Umar Patek
Keterlibatan seseorang dalam kekerasan ekstrem, seperti terorisme, tak terlepas dari dorongan hasrat mencari signifikansi atau keberartian diri. Hasrat ini yang perlu dijinakkan dalam upaya deradikalisasi.
There is a way to be good again. ( The Kite Runner, Khaled Hosseini)
Panggil saya Hisyam saja, nama pemberian orangtua. Begitu ucapnya di awal pertemuan kami beberapa waktu lalu. Foto-fotonya yang tersebar selama ini menampilkan wajahnya yang terkesan keras, seram, senada dengan nama populernya yang menguarkan energi keras: Umar Patek. Namun, pagi itu semuanya seperti pupus dari sosoknya. ”Saya itu sebenarnya Hello Kitty,” selorohnya.
Nama Hisyam sendiri punya arti mulia, ramah, rendah hati, terhormat. Jika nama memang membawa doa orangtua, demikian pula yang ingin ia jalani di sisa hidupnya kini. Selaras doa dari mendiang kedua orangtuanya yang menyusup dalam nama lahirnya.
Hisyam mendapatkan pembebasan bersyarat sejak 7 Desember 2022 lalu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menebus segala kesalahan di masa lalu atas keterlibatannya dalam peristiwa bom Bali 2002 yang menewaskan 202 korban jiwa.
Sepanjang hari itu, sejak pagi hingga malam, kami berjalan-jalan ke beberapa tempat di Jakarta. Monas, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, hingga pusat perbelanjaan di Blok M untuk membeli kemeja baru yang akan dikenakannya dalam suatu acara di stasiun televisi. Ini adalah kali pertama ia melihat-lihat kota Jakarta dalam keadaan batin yang tenang.
Sejak 1991, ia bergabung dengan kaum mujahidin di Afghanistan dalam perang melawan Uni Soviet. Pria asal Pemalang, Jawa Tengah, ini kemudian juga bergabung dengan kelompok pemberontak MILF (Moro Islamic Liberation Ffront) dan Abu Sayyaf di Filipina selatan. Ia lalu ditangkap aparat di Abbotabad, Pakistan, pada 25 Januari 2011. Ini kota yang sama tempat Osama bin Laden, pemimpin organisasi teroris Al Qaeda, ditangkap mati empat bulan kemudian. Sejak 2011 hingga 2022 lalu, hidup Hisyam dihabiskan di balik bui.
Hari itu, sebelum ke Monas, kami mampir di kantor Sekretariat Forum Komunikasi Aktivis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI). Ia bertemu dengan beberapa mantan kombatan lainnya. Forum ini beranggotakan para warga negara Indonesia yang pernah menjadi kombatan di Afghanistan dan Filipina selatan, eks narapidana terorisme, dan korban penyintas bom. Forum ini dibentuk dengan tujuan mulia untuk meretas prasangka, kebencian, dan merajut kembali welas asih.
Saat mengobrol bersama sesama mantan kombatan itu, Hisyam mengenang beberapa potong perjalanan hidupnya. Pada tahun 2002, ia sempat pulang ke Indonesia setelah kamp Abu Bakar di Filipina dibubarkan. Saat pulang itulah ia bertemu Dulmatin, tetangga sekaligus teman kecilnya. Dulmatin lalu mengajaknya ke Bali, mendatangi rumah kontrakan yang ditempati Mukhlas, Imam Samudra, Amrozi, dan Sawad. Di rumah itu, 950 kilogram bahan peledak telah selesai diracik Sawad untuk bom. Sisanya 50 kg tak bisa selesai diracik karena Sawad jatuh sakit. Sisa 50 kg itulah yang lalu harus diselesaikan Hisyam.
”Saya sempat hujjah (berdebat) dengan Mukhlas, kenapa ngebomnya di sini (Indonesia)? Saya berpegang pada pandangan Ustaz Salamat Hashim, jihad hanya di medan perang dan tidak memerangi civilian (orang sipil),” ujar Hisyam.
Mendiang Salamat Hashim merupakan pemimpin MILF yang dihormati Hisyam. Sekalipun kepergiannya ke Afghanistan dahulu karena pengaruh dari Muhklas saat mengikuti pengajian di Malaysia ketika dirinya menjadi TKI, Hisyam terlihat lebih menghormati Salamat Hashim yang relasinya selama di kamp di Filipina selatan terjalin lebih erat.
”Tapi, waktu itu saya enggak direken (bahasa Jawa, artinya dianggap). Sawad (narapidana bom Bali 1 yang kini dipenjara seumur hidup) juga ada waktu debat itu. Siapa saya buat mereka, yang senior-senior itu, bukan siapa-siapa saya, enggak ada jabatan pula. Makanya, di struktur JI (Jemaah Islamiyah) enggak ada nama saya,” imbuhnya lagi.
