Idul Fitri sebagai Momentum Silaturahmi dan Rekonsiliasi
Polarisasi yang ditimbulkan oleh kontestasi politik bukan berarti dapat menjerembabkan masyarakat Indonesia ke dalam kubang permusuhan. Masyarakat Indonesia mempunyai cara agar bisa keluar dari sekian jebakan polarisasi.
Oleh
FATHORRAHMAN GHUFRON
·5 menit baca
Pemilihan umum (pemilu) yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 telah menciptakan aroma kontestasi sejak dini. Berbagai pihak yang berkepentingan telah mengusung figur-figur yang dianggap layak sebagai calon pemimpin. Tidak sedikit, di antara mereka membentuk polarisasi dengan modus politik identitas. Perbedaan dukungan pun dikelola sedemikian rupa demi memperlebar gesekan sosial.
Pemilu yang berlangsung di era digital, dilingkupi berbagai modus pelintiran kebencian yang dilakukan oleh pendukung ataupun kontestan. Dalam 10 tahun terakhir ini pemilihan umum dilakukan seiring wabah media sosial telah dililit oleh ”rezim hoaks” yang sistematis. Bahkan, di era digital, hoaks dikapitalisasi oleh pemilik perusahaan media sosial untuk meraih keuntungan. Setiap percakapan di media sosial selain menuai kebencian antarwarganet juga berkontribusi menaikkan saham pemilik perusahaan media sosial.
Namun, polarisasi dari kontestasi politik tersebut bukan berarti menjerembabkan masyarakat Indonesia ke dalam kubang permusuhan. Satu hal yang perlu disadari, masyarakat Indonesia mempunyai cara keluar dari jebakan polarisasi melalui ketahanan budaya (cultural resilience) yang bisa digunakan sebagai penyelesai masalah yang ditimbulkan oleh dampak politik maupun dampak media sosial.
Merujuk pada pandangan Koentjaraningrat, secara antropologis sejak beratus tahun lamanya orang Indonesia banyak ditempa oleh nilai-nilai budaya kearifan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Warisan leluhur dijadikan instrumen kultural untuk mengedepankan dan mengonstruksi pertahanan diri yang cerdik.
Selain itu, meminjam istilah M Zaid Wahyudi (Kompas, 17/1/2016), orang Indonesia memiliki kecenderungan sikap menerima tanpa syarat atas sesuatu yang dialami (unconditional positive acceptance). Maka, orang Indonesia pun tidak mau berpanjang-lebar dengan kejadian yang menimpa, dan lebih banyak fokus pada apa yang akan dihadapi. Peristiwa semacam gesekan politik pun, bisa dimaklumi dan dimaafkan atas dorongan orang lain atau diri sendiri.
Modalitas sosial-budaya tersebut menciptakan sebuah ekosistem kohesi sosial yang bisa merajut kembali polarisasi, disparitas, dan berbagai elemen pemisah lainnya. Namun, untuk menyatukan ”balung pisah” terkadang orang Indonesia menunggu momentum yang bisa meredakan emosi dan melapangkan dadanya. Melalui momentum itu setiap orang yang terlibat akan mudah merespons dan mengakui setiap kekhilafan yang diperbuat.
Dalam kaitan ini, momentum yang selalu dimanfaatkan untuk melakukan silaturahmi dan rekonsiliasi adalah momentum keagamaan, seperti Idul Fitri. Momentum ini dianggap paling strategis digunakan sebagai pembentukan rekonsiliasi yang memudahkan setiap orang menunjukkan nilai kebaikan antarsesama.
Energi Idul fitri
Dalam suasana Idul Fitri, setiap orang tergerak untuk meleburkan egoisme kediriannya dengan cara saling bermaafan. Setiap orang meminta maaf atau memberi maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak. Di platform media sosial, setiap orang mengunggah ungkapan mulia sebagai penanda kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Permohonan maaf menunjukkan bahwa setiap orang merindukan kedamaian dalam kehidupannya.
Selain itu, suasana psikososial untuk saling memberi respons ini menciptakan aura rekonsiliasi yang penuh kebahagiaan dan keceriaan. Melalui momentum Idul Fitri, setiap gesekan sosial melebur dalam kesatupaduan yang tenteram.
Sesuai dengan namanya, Idul Fitri yang berarti kembali suci, momentum ini mengajak setiap orang untuk membersihkan pikiran, hati, dan perilaku dari berbagai keburukan. Orang Indonesia yang secara genealogis mempunyai watak unconditional positive acceptance tentu tidak akan keberatan menerima ajakan rekonsiliasi.
Namun, rekonsiliasi ini tentu tidak sekadar pemanis bibir. Bila mencermati padanan rekonsiliasi dalam bahasa Arab yang berarti tashaluh, maka maknanya adalah saling berdamai. Dalam tindakan kesalingan ini adalah upaya dari dua belah pihak untuk menciptakan perdamaian yang dalam bahasa Arab disebut ishlah. Bila dalam proses ini terdapat persoalan yang mengganjal dua belah pihak lantaran perkara-perkara materil yang harus diselesaikan dan dibutuhkan kesepakatan yang tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, diperlukan tindakan shuluh baik dalam bentuk litigasi maupun nonlitigasi demi terwujudnya perdamaian.
Dengan demikian, ketika seperangkat rekonsiliasi yang diawali dengan tindakan ishlah dan shuluh yang baik, pada gilirannya kita akan menjadi orang saleh yang selalu menganjurkan kebaikan (mashlahah) dan menghindar dari keburukan (mafsadah). Maka, momentum Idul Fitri akan menciptakan tapak kesalehan yang berkontribusi pada terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Dari sekian reportoir kebajikan dalam hari raya dan narasi kesantunan yang ditunjukkan seriap orang yang berkenan meminta maaf terlebih dahulu, sejatinya Idul Fitri harus dijadikan sebuah marwah dalam kehidupan sehari-hari. Idul Fitri yang memberikan ruang rekonsiliasi yang semestinya kita manfaatkan untuk melarutkan jentik egoisme. Hal ini penting dilakukan agar aura sosial kehidupan, baik di lingkup interaksi dalam jaringan (dunia maya) maupun luar jaringan (dunia nyata), dipenuhi oleh benih-benih kedamaian dan kebahagiaan.
Beberapa figur publik, baik di kalangan partisan maupun nonpartisan yang berlomba-lomba melakukan open house bersama rakyat ataupun kolega dan saling berkunjung untuk menjalin silaturahim menjadi penanda bahwa kalangan elite telah menabuhkan gong perdamaian. Ketika antar elite sudah bersedia merendakan egoisme diri dan mengedepankan sikap persaudaraan, sejatinya sikap luhur ini diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat. Tidak patut lagi kita terjebak dalam polarisasi akibat kontestasi pemilu yang sifatnya hanya sementara.
Semoga Idul Fitri menjadi momentum berharga yang selalu mengimajinasi kita untuk merajut persatuan dan kesatuan dalam keseharian, serta menginspirasi kita untuk menegakkan perdamaian dan keamanan di Indonesia dan peradaban global.