Kemauan Politik
Mandeknya reformasi birokrasi merupakan agenda paling mendesak untuk Presiden Joko Widodo. Bak penyakit menahun, problem birokrasi ini makin akut dan makin banyak korban.
Sebagai awam saya merasakan mendapat banyak informasi dari harian Kompas dalam memahami karut-marut di negeri tercinta. Salah satunya tulisan Yanuar Nugroho ”Urgensi Reformasi Birokrasi Jokowi” (Senin, 3/4/2023).
Tulisan dosen STF Driyarkara, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) itu, memberi pencerahan sekaligus menyampaikan kritik yang membangun. Tidak semata- mata mencela, tetapi menawarkan jalan keluar.
Teringat seorang wartawan Kompas pernah bercerita, jarang birokrat membaca harian Kompas. Dalam pandangan saya hal ini memprihatinkan. Rubrik Opini dan Litbang Kompas, misalnya, dapat menjadi sumber informasi keadaan nyata dalam masyarakat.
Beberapa waktu lalu, sebagai awam saya menulis di rubrik ini ”Asumsi vs Kenyataan”. Tulisan saya seiring dengan Yanuar yang dengan rinci membahas mandeknya reformasi birokrasi. Inilah agenda paling mendesak untuk Presiden Joko Widodo. Bak penyakit menahun, problem birokrasi ini makin akut dan makin banyak korban.
Korban tidak hanya pejabat dan birokrat, atau kepercayaan rakyat kepada pemerintah, tetapi juga cita-cita konstitusi. Terkuaknya harta pegawai negeri (ASN) yang tidak wajar besarnya atau gaya hidup mewah mereka dan keluarganya, sebenarnya hanyalah gejala.
Inti bahasan Yanuar adalah perlunya reformasi birokrasi menyangkut pembenahan ASN dan institusi. Tergambar kesenjangan remunerasi ASN serta perlunya integrasi institusi dengan kebijakan pusat dan daerah.
Yanuar menawarkan solusi dengan contoh kelembagaan di negara maju yang berhasil menjamin akuntabilitas. Negeri ini tak akan pernah besar dan dihormati jika kualitas dan kinerja birokrasi tetap seperti saat ini.
Sorotan dan kecaman publik pada birokrasi harus menjadi momentum untuk berbenah. Birokrasi, dengan segala polahnya, adalah wajah negara dan menentukan tingkat kepercayaan warga kepada pemerintah.
Sidang pembaca dipersilakan membaca artikel Yanuar yang terlalu bagus untuk dilewatkan. Harapan kita dalam waktu kurang satu tahun periode pemerintahan kedua dapat diwujudkan dengan kemauan politik yang kuat.
Hadisudjono SastrosatomoJl Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta Selatan
Ledakan di Kilang Dumai
Diberitakan terjadi ledakan di Kilang Dumai pada 1 April 2023. Ledakan diperkirakan pada alat kompresor gas, yaitu alat untuk menaikkan tekanan gas hidrokarbon untuk dicairkan dan dialirkan ke tangki penyimpanan. Penyebabnya masih dalam penyelidikan pihak yang berwenang.
Suatu alat bertekanan bisa meledak karena dua faktor. Pertama over pressure/tekanan melewati batas. Kedua alat sudah uzur tidak mampu lagi menahan tekanan normal.
Over pressure diatasi dengan safety valve (katup pengaman) yang akan membuka jika terjadi tekanan yang melewati batas, sedangkan alat yang sudah uzur bisa diketahui tatkala diadakan inspeksi/pemeriksaan rutin. Jadi, jika sampai terjadi ledakan pada kompresor, patut dicurigai kondisi safety valve atau kondisi kompresor gas.
Ledakan telah menyebabkan kerusakan pada perumahan/bangunan di permukiman di sekitarnya. Hal ini menandakan bahwa lokasi pemukiman masih terlalu dekat dengan kilang. Ini baru ledakan kecil saja, bagaimana jika ledakan terjadi pada tangki BBM/gas yang penuh berisi BBM atau gas? Pasti mengerikan.
