Pemilu memiliki urgensi menghadirkan sosok negarawan ketimbang politisi yang bekerja hanya untuk juragannya. Negarawan akan menjadikan keadilan antargenerasi sebagai arus utama kebijakannya.
Oleh
ALFATH BAGUS PANUNTUN EL NUR INDONESIA
·5 menit baca
Di sejumlah negara demokratis, termasuk Indonesia, pemilu merupakan instrumen memilih pemimpin yang dikehendaki publik. Namun, mereka yang dikehendaki sering kali tak memihak publik. Alih-alih berpijak pada kehendak rakyat, sebagian politisi bekerja hanya untuk juragannya.
Pernyataan legislator PDI-P, Bambang ”Pacul” Wuryanto, dalam rapat bersama Menko Polhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu telah membuka tabir bahwa pemilu yang problematik hanya akan menghasilkan kekuasaan yang jauh dari nilai-nilai kepublikan. Dalam permohonan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, kepentingan publik seolah tak berharga daripada arahan bos. Adanya resistensi dari para legislator sebenarnya menunjukkan korupsi telah dianggap wajar.
Sikap serupa ditujukan melalui sejumlah kebijakan yang tak mementingkan keadilan antargenerasi. Generasi sekarang merasa paling berhak mengakses segala sumber daya. Ringkasnya, kehidupan politik kini didominasi presentism yang mementingkan kepentingan jangka pendek (Caney, 2019). Berbagai peristiwa, seperti deprivasi, eksploitasi alam, hingga perubahan iklim, adalah sebagian contohnya.
Dengan begitu, pemerintah berkewajiban menghadirkan keadilan antargenerasi. Sebab, ini merupakan tanggung jawab pemimpin ketika membuat kebijakan. Hal tersebut semata untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan agar tak meninggalkan beban besar bagi pewarisnya.
Di titik ini, pemilu memiliki urgensi menghadirkan sosok negarawan ketimbang politisi. Seorang politisi melihat politik sebagai arena perebutan kuasa untuk periode lima tahunan. Sementara negarawan memiliki visi jangka panjang dan cita-cita luhur untuk memuliakan kemanusiaan dan alam. Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian kebijakan strategis guna menghadirnya keadilan antargenerasi,
Menyikapi hal ini, apa saja yang menjadi persoalan pemilu? Mengapa keadilan antargenerasi belum menjadi arus utama? Bagaimana cara agar pemilu melahirkan negarawan?
Problematika pemilu
Pascareformasi, pemilu langsung telah dilakukan sebanyak empat kali. Namun, pemilu nyatanya belum mampu menghasilkan pemimpin politik yang mampu mendekatkan kita pada pemerintahan yang bersih. Terbukti dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang belakangan justru merosot (TII, 2023).
Sejak 2004 hingga 2022, terdapat 23 gubernur; 155 wali kota/bupati dan wakil wali kota/bupati; 343 anggota DPR/DPRD; dan 40 hakim/jaksa ditangkap karena korupsi (KPK, 2023). Korupsi yang terjadi di pemerintahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menunjukkan betapa bangsa kita telah kehilangan kompas moralitas.
Pemilu nyatanya belum mampu menghasilkan pemimpin politik yang mampu mendekatkan kita pada pemerintahan yang bersih.
Menariknya, sebagian kasus korupsi yang melibatkan aktor-aktor politik terjadi di sektor sumber daya alam. Keberlimpahan sumber daya alam justru tak memberi kesejahteraan terhadap rakyat sekaligus membuat banyak celah korupsi. Serangkaian kasus yang menyeret nama-nama besar terjadi mulai dari pembebasan lahan sawit di Kalimantan Timur (2008), kasus perizinan kehutanan dan alih fungsi lahan di Riau (2013-2014), hingga suap dan gratifikasi sejumlah perizinan tambang di Sulawesi Tenggara (2016).
Perizinan yang semestinya digunakan sebagai alat kontrol negara justru diselewengkan. Ini berdampak pada maraknya bencana sosio-ekologis hingga besarnya kerugian negara. Dengan begitu, setidaknya terdapat tiga penjelasan mengapa pemilu kita sarat persoalan.
Pertama, biaya politik yang mahal. Survei KPK dan LIPI/BRIN (2022) meyebutkan butuh modal sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 milliar untuk menjadi wali kota/bupati dan Rp 100 milliar untuk menjadi gubernur. Dengan kemampuan finansial terbatas, tak heran apabila para kandidat pilkada didanai oleh cukong yang jumlahnya mencapai 82 persen (KPK, 2020). Hal tersebut mengakibatkan proses politik menjadi sangat transaksional dan timbal balik.
