”Apakah korupsi ada kaitannya dengan budaya feodal yang tidak bisa membedakan mana ’yours’ dan ’mine’?” demikian disampaikan Jakob Oetama, pendiri ”Kompas”, suatu ketika.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Dalam obrolan di ruang rapat redaksi beberapa tahun lalu, pendiri Kompas Jakob Oetama pernah melontarkan pertanyaan, ”Mengapa korupsi terus terjadi di negeri ini? Padahal, sistem politik sudah bergeser dari otokrasi ke demokrasi.” Itulah gaya Jakob melemparkan gagasan kepada awak redaksi untuk terus mencari dan menggali serta mencari jawaban atas masalah sosial di tengah masyarakat.
”Apakah korupsi ada kaitannya dengan budaya feodal yang tidak bisa membedakan mana yours dan mine?” demikian Jakob beretorika. Padahal, sistem politik sudah terbuka. Kekuasaan otoriter Orde Baru telah tumbang. Sistem pengawasan disiapkan, keran kebebasan berpendapat terbuka. Dalam sistem demokrasi, mengapa korupsi terus saja terjadi? Gugatan terhadap demokrasi dan korupsi menarik diperdebatkan.
Rizal Sukma, peneliti senior CSIS, menulis artikel di Kompas, 13 April 2023, yang berjudul ”Korupsi dan Demokrasi”. Rizal juga mempertanyakan, kenapa demokrasi Indonesia seolah menyuburkan korupsi, bukan mematikannya. Mengapa setelah berdemokrasi selama 25 tahun, kita belum mampu memberantas perilaku koruptif dan korupsi?
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana ketika ekspose tersangka kasus suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (13/4/2023) dini hari.
Berbagai studi menunjukkan kesulitan dalam memberantas korupsi di negara pascaotoriter disebabkan oleh belum terkonsolidasinya sistem demokrasi yang dijalankan. Perkuatan demokrasi tetap jadi agenda untuk melawan korupsi.
Realitas empiris kontemporer mengonfirmasi bagaimana ganasnya virus korupsi menyerang negeri. Sabtu, 25 Maret 2023, saya menulis di kolom ini. Kolom itu saya beri judul ”Republik Korupsi”. Banyak reaksi atas kolom itu. Perang melawan korupsi memang menjadi isu pinggiran. Hampir tak pernah terdengar suara partai politik yang melemparkan gagasan bagaimana menghentikan korupsi di negeri ini.
Pimpinan partai politik yang menjadi salah pilar demokrasi memang sedang sibuk bersilaturahmi membangun koalisi besar untuk merebut kuasa di negeri ini. Tapi, tak muncul gagasan, tak muncul kesamaan agenda, bahwa korupsi itu telah memangsa negeri. Kenapa tak muncul koalisi bersama melawan korupsi? Atau jangan-jangan kita semua hidup dalam ekonomi korupsi.
Beberapa hari setelah kolom itu ditulis, gelombang penangkapan tersangka korupsi terjadi. Sejumlah kepala daerah ditangkap KPK. Ada bupati, ada anggota DPR, bahkan anggota Komisi III DPR dijebloskan ke penjara oleh KPK. KPK memang tampak agresif melakukan penangkapan justru saat pimpinan KPK-nya ”disandera” berbagai masalah etik. Dugaan bocor-membocor dokumen. Pemulangan penyidik Polri dari KPK ke Polri mengingatkan peristiwa Cecak dan Buaya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengekspose penahanan Rafael Alun Trisambodo dan menunjukkan uang beserta benda mewah yang disita di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (3/4/2023). Rafael resmi ditahan KPK atas kasus penerimaan gratifikasi dari wajib pajak atas pengondisian berbagai temuan pemeriksaan perpajakannya.
Pada 28 Maret 2023, KPK menangkap Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat. Ben ditangkap bersama istrinya, Ary Egahni. Ary adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem. Ben diduga menerima gratifikasi dari pihak swasta. Ary diduga meminta uang dan barang mewah dari beberapa kepala satuan kerja di Pemkab Kapuas. Diperkirakan uang yang diterima keduanya dari praktik korupsi itu Rp 8,7 miliar.