Menurut peraturan keamanan, lokasi permukiman minimal 5 kilometer atau 5.000 meter dari pagar kilang, baru aman dari kebakaran dan ledakan dalam kilang.
Pertanyaannya, apakah kini lokasi permukiman dengan pagar kilang sudah berjarak lebih dari 5 km? Jika tidak, maka harus diaudit dengan saksama. Demikian untuk perhatian kita semua.
Albertus SoeritnoJl Bunyu, Jakarta 13240
Akibat Praktik Pencampuradukan
Rangking FIFA per Jumat (19/6/2020) yang menunjukkan posisi Indonesia di peringkat ke-173 dunia.
Setelah FIFA membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia Sepak Bola U-20 di Indonesia, izinkan saya sebagai warga memberikan masukan.
Secara kesatria dan sportif, harus kita akui pembatalan itu adalah kekalahan telak diplomasi bernilai triliunan. Dari persiapan hingga hilangnya potensi pemasukan.
Pangkal masalah adalah pencampuradukan olahraga dengan politik. Praktik pencampuradukan sudah terlalu meluas di Indonesia. Sesuatu yang kita benarkan, tetapi tidak diterima organisasi modern seperti FIFA.
Kita sebagai bangsa punya pengalaman merusak. Salah satu contohnya, dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Ke depan, bangsa Indonesia harus menerapkan pembelajaran itu. Jangan diulang terus. PSSI adalah organisasi olahraga dalam lingkup FIFA, harus dikelola profesional olahraga. Jangan lagi dirangkap politisi atau orang dengan jabatan politik. Tanpa perbaikan, pencampuradukan akan terus berulang.
Bahkan, dalam dunia bisnis pun, entitasnya harus dikelola oleh profesional. Jangan ada rangkap jabatan di entitas bisnis dengan posisi nonbisnis. Apalagi oleh orang yang tidak punya kompetensi dengan alasan balas jasa.
Perangkapan pasti menimbulkan benturan kepentingan yang sangat dijauhi oleh entitas modern. Investor tahu itu. Mari kita amati harga-harga saham perusahaan publik, meskipun perusahaan itu menghasilkan keuntungan besar, jika posisi-posisi komisarisnya diisi orang yang tidak relevan dengan bisnisnya, harga saham pasti tertahan, tidak bisa bersaing dengan perusahaan lain yang menerapkan asas meritokrasi.
Kita melihat akibatnya. IHSG tertahan di bawah 7.000 meskipun dikatakan ekonomi kita sehat dan pertumbuhannya lebih tinggi daripada negara-negara lain.
Kita baca juga pejabat yang merangkap puluhan jabatan. Tentunya kita sangat waras kalau berpikir bagaimana pejabat itu membagi tenaga dan waktunya supaya berhasil.
Oleh karena itu, harus ada koreksi dalam hal perangkapan jabatan. Realitasnya peran menjadi tidak efektif dan tidak masuk akal.
Saya yakin kalau kita jujur dan rendah hati, pasti mengakui negara ini akan menjadi jauh lebih baik jika pencampuradukan berbagai hal ini kita koreksi. Kalau tidak, maka komunitas internasional tidak akan memberikan predikat kredibilitas dan kepercayaan.
Potensi prestasi bidang apa pun akan tertahan dan kegaduhan yang tidak produktif akan terus berlangsung.
G Edwin DewayanaPetukangan Selatan, Jakarta Selatan 12270
Warung Nasi
Pada 14 Februari 2022, kami membuat laporan tertulis kepada Lurah Palmeriam tentang bangunan liar di atas kali yang mengganggu kenyamanan lingkungan kami.
Bangunan liar tersebut milik mantan RT 015, disewakan tahunan dan difungsikan sebagai warung nasi. Selain kumuh dan membuang sampah ke kali, warung itu juga memasak di jalan umum. Setengah badan jalan juga menjadi tempat parkir motor para pembelinya, membuat akses keluar-masuk kendaraan dari rumah kami terganggu.