Kedua, persoalan demokrasi prosedural. Selama ini banyak di antara masyarakat yang menilai bahwa tahun politik hanya ada ketika pemilu. Padahal, politik bekerja terus-menerus dalam ragam dimensi ruang dan waktu. Minimnya pendidikan dan keteladanan politik bagi masyarakat membuat demokrasi substantif sulit dicapai. Pemahaman publik yang dangkal juga menempatkan demokrasi yang sangat bergantung pada kekuatan modal. Akhirnya, praktik jual beli suara masih marak terjadi.
Ketiga, minimnya kepercayaan publik terhadap pemilu. Survei Litbang Kompas (3/1/2023) menunjukkan jumlah suara yang yakin (49,1 persen) dan tak yakin (42,4 persen) dengan proses yang berjalan di KPU nyaris seimbang. Menguatnya ketidakpercayaan publik pada pemilu disebabkan oleh beberapa hal. Dua di antaranya terkait rendahnya integritas penyelenggara dan wacana penundaan pemilu. Keengganan publik memonitor demokrasi hanya akan memudahkannya tumbang di tangan oligarki.
Keadilan antargenerasi
Keadilan antargenerasi merupakan konsep etika dan politik yang menekankan kewajiban generasi sekarang untuk mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang ketika mengambil keputusan politik (Meyer, 2017; Tremmel, 2006). Terdapat penekanan bahwa generasi sekarang harus memikul tanggung jawab atas masa depan yang akan diwariskan ke generasi berikutnya sekaligus perbaikan atas kesalahan masa lalu (Campos, 2018).
Perlu disadari, sumber daya alam semakin terbatas sedangkan kebutuhan manusia kian bertambah. Perilaku politisi yang tamak, eksploitatif, dan koruptif yang membuat keadilan antargenerasi belum menjadi arus utama. Apabila generasi sekarang tak memperhatikan aspek keberlanjutan, maka terdapat ancaman besar bagi generasi mendatang. Menghendaki pembangunan yang bisa memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang adalah suatu keharusan.
Model pembangunan tersebut diwujudkan dalam penggunaan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan. Ini bukan hanya perkara perlindungan teknis ekosistem bumi melainkan juga dibarengi oleh reformasi politik secara struktural.
Sebagai pintu masuknya, pemilu memungkinkan proses kandidasi politik yang diharapkan mampu melahirkan negarawan. Di pundak merekalah bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Menanti negarawan
Dalam konteks Pemilu 2024, keadilan antargenerasi dapat dibaca melalui dua lensa politik. Pertama, pemilu sebagai ancaman bagi keadilan antargenerasi. Prinsip-prinsip demokrasi dalam bentuknya yang paling sempit dapat bertentangan dengan keadilan antargenerasi (Tremmel, 2006). Demokrasi menjadi ancaman ketika kebutuhan pragmatis politisi untuk memenangkan pemilu lebih diutamakan (Fritsch, 2011).
Mereka lakukan segalanya untuk mendapat dukungan masyarakat. Konsekuensinya, mereka kerap mengabaikan kepentingan generasi mendatang. Hal ini dibuktikan bahwa sebagian besar politisi ketika terpilih menjadi pemimpin/wakil rakyat merasa tak harus bertanggung jawab atas implikasi kebijakannya karena masa jabatannya yang terbatas.
Kedua, memastikan hadirnya keadilan antargenerasi seharusnya menjadi indikator keberhasilan politik programatik yang diusung setiap kandidat dalam pemilu. Hal ini dimungkinkan karena pemilu adalah arena pertarungan gagasan mengenai penyelesaian beragam tantangan kemanusiaan, di antaranya kemisikinan dan ketimpangan hingga perubahan iklim (Boulding & Holzner, 2020).
Kelemahan pemilu selama ini justru menjadi pintu masuk bagi politisi korup yang hanya mementingkan diri dan juragannya, alih-alih menghasilkan negarawan. Dengan begitu, dualitas pemilu seharusnya menjadi ”alarm”. Di satu sisi, ini perlu dijadikan refleksi atas perilaku para politisi yang kerap mengabaikan kepentingan generasi mendatang. Di sisi lainnya, pemilu diharapkan mampu menggugah kesadaran aktor-aktor politik untuk menyiapkan warisan terbaik bagi generasi mendatang.
Akhirnya, kebutuhan generasi sekarang memang perlu dicukupi, tetapi generasi mendatang juga berhak atas masa depan yang lebih baik. Ini hanya bisa diwujudkan melalui pemilu yang berintegritas. Dengan cara itu, distribusi kesejahteraan yang merata, peraturan berkualitas, bumi yang nyaman dihuni, dan adilnya penegakan hukum akan mudah diwujudkan.