Kekerasan kepada Hewan di Indonesia
Kekerasan terhadap hewan merupakan pelanggaran kesejahteraan hewan. Empati, tanggung jawab, dan rasa hormat tak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga untuk hewan dan lingkungan demi menjaga keamanan lingkungan.
”The question is not, ‘Can they reason?’ nor, ‘Can they talk?’ but ‘Can they suffer?’” (Jeremy Bentham)
Saat ini sudah tidak asing di telinga ataupun di mata kita mengenai tindakan kekerasan terhadap hewan. Dengan adanya teknologi, informasi mengenai kasus kekerasan kepada hewan dapat kita temui setiap hari. Media sosial seperti Tiktok dan Instagram, hingga media elektronik seperti berita dan infotainment, paling umum memperlihatkan adanya kasus kekerasan kepada hewan di sekitar kita.
Pelaku kekerasan terhadap hewan ini bervariasi dari usia muda hingga tua. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di Indonesia memang selalu terjadi kasus kekerasan kepada hewan?
Kekerasan kepada hewan adalah fenomena global yang dapat juga dikaitkan dengan pelanggaran kesejahteraan hewan secara individu. Pelaku kekerasan kepada hewan bukan hanya menjadi masalah pada individu, melainkan juga pada keluarga dan lingkungan.
Baca juga: ”Tolong, Aku Ini Masih Hewan...!”
Lockwood dan Arkow (2016) menyatakan ada sembilan faktor motivasi yang mengarah kepada tindakan kekerasan kepada hewan, yaitu untuk mengendalikan hewan, untuk membalas dendam, untuk memuaskan prasangka terhadap spesies tertentu, untuk memperlihatkan agresivitas melalui hewan, untuk meningkatkan agresivitas diri sendiri, untuk mengejutkan orang lain melalui ”hiburan”, untuk membalas dendam terhadap orang lain, sebagai perpindahan permusuhan dari seseorang ke seekor hewan, dan sebagai praktik sadisme tertentu.
Tidak adanya data yang valid yang disajikan oleh lembaga tertentu mengenai kasus kekerasan kepada hewan di Indonesia menjadi tantangan untuk mengkaji lebih dalam tentang isu ini. Data yang diperoleh hanya menggunakan pencarian histori di media sosial dan artikel ataupun berita yang ada di dunia maya.
Lebih lanjut, dalam kurun waktu 2019 hingga 2023, kasus kekerasan kepada hewan selalu terjadi dan lokasi kejadian terbagi di beberapa wilayah dengan tipe kekerasan kepada hewan yang berbeda.
Pengertian kekerasan kepada hewan menurut berbagai literatur memiliki arti yang berbeda, tetapi memiliki satu persamaan, yaitu tindakan kekerasan kepada hewan adalah tindakan yang sengaja dan pasti menyebabkan ketidaknyamanan, stres, rasa sakit, dan/atau penderitaan pada hewan terlepas dari maksud pelaku dalam melakukan kekerasan. Adapun tipe atau jenis kekerasan kepada hewan terbagi menjadi semula ada empat tipe (Munro dan Munro, 2008), kemudian menjadi enam jenis (Byrd dkk, 2020), dan sebagian besar telah terjadi di sekitar kita.
Tipe pertama adalah kekerasan fisik. Tipe ini yang paling umum ditemukan di lingkungan kita. Contoh tindakan ini adalah pelaku memukul, menendang, menusuk, menembak, menenggelamkan, mencekik, atau tindakan lain yang dapat membuat ada luka fisik pada tubuh hewan. Tindakan umum adalah dengan menendang, membuang, hingga melempar hewan yang ada di sekitar.
Pada Februari, 2020, misalnya, laki-laki berinisial RH memukul kucing yang mengakibatkan kucing tersebut mati. Dugaan terjadinya kekerasan terhadap kucing ini adalah karena kucing itu sering buang air besar di pot bunga pelaku.
Kemudian, pada Desember 2020, seorang laki-laki berinisial SO menembak kucing liar di Jakarta Timur menggunakan senapan angin. Motifnya, pelaku ingin melumpuhkan gerakan kucing. Pada 2021, terjadi kasus pemukulan berulang kepada anjing di Kutai Kertanegara.
Tidak adanya data yang valid yang disajikan oleh lembaga tertentu mengenai kasus kekerasan kepada hewan di Indonesia menjadi tantangan untuk mengkaji lebih dalam tentang isu ini.
Sayangnya, hingga 2022, beberapa kasus kekerasan fisik selalu menghiasi media sosial. Akun #JusticeForWinston berkicau pada April bahwa ada anjing jenis Pitbull di Bali dipukul menggunakan balok. Sempat hangat juga seorang anggota TNI menembaki beberapa kucing menggunakan senapan angin di Bandung pada Agustus dan September 2022.
Hasil dari kekerasan fisik umumnya adalah adanya luka yang terlihat secara kasatmata pada bagian kulit. Munro dan Munro (2008) membagi jenis perlukaan kulit menjadi dua, yaitu karena benda tumpul, contohnya adalah abrasi, lebam, hingga laserasi (luka yang terbagi menjadi dua bagian) serta luka karena benda tajam, seperti luka tusukan dan luka irisan.
Kasus kucing yang dipukul menggunakan gagang sapu di Bekasi pada Februari 2022 dapat menjadi contoh luka fisik karena benda tumpul, sedangkan kasus pembantaian anjing di Mandalika pada Januari 2022 serta penusukan mata pada beberapa kucing di Pontianak dapat masuk dalam kategori luka karena benda tajam.
Pelecehan terorganisasi
Tipe kedua kekerasan kepada hewan adalah pelecehan terorganisasi, seperti perkelahian hewan yang telah diatur dan pelecehan ritual yang mengorbankan hewan untuk disiksa, dimutilasi, ataupun dibunuh untuk bagian dari suatu proses. Pelecehan teroganisasi yang belum bisa dikontrol masyarakat dan dapat melukai hewan adalah sabung ayam.
Di pelosok ataupun di perkotaan, praktik sabung ayam masih sering ditemui dan dimainkan oleh oknum yang hanya mementingkan keseruan dan ekonomi tanpa memikirkan efek yang dapat diderita oleh ayam. Jika mengacu kepada Animal Welfare Act UK, sabung ayam atau cock fighting telah dilarang. Efek pada sabung ayam adalah kerugian kesehatan pada hewan karena ada luka hingga kematian, perjudian, dan juga tindak kekerasan.
Yang terakhir adalah mengenai ritual yang melibatkan hewan. Pada Agustus 2019 masyarakat digegerkan dengan seorang laki-laki yang memakan kucing hidup-hidup untuk praktik ilmu hitam. Awal 2021 juga ada seorang ibu yang membunuh seekor kucing untuk pengobatan asma. Meskipun tidak banyak didokumentasikan, hal ini pasti merugikan hewan dan juga masyarakat.
Edukasi #MenjadiManusia untuk dapat lebih #PahamKesejahteraanHewan menjadi faktor esensial untuk mencegah kekerasan kepada hewan. Edukasi mengenai keutamaan hewan sebagai makhluk hidup (sentient beings) yang dapat merasakan emosi positif dan negatif adalah yang harus ditanamkan sejak dini. Mengubah pola pikir manusia sulit, tetapi pasti dapat dilakukan secara perlahan.
Baca juga: Pastikan Pasal Penganiayaan Hewan Tetap Ada di RKUHP
Pendekatan hukum juga dapat dilakukan secara nyata. Indonesia memiliki undang-undang (UU) yang mengatur tentang hewan pada UU No 18/2019 yang diamendemen menjadi UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada UU ini terdapat pasal yang mengatur tentang tindakan manusia terhadap hewan (Pasal 66A) dan pidananya (Pasal 91B).
Turunan UU ini juga dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah No 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Kemudian UU terbaru yang disahkan pada Desember 2022, yaitu UU No 1/2023 tentang KUHP juga memiliki tiga pasal yang mengatur tentang hewan, khususnya penganiayaan hewan. Pasal tersebut adalah Pasal 336-338.
Empati, tanggung jawab, dan rasa hormat tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga untuk hewan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga keamanan lingkungan. Tetap percaya edukasi dan penyampaian informasi dapat mengubah pola pikir masyarakat Indonesia untuk dapat #MenjadiManusia serta lebih #PahamKesejahteraanHewan.
Zulfikar Basrul Gandong, Petugas Karantina Pertanian Indonesia; Penasihat Kesejahteraan Hewan di Indonesia