Korupsi melibatkan suami-istri. Suami seorang bupati, dan istri anggota DPR yang membidangi masalah hukum. Berita penangkapan suami-istri tersangka korupsi itu hanya bertahan sehari dan digantikan isu lain. Belum tuntas pemeriksaan Bupati Kapuas dan anggota Komisi III DPR, KPK menangkap Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil pada 6 April 2023.
Muhammad Adil sebelumnya terkesan begitu heroik melawan kebijakan pemerintah pusat, memprotes ketidakadilan pembagian dana bagi hasil pemerintah pusat dan daerah. Dalam video yang sempat viral, Bupati Adil pernah menyebut Kementerian Keuangan isinya iblis dan setan.
Namun, pernyataan heroik Adil tak seindah kelakuannya. Pihak KPK menyampaikan, Adil diduga memotong uang persediaan dan ganti uang persediaan dari satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemkab Kepulauan Meranti. Ia juga diduga menerima imbalan dari jasa travel umrah. Adil juga diduga terlibat pemberian suap terkait dengan pemeriksaan oleh auditor BPK agar Pemkab Kepulauan Meranti memperoleh predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Disebut-sebut juga Adil sedang mengumpulkan dana untuk membiayai kontestasi pemilihan gubernur Riau di 2024.
Gelombang berikutnya adalah penangkapan pejabat di lingkungan Ditjen Perkeretaapian. Sejumlah pejabat dan pengusaha digelandang KPK dalam kasus dugaan korupsi pembangunan infrastruktur perkeretaapian untuk tahun anggaran 2018-2022. Ini soal pengaturan pemenang tender.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Petugas KPK menunjukkan barang bukti suap para tersangka kasus suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api ketika ekspose di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (13/4/2023) dini hari.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam sebuah rilis menyebutkan, dalam periode 2007-2023 sudah ada sepuluh kepala daerah yang terjerat korupsi di Riau. Ada tiga gubernur, enam bupati, dan satu wali kota. Muhammad Adil adalah bupati ke-10 di Provinsi Riau yang terjerat korupsi.
Catatan ICW, kerugian negara akibat korupsi di Provinsi Riau mencapai Rp 2,2 triliun. Dalam penegakan hukum progresif, unsur kerugian negara harus diperluas menjadi kerugian sosial akibat perilaku korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menimbulkan biaya sosial yang luar biasa.
Riau memang menyimpan ironi. Pada 9 Desember 2016, bertepatan dengan Hari Antikorupsi di Pekanbaru, dibangun Tugu Antikorupsi. Tugu Antikorupsi dibangun untuk mengingatkan agar PNS di Provinsi Riau melayani masyarakat dan bersikap transparan. Namun, ironisnya, pembangunan Tugu Antikorupsi, sebagaimana dilaporkan BBC.com, juga dikorupsi sejumlah pegawai negeri sipil dan merugikan negara Rp 1,23 miliar. Ironis.
Mengapa di Riau sering terjadi korupsi? Tentunya itu bisa dipelajari. Apa yang salah? Apakah Kementerian Dalam Negeri pernah meneliti secara khusus apa yang terjadi dengan banyaknya tingkat korupsi di Provinsi Riau? Atau hal itu dianggap biasa saja? Atau lagi apes, tertangkap.
Penyakit korupsi, sebagaimana disampaikan Prabowo Subianto dalam kampanye Pemilihan Presiden 2019, sudah memasuki stadium empat. Itu empat tahun lalu. Sekarang mungkin sudah lebih parah? Siapa pun yang disebut-sebut berniat maju dalam agenda pilpres di tahun 2024 selayaknya membawa agenda pemberantasan korupsi.
Pembangunan koalisi nir-gagasan inilah yang dikritik budayawan Eros Djarot dalam takshow Satu Meja di Kompas TV. Bukan hanya membangun koalisi, melainkan juga apa yang mau ditawarkan untuk negeri agar bebas dari korupsi dan cengkeraman oligarki.