Sekitar 90 persen warga desa pesisir mengandalkan sumber daya ikan tangkap. Nelayan yang tinggal di desa-desa pesisir ini menunggu kebijakan pemerintah yang benar-benar berpihak pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga dan anaknya bersantai pada sore hari di Pantai Nambangan, Surabaya, Jatim, Sabtu (25/3/2023). Kawasan sepanjang pesisir Surabaya dari Jembatan Jembatan Suramadu hingga Pantai Kenjeran merupakan tempat favorit warga menunggu waktu berbuka puasa.
Sebanyak 12.510 desa atau 15,32 persen dari total 81.616 desa di Indonesia berada di wilayah pesisir. Sekitar 90 persen di antara desa-desa pesisir tersebut mengandalkan sumber daya ikan tangkap sebagai mata pencarian utama penduduk.
Sebagai negara kepulauan, 62 persen wilayah Indonesia adalah laut. Dengan garis pantai sepanjang 99.083 kilometer, Indonesia menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Namun, potensi besar sektor kelautan belum tecermin pada kehidupan nelayan di desa-desa pesisir dan indikator ekonomi makro Indonesia.
Nelayan adalah salah satu kelompok masyarakat miskin di Indonesia. Data tahun 2021 menunjukkan, dari 10,86 juta orang miskin di Indonesia, ada sekitar 1,3 juta (12,5 persen) tinggal di wilayah pesisir. Jika dilihat dari sisi kemiskinan ekstrem, yaitu kondisi ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan hidup paling dasar, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir 4,19 persen. Ini lebih tinggi daripada angka kemiskinan ekstrem nasional, 4 persen.
Tahun 2021, pangsa pasar ekspor hasil perikanan Indonesia di pasar dunia hanya 3,5 persen.
Beberapa indikator ekonomi makro juga belum menunjukkan potensi besar sektor kelautan Indonesia. Tahun 2021, pangsa pasar ekspor hasil perikanan Indonesia di pasar dunia hanya 3,5 persen.
Pada 2021 dan 2022, kontribusi sektor perikanan tangkap pada PDB Indonesia masing-masing 2,83 persen dan 2,54 persen. Adapun sumbangannya pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 788 miliar dan Rp 1,26 triliun. Kecilnya kontribusi sektor perikanan pada PDB dan PNBP sering dikaitkan dengan masalah pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan Indonesia.
Ikan tongkol yang baru mendarat di Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakata Utara, dinaikkan ke atas angkutan untuk kemudian disimpan ke gudang berpendingin, Rabu (11/8/2021).
Di tengah berbagai masalah sektor perikanan tangkap, pemerintah meluncurkan lima kebijakan yang menjadi agenda prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dua di antara lima kebijakan itu akan menjadi sorotan tulisan ini, yaitu penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan pembersihan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan.
Prioritas
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur adalah salah satu langkah memenuhi prioritas kebijakan di sektor kelautan dan perikanan. Namun, terbitnya PP No 11/2023 menuai pro dan kontra. Kuota pada zona penangkapan ikan ditetapkan untuk tiga kelompok, yaitu industri, nelayan lokal, dan kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
Pemerintah berdalih, PP No 11/2023 bertujuan mencapai pembangunan sektor perikanan tangkap yang lebih berkelanjutan. Tujuan yang dimaksud ialah mendorong pemanfaatan optimal secara ekonomi (meningkatkan perannya dalam perekonomian nasional) dengan tetap memperhatikan daya dukung sumber daya ikan tangkap secara ekologis dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Kalangan yang kontra mencatat, regulasi itu adalah bentuk liberalisasi sektor perikanan tangkap dengan merestui masuknya modal asing menebarkan jalanya di perairan Nusantara. Bukan hanya bayangan atas semakin kalahnya para nelayan kecil melawan kapal-kapal besar dengan alat tangkap lebih modern, melainkan juga kekhawatiran atas dampaknya pada kelestarian sumber daya ikan tangkap Indonesia.
Mengutip Thomas Nugroho (Kompas, 14 April 2022), langkah liberalisasi di sektor perikanan ini akan memaksa industri perikanan tangkap domestik memasuki pasar bebas dunia, sementara Indonesia dinilai belum siap. Kredibilitas dan integritas para pelaku di sektor perikanan tangkap adalah kunci pelaksanaan kebijakan penangkapan yang bertumpu pada pengawasan jumlah tangkapan itu.
Padahal, di situlah salah satu kelemahan Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan penangkapan ikan terukur berpotensi menjadi tidak efektif dalam mencegah overfishing dan justru melebarkan kesenjangan kesejahteraan antara nelayan dan pelaku penangkapan ikan bermodal besar.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Berbagai jenis sampah plastik ikut terbawa naik saat nelayan menjala ikan di kawasan Pantai Tanjung Karang, Sekarbela, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (23/1/2023). Kondisi itu tidak terlepas dari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuat sampah ke sungai atau pantai yang kemudian bisa mencemari laut.
Sampah plastik
Di sisi lain, menjadi salah satu negara produsen sampah plastik di laut terbesar rupanya membuat kita tidak nyaman. Oleh karena itu, salah satu prioritas kebijakan di bidang kelautan ialah membersihkan laut Indonesia dari sampah plastik. Pemerintah pun mencanangkan peran aktif nelayan sebagai pembersih sampah plastik di laut.
Saya kira, tanpa perlu dinyatakan, setiap nelayan akan mencoba mengatasi masalah sampah di ”ladang” mereka karena sampah akan membuat ikan, sumber mata pencarian mereka, menghilang.
Bisa diingat kembali nasib warga pesisir Muara Gembong di Kabupaten Bekasi. Penghidupan mereka berubah dari pencari ikan menjadi pemulung karena lingkungan yang sebelumnya wilayah tangkapan ikan menjadi timbunan sampah. Hal itu adalah contoh nyata kerusakan ekosistem laut Teluk Jakarta yang berdampak pada kesejahteraan penduduk.
Menumpuknya sampah di wilayah pesisir adalah tanda ketidakberesan pengelolaan sampah di daratan. Nelayan adalah korban, bukan pihak yang harus bertanggung jawab.
Menumpuknya sampah di wilayah pesisir adalah tanda ketidakberesan pengelolaan sampah di daratan. Nelayan adalah korban, bukan pihak yang harus bertanggung jawab. Masalah sampah harus diselesaikan di daratan, di hulu masalah berada. Memberi tugas nelayan di desa-desa pesisir untuk mengatasi sampah hanya terkesan menggeser tanggung jawab mereka yang tinggal di ”daratan” dalam mengelola sampah pada penduduk pesisir yang justru kehilangan penghidupan.
Setiap tanggal 6 April, Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada para nelayan sebagai penyedia sumber pangan. Semoga peringatan Hari Nelayan tidak hanya diisi acara seremonial tanpa langkah nyata untuk memperbaiki nasib mereka.
Para nelayan yang tinggal di desa-desa pesisir menunggu kebijakan pemerintah yang benar-benar berpihak pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Siwi Nugraheni, Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan