabodetabek menempati urutan kedua di dunia sebagai wilayah urban dengan populasi penduduk sebesar 34,5 juta orang. Sementara wilayah Tokyo-Yokohama di Jepang menempati urutan pertama dengan populasi sebesar 38 juta penduduk. Celakanya, wilayah Jabodetabek menjadi wilayah terpadat di dunia dengan kepadatan 9.756 jiwa per kilometer persegi. Sementara Tokyo-Yokohama dipadati penduduk sebesar 4.614 jiwa per kilometer persegi.
Data Badan Pusat Statistik juga mendukung kenyataan ini. BPS memperkirakan 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan tahun 2020. Persentase itu diperkirakan meningkat tajam menjadi 66,6 persen pada tahun 2035. Bank Dunia bahkan memperkirakan 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan tahun 2045. Jumlah itu setara dengan 70 persen dari total populasi di Tanah Air.
Data statistik itu membuat kita lantas membayangkan bagaimana kerasnya ”ritual” mudik yang terjadi saban tahun, terutama saat-saat menjelang perayaan Idul Fitri. Tahun ini, Kementerian Perhubungan sudah memperkirakan 123 juta orang akan bergerak mudik dari kota-kota besar dalam wilayah Jabodetabek, termasuk kota-kota lain seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan kota-kota di Pulau Sumatera.
Baca juga: Demi Mudik, Apa Pun Kami Usahakan
Mudik berasal-usul dari pulang ke udik. Secara populer orang-orang Jawa menyebutnya dengan frasa ”mulih dhisik”, pulang sebentar. Artinya, mudik bukanlah untuk benar-benar pulang kampung, tetapi ini semacam ”ziarah” ke hulu sebagai wujud menyapa kembali asal-usul. Ada romantisisme terhadap masa lalu. Orang-orang lantas mengingat teman-teman masa kecil, tempat-tempat yang pernah begitu mengesankan atau guru-guru yang menua dan kehidupannya tak pernah berubah.
Mbak Narti dan Om Juliadi, istri-suami yang selama ini menjadi tulang punggung pergerakan rumah tangga kami di Jakarta, ”berziarah” ke dua kampung. Pertama ke Madiun, kota kelahiran Mbak Narti, dan kedua ke Solo, kota kelahiran Om Juliadi. Sudah dua tahun, karena deraan Covid-19, mereka tak pulang kampung. Minggu (16/4/2023), pasangan ini akhirnya pulang kampung dengan mengendarai sepeda motor, seperti dahulu yang sering kali mereka lakukan.
”Lebih bebas, di mana capek di sana berhenti. Lagian di kampung ndak ada kendaraan,” kata Om Jul, begitu kami menyapanya, tentang perjalanan mudiknya yang selalu menggunakan sepeda motor.
Senin (17/4/2023), Mbak Narti berkabar bahwa mereka sudah sampai di Ngawi, Jawa Timur. Perjalanan mereka dihadang hujan deras di daerah Indramayu, Jawa Barat, saat menjelang maghrib. Terpaksa, kata Mbak Narti, mereka berhenti di sebuah warung di tepi jalan raya. Mereka telah menempuh perjalanan sejauh 216 kilometer selama seharian penuh dari Tangerang Selatan, Banten, menuju Indramayu, Jawa Barat. Dan mereka harus pula menyelesaikan jarak tempuh Tangerang Selatan-Madiun sejauh 666 kilometer, kemudian dilanjutkan dari Madiun ke Solo sejauh 113,14 kilometer. Total jarak yang harus mereka menempuh hanya untuk pulang saja hampir sejauh 996 kilometer! Itu tentu saja jarak yang sangat jauh untuk berkendara sepeda motor. Apalagi kedua asisten andalan di rumah kami itu sudah berusia lebih dari 50 tahun.
Meski begitu, apa yang bisa menghalangi mereka untuk mudik?
Mudik bagi mereka kembali ke masa lalu, saat-saat kembali ke haribaan orangtua, yang sudah puluhan tahun mereka tinggalkan di kampung halaman. Mudik adalah membesuk kampung halaman; saling menyapa dan melepas rindu. Tentu saja di dalamnya terdapat cerita-cerita suka-duka selama dalam perantauan. Ingat mendongeng tentang negeri rantau adalah warisan nenek moyang Nusantara sejak masa-masa klasik sampai ke era digital seperti saat ini. Cuplik saja dongeng-dongeng yang selalu dimulai dengan negeri jauh: Di suatu negeri di atas awan, pohon-pohon tumbuh subur, padi-padi menghijau, dan burung-burung selalu bernyanyi dengan riang…Hiduplah sepasang suami-istri yang bahagia…(Silakan kau bisa melanjutkan dongeng ini nanti…yang jelas, bukankah itu imajinasi tentang negeri rantau yang selalu indah dan penuh janji tentang kehidupan yang lebih baik dari negeri asal?)