Hisyam pun akhirnya menuruti desakan Mukhlas dan Imam Samudra tersebut. ”Sawad bilang, ’Sudahlah, kamu itu enggak bakal didengar sama mereka, sudah kerjakan saja’. Begitu dia bilang,” kenang Hisyam.
Suara kredibel
Oleh karena keterlibatannya dalam meracik sisa 50 kg bahan peledak itulah, Hisyam akhirnya dipidana dalam kasus bom Bali 2002. Ia sendiri tetap mengakui bersalah, apa pun perannya dalam peristiwa tersebut. Dalam beberapa kali kesempatan, Hisyam menyatakan memohon maaf kepada para penyintas dan keluarga dari korban bom Bali 1. Dalam kesempatan bertemu dengan salah satu keluarga korban, Ni Luh Erniati misalnya, Hisyam bersimpuh dan bersujud memohon maaf kepada perempuan yang kehilangan suami tercintanya, I Gde Badrawan, yang bekerja sebagai kepala pelayan di Sari Club, Denpasar, Bali.
Kesadaran Hisyam akan kesalahannya sebenarnya sudah terjejak cukup lama. Sinyal itu terlihat sejak ia rutin menjadi pengibar bendera Merah Putih dalam berbagai upacara hari nasional di lembaga pemasyarakatan sejak 2014. Berbeda dengan banyak narapidana terorisme lain yang menolak tindakan yang mencerminkan penerimaan terhadap bentuk negara demokrasi yang dianggap menyimpang dari hukum agama.
Saat beberapa WNI disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina tahun 2016, ia yang mengenal baik kelompok itu juga menawarkan diri untuk membantu dalam proses negosiasi meskipun pemerintah kemudian mengambil jalur lain dalam peristiwa tersebut.
Hisyam tampaknya memang ingin sekali berperan dalam hal-hal baik di jalan baru hidupnya, selepas dirinya meninggalkan jejaring radikalisme. Potret perilaku seperti Hisyam ini juga tampak pada beberapa bekas narapidana terorisme lainnya. Sebut saja Ali Fauzi, Arif Budi Setyawan, Yudi Zulfahri, hingga Nasir Abas. Mereka kini menjalani aktivisme menyebarkan narasi damai di tengah masyarakat. Mereka berusaha membendung segala potensi radikalisme/ekstremisme di tengah masih maraknya narasi kekerasan yang membajak agama.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebut, berdasarkan data 10 tahun ke belakang, 8 persen dari sekitar 1.200 mantan narapidana terorisme kembali terlibat dalam pidana terorisme. Bahkan, tak jarang, narapidana terorisme yang masih di dalam bui pun terlibat. Walaupun persentase tersebut seolah kecil, akibat dari serangan teror bisa besar dan fatal.
Baca juga : Siklus Vendetta Monster Hidra
Dari fenomena tersebut, sosok seperti Hisyam dan Ali Fauzi tersebut tentu memberi harapan baik. Tak hanya itu, sosok-sosok seperti nama-nama di atas punya kapasitas kekuatan tersendiri ketika berkomitmen untuk bersyiar damai. Noor Huda Ismail, pengamat terorisme sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, menyebut sosok demikian sebagai credible voice. Mantan narapidana terorisme punya kapasitas kredibel untuk lebih didengar, terutama di kalangan ”jihadis” (ini istilah peyoratif yang digunakan di kalangan jejaring radikal).
Mantan narapidana terorisme punya kapasitas kredibel untuk lebih didengar, terutama di kalangan ’jihadis ’.
Seperti yang terjadi selama ini, kalangan jihadis tersebut tidak akan mempan jika disodori wejangan atau khotbah dari ulama, misalnya Quraish Shihab. Ini bukan berarti wejangan dari ulama sebesar Quraish Shihab tidak kredibel. Namun, alarm mekanisme-bertahan para jihadis biasanya langsung sensitif jika dihadapkan pada ulama yang mereka anggap memang tidak (pernah) satu keyakinan dengan mereka.
Oleh karena itu, memberi kesempatan kepada sosok seperti Hisyam menjadi krusial demi memaksimalkan ikhtiar pengendalian radikalisme. Isu inilah yang mungkin sulit dipahami pihak seperti Australia, yang sempat mengecam pembebasan bersyarat Hisyam dalam berbagai pemberitaan. Keberatan Australia bagaimanapun bisa dimaklumi mengingat warga negaranya banyak yang menjadi korban jiwa dan luka dalam peristiwa bom Bali 2002.
