Selain negara maritim, Indonesia juga merupakan negara agraris dengan lahan pertanian yang luas serta sebagian masyarakat yang mengandalkan hidup dari sektor pertanian.
Sebagai negara agraris, Indonesia tercatat baru dua kali mendapatkan pengakuan internasional dalam swasembada beras. Pertama, tahun 1984, FAO memberikan penghargaan. Namun, awal tahun 1990-an, produksi beras terus merosot dan impor beras semakin meningkat.
Setelah itu, 38 tahun kemudian pada 14 Agustus 2022, IRRI memberikan penghargaan atas keberhasilan sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras untuk periode 2019-2021. Namun, menjelang akhir 2022, pemerintah justru menyetujui impor beras 500.000 ton (Kompas, 26/12/2022).
Pada masa panen raya padi tahun ini, pemerintah kembali memutuskan impor 2 juta ton beras guna mengantisipasi produksi beras yang diperkirakan menurun, dengan menjamin harga gabah kering panen di tingkat petani tidak anjlok (Kompas, 27/3/2023).
Berapa sebenarnya kebutuhan beras kita? Apakah tidak ada langkah lain untuk mengatasi turunnya produksi?
Jika jumlah penduduk Indonesia saat ini 275 juta orang dan 90 persen mengonsumsi nasi, maka ada 247,5 juta orang membutuhkan beras setiap hari. Jika kebutuhan nasi rata-rata per orang 250 gram beras setiap hari, maka kebutuhan beras nasional kita per hari 61.875 ton dan kebutuhan setahun 22,6 juta ton beras. Dengan asumsi ada penambahan 30 persen konsumsi karena perayaan keagamaan ataupun hal lain, maka kebutuhan beras nasional setahun diperkirakan 29,4 juta ton.
Menurut data BPS, luas lahan panen padi nasional 2022 adalah 10,41 juta ha dengan hasil panen GKG 2022 sebesar 54.75 juta ton (setara dengan 35,58 juta ton beras).
Dengan penggunaan teknologi pertanian, produksi padi bisa mencapai 8 ton/ha, maka akan dihasilkan 83,28 juta ton GKG (setara 54,13 juta ton beras) dalam setahun. Katakanlah ada kehilangan atau penurunan sampai 30 persen, kita masih menghasilkan 37,89 juta ton beras dalam setahun. Kebutuhan beras nasional tercukupi.
Urusan beras memang cukup kompleks karena menyangkut berbagai pemangku kepentingan. Yang dibutuhkan adalah langkah perencanaan serius dan konkret dengan memanfaatkan teknologi pertanian, tidak sekadar regulasi, mengingat persoalan harga beras dan ketersediaannya menjadi masalah yang selalu berulang.
Pengalaman akan menjadi manfaat jika digunakan sebagai pembelajaran. Seharusnya kita bisa introspeksi dan mengambil hikmah atas permasalahan ini.
Pangeran Toba P HasibuanSei Bengawan, Medan 20121
Daging Sapi
Infografik Tren Impor dan Harga Daging Sapi
Tertarik liputan Kompas (24/3/2023) tentang pasokan daging, saya teringat saat menjadi Kakanwil Depdag Lampung 1987-1991.
Berhubung Lampung daerah pertanian, setiap kegiatan ekonomi diupayakan terkait dengan kesejahteraan petani. Untuk meningkatkan ekspor, bersama Kanwil Pertanian dan pihak terkait, didorong kemitraan yang saling menguntungkan antara eksportir dan para petani. Misalnya petani kopi, kakao, dan ketela (maniok).
Khusus untuk greet giant pineapple (GPP), karena mereka juga menguasai produksi, peningkatan ekspor nanas (kaleng) hanya dikaitkan motivasi tertentu. Namun, limbah (kulit) nanas dimanfaatkan untuk penggemukan sapi (fattening). Maka dijalin kemitraan dengan peternak. Hasilnya sapi cepat gemuk dengan daging lembut yang mutunya bersaing dengan daging impor.
Saat itu sapi dikirim ke Jakarta dengan truk. Makin lama makin banyak. Muncul masalah, antara lain antrean di penyeberangan Bakauheni-Merak. Bobot sapi jadi turun.
Sapi juga semakin menyusut dan tidak bisa mengimbangi kecepatan penggemukan dengan pemasaran ke Jakarta. Saya tidak tahu kelanjutannya karena pindah tempat tugas.
Kalau sekarang produksi daging di Lampung surplus, tentu harus dipertahankan. Demikian pula daerah lain yang sudah swasembada. Sebaliknya daerah-daerah yang kekurangan perlu dipetakan potensinya. Apakah dapat dikembangkan atau perlu pasokan dari tempat lain. Buat kebijakan agar aliran distribusi efisien dan efektif.
Diperlukan kebijakan fiskal, penyediaan fasilitas termasuk subsidi angkutan, hubungan antarpemda, dan seterusnya agar program sukses. Demi swasembada kebutuhan daging di seluruh daerah, bukan dari impor.
SuharnoWarungboto, Yogyakarta