”Senang aja kalau ketemu ibu atau saudara-saudara, selama ini kan cuma lewat telepon. Itu pun kalau penting aja,” kata Om Jul, yang ibunya masih tinggal di Solo.
Suara Mbak Narti terdengar riang dari seberang telepon hari Senin pagi. Meski lelah, katanya, ia menyimpan kerinduan teramat dalam terhadap saudara-saudaranya di Madiun.
”Ndak ngapa-ngapain sih, paling-paling cerita ngalor-ngidul. Tapi seneng aja sih…Kan cuma sekali setahun…,” kata Mbak Narti.
Baca juga: Mengelola Mudik Secara Bijak
Barangkali percakapan singkatku dengan Mbak Narti dan Om Jul bisa jadi bukti betapa jarak yang jauh itu tidak berarti apa-apa untuk sebuah kehangatan keluarga. Bukankah kata-kata ibu selalu terdengar merdu di telinga seseorang, yang barangkali sudah lupa warna suaranya? Perantaraan suara lewat telepon dan gambar dalam panggilan video nyata-nyata tidak bisa mewakili suara dan gambar sesungguhnya dari seorang ibu. Ada rasa yang tak terbawa oleh perangkat canggih seperti telepon pintar.
Dan rasa itu bisa berupa pertalian kasih yang telah lama terputus oleh jarak, ruang, dan waktu. Ketika bertemu secara fisik, ada mimik, gestur, dan kehangatan yang kita tangkap secara lebih dalam. Dan itu sekali lagi, tidak bisa diwakili oleh medium seperti telepon, termasuk panggilan video.
Oleh sebab itu, silaturahmi pertama-tama adalah perjumpaan fisik karena hanya lewat pertemuan ini manusia bisa lebih saling memahami dan saling mendekatkan perasaan. Laporan Kompas hari Senin (17/4/2023) memperlihatkan betapa indah dan hangatnya silaturahmi yang dijalin oleh orang-orang yang tadinya saling ”membenci”. Para penyintas aksi terorisme dipertemukan dengan para kombatan dan bahkan dengan mereka yang menjadi pelaku dalam aksi pengeboman di berbagai tempat.
Iwan Setiawan (52) adalah penyintas aksi terorisme di depan Kedubes Australia, 9 September 2004. Aksi itu menewaskan 9 orang, termasuk Halila Seroja Daudlay, istri Iwan yang tengah mengandung delapan bulan. Aksi ini juga mencederai 160 orang lainnya. Iwan sendiri kehilangan sebelah matanya akibat tertancap pecahan bom.
Salah satu momen silarutahmi yang menjadi titik balik dari kebencian yang selama ini dipendam Iwan, saat ia dipertemukan dengan Iwan Darmawan Munto alias Rois dan Ahmad Hassan. Keduanya adalah pelaku pengeboman dan terpidana mati di Kedubes Australia di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
”Saat itu, Hassan minta maaf. Ia menangis, menunjukkan penyesalan, meminta kisas dengan mengganti mata saya dengan matanya. Dari situ saya berpikir, tak hanya saya yang korban. Ia juga korban dari pemahaman atau ideologi yang salah,” kata Iwan Setiawan (Kompas, Senin, 17 April 2023).
Peristiwa itu telah menunjukkan bahwa silaturahmi mengandung daya sihir, yang tidak bisa diuraikan secara akal sehat. Dia melekat di dalam tumpukan emosi paling purbawi dari manusia. Bahwa pada dasarnya kebencian dan dendam itu hanya simpul-simpul yang muncul di permukaan emosi setiap orang. Jauh di dasar timbunan stuktur batin manusia ada perasaan yang menyambungkan manusia satu dan lainnya, sebagai makhluk yang berasal dari ciptaan Tuhan. Perbedaan adalah hal manusiawi, tetapi kesamaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan jauh lebih hakiki.
Baca juga: Silaturahmi yang Meretas Kebencian
Oleh sebab itu, imaji yang dibawa oleh para pemudik setiap tahun ke hulu, dari mana ia berasal-mula, adalah gambaran tentang keindahan masa lalu; masa-masa merintis hakikat menjadi manusia di sebuah desa. Ketika akhirnya menjadi bagian dari masyarakat urban, masa lalu itu selalu dipelihara sebagai imaji yang pada waktunya nanti mereka konkretkan. Mudik kemudian menjelma menjadi silaturahmi yang indah dan artistik meski untuk mencapainya membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Dengan demikian, bersakit-sakit mudik ke hulu pun mereka lakoni demi bersenang-senang kemudian di ”perdesaan”.