Mencari signifikansi
Apa yang membuat para eks narapidana terorisme seperti Hisyam akhirnya bisa memutuskan keluar dari jalan kekerasan? Ia bercerita, penerimaan keluarga dan lingkungan sosialnya menjadi gerbang awal yang membuat pintu hatinya terbuka. Ketika pulang ke Indonesia dari Abbottabad, ia langsung dibawa polisi (Detasemen Antiteror Polri) ke rumah sakit agar kakinya yang masih terluka akibat tembakan aparat Pakistan diobati hingga tuntas. Ia mengaku tak mendapat perlakuan kasar apa pun dari polisi Indonesia. Luka di kakinya pun akhirnya pulih lebih baik. ”Saya agak tidak menyangka diperlakukan begitu,” ujarnya.
Kemudian, ketika bertemu keluarganya, sikap baik kembali ia terima. Mulai dari kedua saudara kandungnya, paman, hingga bibi menerimanya dengan hati terbuka dan memaafkannya. ”Mereka bilang, mereka tidak setuju dengan (ideologi) yang saya yakini, tapi mereka menyatakan tetap menerima saya sebagai keluarga,” kenang Hisyam.
Dalam studi terorisme selama ini, penyebab seseorang memasuki dunia radikalisme/terorisme sama peliknya dengan mencari formulasi cara yang bisa membuat seseorang meninggalkan dunia tersebut. Intinya, bagaimana seseorang bisa teradikalisasi dan terderadikalisasi masih menjadi isu yang pelik di kalangan peneliti studi terorisme. Para akademisi/peneliti terorisme masih terus bergulat menemukan formulasinya.
Salah satu perspektif yang kerap digunakan adalah psikologi. Arie W Kruglanski, profesor psikologi sosial di Universitas Maryland, Amerika Serikat, kerap meneliti soal motivasi manusia dalam memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku, termasuk pengambilan keputusan. Penelitiannya banyak mencakup perilaku ekstrem manusia, termasuk terorisme. Ia menyingkirkan dugaan lazim di kalangan awam yang kerap menuding pelaku teror dan serangan bunuh diri adalah orang gila atau sakit mental. Sebab, secara saintifik, dugaan tersebut ternyata memang kerap meleset.
Salah satu pijakan teori yang ia gunakan adalah significance-quest theory (SQT) atau quest for significance atau motivasi keberartian atau kebermaknaan. Secara sederhana teori ini meneropong hasrat fundamental manusia yang senantiasa terdorong untuk mencari makna, signifikansi, keberartian dirinya sebagai manusia agar dihormati martabatnya. Hasrat ini yang kemudian memengaruhi motivasi sosial manusia dalam hidupnya.
Baca juga : ”Ightiyalat” dan Legitimasi ala Joker
Menurut Arie, keterlibatan seseorang dalam ekstremisme seperti aksi terorisme tak terlepas dari dorongan hasrat tersebut. Pemicunya ada tiga hal, yakni loss of significance (kehilangan signifikansi), ancaman kehilangan signifikansi, dan kesempatan memperoleh signifikansi lebih besar (significance gain). Kehilangan signifikansi tersebut misalnya karena suatu kegagalan dalam hidup, penghinaan, ketidakadilan, penolakan sosial, hingga diskriminasi. Sementara kesempatan memperoleh signifikansi lebih misalnya imaji heroisme atau kepahlawanan dan kemegahan harga diri.
Banyak pelaku teror yang mengungkap alasan-alasannya terlibat dalam aksi kekerasan mengarah pada dorongan-dorongan tersebut, baik secara individual maupun komunal. Dalam hal terorisme yang beranasir ideologi keagamaan, misalnya, pelaku teror kerap mengaku terdorong bergabung dalam gerakan radikal karena merasa kaumnya yang seiman telah ditindas, dizalimi, dan dihina oleh kaum lain sehingga ingin memperjuangkan kehormatan kaum seimannya tersebut.
Teuku Akbar, seorang remaja asal Aceh, pada 2013 mengaku nyaris bergabung dengan tentara ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) setelah melihat foto Yazid di Facebook. Temannya itu tampak keren dan gagah menyandang senjata AK-47 di samping bendera ISIS. Ia pun lantas merasa terpanggil ingin menjadi bagian penting dari perubahan besar dunia yang digadang-gadang ISIS kala itu. Ia mencari signifikansi dirinya, dan gerakan ISIS membuka peluang baginya untuk menyalurkan hasrat tersebut.
”Keren juga dilihat orang kita berjihad. Orang ini bisa, orang ini bisa, ooo... saya lebih bisa juga! Saya lihatlah foto-foto beliau (Yazid). Gagah sekali pegang tembak (senjata). Sudah pegang AK-47. Sudah melebihi TNI aja, sudah melebihi Kopassus,” ujar Akbar, seperti tergambar dalam film dokumenter Jihad Selfie (2016).
Seperti halnya Akbar, mantan narapidana terorisme lainnya, Arif Budi Setyawan, juga memberi gambaran serupa tentang awal ketertarikannya dengan gerakan radikalisme. ”Ada rasa keren yang tersirat dari cerita itu (’berjihad’ dalam konflik Ambon). Sepintas, saya ingin sekali masuk ke sana. Ingin merasakan, membuktikan langsung, masuk bersama perjuangan mereka,” tulis Arif dalam buku yang ditulisnya berjudul Internetistan: Jihad Zaman Now (2020).
Berkiprah terhormat
Pencarian keberartian diri dalam significance-quest theory tersebut mengingatkan pada konsep jiwa yang dikemukakan Plato, filsuf Yunani, dalam bukunya berjudul Republic. Plato terinspirasi ajaran dan dialog Socrates dengan murid-muridnya tentang negara ideal. Menurut dia, struktur jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yakni logos (akal, rasionalitas), epithumia (desire, nafsu gairah pemenuhan akan makan, minum, cinta kasih, seks, kekuasaan), dan thymos (spirit).
Thymos adalah bagian dari jiwa yang senantiasa mendamba recognition atau pengakuan atas martabat, mendamba penghormatan. Bagian thymos ini bisa menjadi sumber kemarahan manusia ketika harga dirinya tercederai. Ilmuwan politik internasional Francis Fukuyama juga menggunakan perspektif thymos tersebut dalam menelaah demokrasi liberal dalam dua bukunya, The End of History and the Last Man (1992) dan Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018) tentang politik identitas.
Menjinakkan thymos adalah pekerjaan rumah yang penting dalam tata kelola masyarakat. Arie W Kruglanski memberi saran soal pentingnya negara membuka saluran kebutuhan signifikansi kelompok radikal seperti (mantan) narapidana terorisme secara konstruktif. Dalam filosofi Jawa, sebenarnya penjinakan tersebut kerap terdengar dalam pitutur sederhana yang berbunyi diwongke, artinya dimanusiakan, dihargai martabatnya.
Kebutuhan signifikansi itu disalurkan dengan memberi mantan narapidana terorisme ruang untuk berkontribusi dan berkiprah secara terhormat dalam gerakan kontra-kekerasan. Terlebih, signifikansi yang berdaya paling kuat adalah signifikansi yang melayani nilai atau gagasan yang dipandang mulia. Keinginan yang sempat dikemukakan oleh Hisyam untuk membantu bernegosiasi dalam upaya pembebasan WNI dari penyanderaan Abu Sayyaf, misalnya, juga mencerminkan hasrat akan pencarian signifikansi tersebut.
Baca juga : Pemahaman Ekstrem Pun Luntur berkat Pertemanan
Akses pendidikan dan pemberian sarana untuk mendapatkan pekerjaan yang memberi mereka signifikansi bisa menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Kebanggaan mantan narapidana terorisme Ali Fauzi menuntaskan studi doktoral, misalnya, mencerminkan pemenuhan hasrat signifikansi melalui panggung pendidikan tinggi. Ia juga mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian, lembaga yang menjadi saluran tekadnya untuk berjuang mengampanyekan perdamaian. Aktivismenya itu niscaya menggenapi hasrat akan keberartian dirinya sebagai manusia.
Secara paralel, Arie juga menggarisbawahi, pemerintah harus menghindari membuat kebijakan yang berpotensi mencederai kebutuhan individu akan signifikansi tersebut. Misalnya, kebijakan yang bisa mempertajam stigma dan prasangka sosial terhadap mantan narapidana terorisme. Kewaspadaan akan potensi teroris kambuhan tetap amat penting. Namun, tindakan berlebihan yang mencederai martabat kemanusiaan harus dihindari.
Stigma dan prasangka buruk dari masyarakat umum kerap berpotensi menjadi faktor pendorong seorang narapidana terorisme untuk kembali ke lingkaran kelompok kekerasan yang dirasakan lebih menerima dirinya. Sebab, di antara kutub ideologi dan pragmatisme terentang spektrum lebar dengan berbagai kemungkinan pilihan perilaku. Stimulus sosial dari lingkungan individu niscaya memengaruhi pilihan yang diambil. Ketika perilakunya dapat diukur, kekentalan ideologinya cenderung absurd untuk diukur.
BNPT sendiri pernah mengungkap, hingga kini sekitar 80 persen mantan narapidana terorisme mengaku masih bersikukuh dengan ideologinya, meskipun tidak semua kembali menjalani aksi kekerasan. Dalam hal ini, Arie W Kruglanski meyakini, selain upaya pemenuhan hasrat akan signifikansi tadi, cara-cara ngotot yang terang-terangan berupaya membunuh ideologi yang dianut narapidana terorisme justru akan menjadi ikhtiar yang kontraproduktif.
Adakah yang lebih menggelikan dari ambisi ingin membunuh pikiran seseorang?
Baca juga : Terorisme yang Bermain di Dua Kaki