Karena belum ada respons, kami mengirim surat kedua pada 30 Maret 2022 dan diterima langsung oleh Lurah Palmeriam Setiyawan SPd.
Surat ditindaklanjuti dengan terlapor menandatangani surat pernyataan pada 5 April 2022 bahwa pemilik bangunan akan membongkar bangunan liar pada 31 Desember 2022. Kami didesak menyetujui dan menunggu sembilan bulan lagi karena sewa warung berakhir 31 Desember 2022.
Rapat dan kesepakatan ditandatangani terlapor, pelapor, dengan saksi-saksi LMK, Ketua RT 015, Kasatpol PP, Babinsa, Binmaspol, FKDM, Sekel dan Lurah Palmeriam.
Pada 3 Januari 2023, kami menanyakan perihal pembongkaran kepada Lurah Setiyawan melalui Whatsapp. Dijawab bahwa bangunan sudah ditempati ormas Pemuda Pancasila. Padahal, bangunan liar itu tetap saja difungsikan sebagai warung nasi oleh orang yang sama.
Mohon bantuan Pak Gubernur karena kami juga melaporkan hal ini lewat JAKI dengan nomor laporan JK2301190393.
Evi SimamoraKelurahan Palmeriam, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur 13140
Jenama (2)
Tulisan ini saya juduli ”Jenama (2)” karena merupakan tanggapan positif atas ”Jenama”-nya Ahmad Hamidi (Kompas, 7/3/2023).
Saya berharap, jenama sebagai padanan ”merek” (Bld) dan ”brand” (Ing) itu diterima. Meskipun lebih panjang, ”jenama”—seperti kata Ahmad Hamidi—lebih eufoni (indah bunyinya). Lagi pula konon kata ”jenama” berasal dari bahasa Melayu.
Dikatakan juga oleh Ahmad Hamidi bahwa ”jenama” diapit konfiks pe-an menjadi penjenamaan. Frasa ”diapit konfiks” terasa berlebihan dan tautologis karena sebab ”konfiks” itu ”apitan”. Lebih elok kalau frasa ”diapit konfiks” diganti dengan ”diimbuhi konfiks” atau ”diimbuhi apitan”. ”Imbuhan” (afiks) adalah kata yang rampat (general), artinya meliputi ”awalan” (prefiks), ”akhiran” (sufiks), ”sisipan” (infiks), dan ”apitan” (konfiks).
Jika ”konfiks” (=ko+afiks) kita artikan secara khusus sebagai ”apitan”, yakni gabungan antara ”awalan” dan ”akhiran”, lalu sebutan apa yang kita pakai untuk ”diper” (dalam ”dipermalukan”) dan ”diter” (dalam ”ditertawakan”)?
Di dan per (atau di dan ter) keduanya awalan, bisa kita sebut ”awalan ganda”.
Menurut The American Marketing Association, ”brand” alias ”jenama” mendongkrak citra perusahaan. Maka brand ambassador dapat kita sebut “duta jenama”.
Di masa jaya-jayanya Detroit sebagai sentra industri mobil Amerika, setiap akhir musim gugur mobil-mobil baru dari berbagai jenama: Ford, Chrysler, Cadillac, Chevrolet, Oldmobile, dan lain lain, dikeluarkan dipajang di gerai ”agen jual” (dealer). Mobil-mobil baru itu disebut ”brand new”. Padanannya bisa ”baru gres”.
Ada kata dalam bahasa Perancis yang diserap jadi kosakata Inggris, yakni ”genre”. ”Genre” ialah suatu jenis atau kategori khusus dari seni atau susastra yang bercirikan bentuk atau gaya tertentu. Bagaimana kalau kita sebut ”jenya”? Kata ini adalah paduan dari ”jenis”+“gaya”.
Di musik ada jenya klasik, jazz, pop, rock, dangdut, dan sebagainya. Dalam seni lukis ada ”jenya” ”naturalis”, ”ekspresionis”, ”surealis”, ”abstrak”, dan seterusnya.
L WilardjoKlaseman, Salatiga